Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Urip Mung Mampir Ngombe


Topswara.com -- Pernah enggak sih kamu duduk sendirian, tiba-tiba mikir, “Hidup ini sebentar banget ya?” Rasanya baru kemarin main petak umpet, sekarang udah sibuk mikirin tagihan, kerjaan, rumah tangga, bahkan urusan akhirat. Kadang kita lupa kalau "urip mung mampir ngombe (singgah sebentar buat minum)", ngilangin haus, terus jalan lagi.

Para ulama sering banget ngingetin tentang ini. Hidup kita di dunia ini, kata mereka, cuma sementara. Ibarat musafir yang berhenti di mata air buat minum, enggak ada yang mau bikin rumah di situ, kan? Kita cuma numpang lewat.

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari-hari. Jika satu hari pergi, maka telah hilang pula sebagian dirimu.”

Keren ya? Sehari berlalu, berkuranglah kita. Enggak kerasa umur nambah, tetapi sebenernya jatah hidup makin berkurang.

Rasulullah Saw juga udah kasih clue, “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara” 
(HR. Bukhari).

Logikanya gini, pengembara enggak bakal ribet sama properti mewah di jalan. Dia cuma butuh tempat teduh sebentar, minum, terus lanjut ke kampung halamannya. Kampung halaman kita? Surga.

Allah juga udah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 64, “Kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” 

Masalahnya, kita sering kebalik. Sibuk banget ngejar dunia seolah itu tujuan final. Padahal akhiratlah yang kekal.

Kadang kita butuh “reminder harian”. Kayak alarm yang ngingetin kalau dunia ini enggak lama. Nih beberapa yang bisa kita pegang,

“Siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu di depan matanya dan memecah-belah urusannya. Dan tidaklah ia memperoleh dunia kecuali yang telah ditetapkan baginya. Tetapi siapa yang menjadikan akhirat tujuannya, Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina” 
(HR. Ibnu Majah).

“Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi: 110).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, pernah mengajarkan bahwa inti kebangkitan umat itu di cara berpikir. Selama kita cuma mikir dunia sebatas “Kerja, makan, repeat,” kita enggak akan maju. Tetapi kalau mikir dunia sebagai tempat transit menuju akhirat, kita bakal punya arah hidup yang bener.

Beliau juga ngingetin bahwa krisis umat sekarang bukan cuma soal ekonomi atau politik, tetapi krisis cara pandang. Banyak yang udah ke-distract sama kapitalisme, dimana standar sukses sama dengan memiliki materi berlimpah. 

Padahal standar Islam beda, manusia dikatakan sukses manakala mendapatkan ridha Allah SWT. Makanya beliau tekankan pentingnya dakwah dan perubahan pemikiran. Kalau mindset kita lurus, sikap kita terhadap dunia otomatis ikut lurus.

Masalahnya, kita kini hidup di zaman diterapkannya sistem sekularisme sehingga membuat mayoritas manusia lupa akan jati dirinya sebagai Muslim. Kerjaan harian bukan ibadah yang menambah amal jariyah, tetapi scroll tanpa henti. 

Media tumbuh subur liar tanpa kontrol ketat negara. Alhasil, tiap buka HP, isinya hiburan, gosip, flexing harta, drama media sosial. Kadang bikin kita ngerasa dunia ini segalanya. Padahal kalau inget mati, semua itu enggak kebawa.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bilang, salah satu penyakit umat itu wahn, yaitu cinta dunia, takut mati. Sebagaimana hadis Nabi SAW, “Hampir tiba masanya bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang-orang yang memperebutkan makanan di piring.”

Para sahabat bertanya, “Apakah saat itu jumlah kami sedikit?” Beliau menjawab, “Bahkan kalian banyak, tapi seperti buih di lautan. Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah akan menanamkan di hati kalian al-wahn.” Mereka bertanya, “Apa itu al-wahn?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati” (HR. Abu Dawud).

Nah ini yang harus kita lawan, jangan sampai cinta dunia. Hidup cuma mampir ngombe.

Santai Boleh, Lupa Jangan

Santai itu perlu. Hidup jangan terlalu tegang. Tetapi santai bukan berarti lalai. Santai itu kayak minum es teh manis di perjalanan panjang seger, tetapi jangan sampe lupa tujuan pulang.

Contoh kecil, nongkrong di cafe boleh, tetapi coba selipin obrolan bermanfaat. Scroll medsos boleh, tetapi selipin konten dakwah, reminder iman. Kerja keras boleh, tetapi jangan lupa shalat tepat waktu.

Buatlah hidupmu ringan, tetapi berbobot, caranya: pertama, mikir sebelum tidur. Hari ini aku udah siapin bekal apa buat akhirat? Nambah amal jariyah atau waktuku terbuang sia-sia karena mikir yang gak perlu?

Kedua, filter konten. Enggak semua yang trending harus diikutin. Pilih yang bikin iman naik.

Ketiga, sedekah harian. Enggak harus gede. Rp 1.000 pun kalau ikhlas, di sisi Allah berharga. Bantu anak yatim atau anak yang ditinggal bapaknya.

Keempat, zikir ringan. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Astaghfirullah. Sambil jalan, sambil nyapu, sambil masak, sambil naik motor juga bisa.

Kelima, belajar terus. Cari ilmu agama walau sedikit. 

Yuk, fokus mencari bekal untuk pulang. Hidup ini singkat. Setiap hari kita makin dekat ke kubur, bukan makin jauh. Dunia cuma tempat mampir ngombe, bukan tujuan.

“Orang yang cerdas adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Jadi, santai boleh, tetapi jangan lalai. Dunia kita isi dengan amal shalih, hati kita isi dengan zikir, pikiran kita isi dengan ilmu. Biar pas pulang, kita bawa bekal yang cukup buat ketemu Allah dengan senyuman kemenangan. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar