Topswara.com -- Pernyataan terbaru Perdana Menteri Zionis, Benjamin Netanyahu, tentang perlunya “full occupation” atas Gaza, mengandung pesan yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar ancaman militer. 

Di balik kata-kata itu, tersembunyi upaya menggiring opini publik dunia bahwa selama ini, entitas Zionis seolah-olah tidak memiliki niat untuk sepenuhnya menguasai Gaza. 

Padahal, sejarah panjang penjajahan Palestina membuktikan, sejak awal berdirinya pada 1948, Zionis telah menjalankan agenda ekspansi dan pengusiran sistematis terhadap rakyat Palestina, dengan Gaza sebagai salah satu target utama.

Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan propaganda yang bisa mempengaruhi arus opini dunia, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Ada yang mulai mengira bahwa sebelum pernyataan ini, Gaza “hanya” berada dalam blokade atau sekadar wilayah konflik. 

Padahal, blokade itu sendiri adalah bentuk nyata dari penjajahan, yang menutup akses rakyat Gaza terhadap kebebasan, keamanan, dan kehidupan yang layak. Maka, penting bagi umat untuk menyingkap tipuan narasi Zionis dan mengembalikan pemahaman yang lurus tentang hakikat penjajahan.

Palestina Telah Dijajah 77 Tahun

Umat Islam harus menyadari bahwa Palestina telah berada di bawah cengkeraman penjajah selama 77 tahun. Peristiwa Nakbah 1948 menjadi titik awal diusirnya ratusan ribu warga Palestina dari tanah air mereka, lalu diikuti dengan pendudukan wilayah demi wilayah, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan pengepungan brutal atas Gaza. 

Semua itu bukanlah rangkaian insiden terpisah, melainkan bagian dari satu strategi besar: menghapus identitas Palestina dan menggantikannya dengan eksistensi Zionis.

Gaza, yang berpenduduk lebih dari dua juta jiwa, telah menjadi simbol keteguhan melawan penjajahan. Namun, posisi strategisnya di pesisir Laut Mediterania menjadikannya incaran Zionis sebagai wilayah perluasan koloni. 

Serangan demi serangan, blokade total, dan penghancuran infrastruktur sipil adalah langkah-langkah sistematis untuk membuat Gaza tak lagi layak huni, memaksa penduduknya pergi, lalu menguasai wilayahnya. Inilah yang dimaksud dengan “full occupation” dalam bahasa licik Zionis: penyelesaian proses kolonisasi yang sudah mereka jalankan puluhan tahun.

Penjajahan Harus Dilawan Sampai Tuntas

Islam memandang penjajahan sebagai bentuk kezaliman yang wajib dilawan hingga penjajah disingkirkan sepenuhnya. 

Allah SWT berfirman: “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, yang mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.’” (QS. An-Nisa: 75)

Ayat ini menegaskan bahwa membebaskan kaum tertindas dari cengkeraman penjajah adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar pilihan moral. Dan kewajiban ini tidak berhenti pada upaya diplomasi atau tekanan ekonomi, melainkan menuntut kekuatan militer yang nyata untuk mengusir penjajah dari bumi kaum muslimin.

Jalan Pembebasan: Jihad Fii Sabilillah

Sejarah pembebasan Al-Quds pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi membuktikan, Palestina tidak akan pernah merdeka hanya dengan perundingan atau gencatan senjata. 

Pembebasan hanya mungkin melalui jihad fii sabilillah yang dilandasi iman, dipimpin oleh komando tunggal umat Islam. Jihad dalam pengertian ini bukanlah aksi sporadis, melainkan operasi militer yang terorganisir di bawah negara Islam yang menerapkan syariah secara kaffah.

Inilah sebabnya, selama umat Islam belum memiliki kepemimpinan politik-militer yang menyatukan seluruh kekuatan mereka, Palestina akan terus menjadi korban agresi. 

Tanpa khalifah, jihad tidak bisa dijalankan secara sempurna, karena tidak ada otoritas tunggal yang mengatur mobilisasi pasukan, logistik, dan strategi pembebasan secara menyeluruh.

Kembali pada Khilafah Sebagai Solusi

Khilafah bukan sekadar simbol sejarah, tetapi institusi politik yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk menegakkan syariah dan melindungi umat. Dalam konteks Palestina, Khilafah akan memimpin jihad global untuk membebaskan tanah yang dijajah, memutus semua hubungan dengan negara-negara penjajah, dan membangun kembali kekuatan umat.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya imam (Khalifah) itu adalah perisai; di belakangnya kaum muslimin berperang dan dengannya mereka berlindung” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tanpa perisai itu, umat Islam akan terus terpecah dan lemah, sementara musuh-musuh mereka bersatu padu dalam proyek penjajahan. Oleh karena itu, perjuangan membebaskan Gaza dan seluruh Palestina harus dimulai dari perjuangan yang lebih mendasar: mewujudkan kembalinya khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

Seruan untuk Umat

Hari ini, umat Islam di seluruh dunia harus menolak narasi zionis yang mencoba memutarbalikkan fakta penjajahan. Netanyahu boleh saja memainkan istilah “full occupation” untuk menutupi dosa sejarah mereka, tetapi umat tidak boleh tertipu. Gaza telah lama berada di bawah cengkeraman penjajah, dan pembebasannya hanya akan terwujud melalui jihad yang dipimpin oleh khalifah.

Maka, kewajiban kita saat ini adalah bergabung dalam dakwah jamaah ideologis yang bekerja untuk menegakkan kembali khilafah. Ini bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban agama yang akan menentukan masa depan Palestina dan kehormatan umat Islam seluruhnya.

Saatnya kita menyatukan tekad, menghentikan tipu daya narasi penjajah, dan menempuh jalan yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan: jihad fii sabilillah di bawah kepemimpinan khalifah. Hanya dengan cara inilah, Gaza, Palestina, dan seluruh bumi kaum Muslimin akan terbebas dari cengkeraman penjajah.[]


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga