Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islam Mampu Mewujudkan Kesejahteraan


Topswara.com -- Miskin. Kata inilah yang selalu tersemat untuk negeri kita, Indonesia yang dijuluki zamrud khatulistiwa. Kaya sumber daya alamnya namun miskin sumber kehidupan masyarakatnya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Indramayu penghasil padi dan garam terbesar, masyarakatnya berada pada tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Barat. 

Selain itu peningkatan kemiskinan pun terjadi di perkotaan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2024 angka kemiskinan meningkat dari 6,66 persen atau setara 11,05 juta jiwa menjadi 6,73 persen atau setara 11,27 juta jiwa pada Maret 2025. 

Deputi BPS, Ateng Hartono mengatakan di antara faktor penyebabnya adalah meningkatnya pengangguran pada laki-laki (beritasatu.com, 25/7/2025).

Namun mirisnya, di tengah badai PHK, BPS mengklaim kemiskinan menurun. BPS memberikan data jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, menurun 0,1 persen pada September 2024 dengan jumlah mencapai 8,74 persen. 

Ini karena BPS mengubah garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau Rp20.305 per hari (cnbcindonesia.com, 25/7/2025).

Apabila kita menghitung dengan ukuran tersebut, tentunya banyak orang yang memperoleh pendapatan lebih dari Rp600 ribu. Misalkan pendapatan Rp1 juta namun tetap saja terkategori miskin, sebab dengan penghasilan sebesar itu tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup seperti makan tiga kali sehari, pakaian dan rumah yang layak, air, pendidikan, kesehatan, transportasi hingga listrik. 

Belum lagi kenaikan harga barang semakin menambah berat kebutuhan masyarakat, maka ukuran garis kemiskinan tersebut tidaklah tepat.

Sebab data tersebut hanya menunjukkan bahwa angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas. Tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah, karena masih mengadopsi PPP (purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000)/hari). Ini jelas manipulasi statistik yang menunjukkan progres semu dalam mengatasi garis kemiskinan. 

Semua ini disebabkan sistem kapitalis yang diterapkan, menjadikan pemimpin lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang penderitaan rakyat. Bahwasanya GRK/PPP tersebut adalah standar yang sengaja dipatok oleh sistem kapitalis yang tidak pernah benar-benar ingin mengentaskan kemiskinan secara total.  

Dipatoknya angka GRK agar bisa sesuai dengan standar dunia terkait keberhasilan suatu negara dalam menurunkan angka kemiskinan. Sehingga negara tersebut masuk dalam laporan positif lembaga internasional walaupun realitas rakyatnya tetap hidup sulit. 

Kesejahteraan rakyat dalam sistem kapitalis diukur dari pendapatan per kapita atau rata-rata, perhitungannya pendapatan orang-orang miskin dijumlahkan dengan orang-orang kaya. Sehingga menghasilkan rata-rata pendapatan individu masyarakat terlihat tinggi, karena pendapatan orang miskin tertutup oleh pendapatan orang kaya. 

Padahal faktanya kemiskinan masih tetap tinggi sementara kekayaan sejatinya hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ini menandakan bahwa sistem kapitalis hanya bermain pada data tanpa distribusi kekayaan yang jelas. 

Semua ini menunjukkan bahwa akar kemiskinan ekstrem bukanlah pada definisinya, melainkan sistem ekonomi kapitalis yang menciptakan jurang si kaya dan si miskin. Di mana kekayaan menumpuk pada segelintir elite, sebab kekayaan sumber daya alam diserahkan kepada para pemilik modal termasuk asing.

Sehingga akses terhadap pendidikan, dan kesehatan yang layak semakin mahal bagi kalangan ekonomi lemah.

Begitu pun pekerjaan semakin sulit didapat, sebab dalam sistem ekonomi kapitalis yang memiliki kewenangan bukan pemerintah melainkan para pemilik modal. 

Misalnya pasal 88C UU Cipta Kerja terkait pengupahan, bahwasanya gubernur diberikan kewenangan terkait penetapan upah minimum sektoral provinsi, kabupaten/kota kini dihapuskan. 

Adanya perubahan ini akan menyebabkan upah minimum yang lebih rendah, sebab pengusaha akan lebih memilih upah minimum provinsi lebih rendah daripada upah minimum kabupaten/kota yang lebih tinggi. Pasalnya ini jelas menunjukkan betapa pemerintah hanya berpihak kepada para kapital dibandingkan rakyatnya.

Maka negara dalam sistem kapitalis alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, melainkan hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Sehingga solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah. Sebaliknya, menjadikan sistem ekonomi yang cacat dan banyak menindas rakyat. 

Hal ini tercermin bahwa kesejahteraan diukur melalui standar hidup layak yang nominalnya jauh dari kata layak, kenaikan harga barang pokok, penetapan tarif pajak, kesehatan, pendidikan dan lainnya dengan tujuan untuk pertumbuhan ekonomi. 

Padahal sejatinya demi kepentingan para pemilik modal, yang dianggap berperan penting dalam peningkatan produksi sekaligus memberikan keuntungan bagi penguasa. Sehingga negara abai terhadap amanahnya dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. 

Semua ini sangat berbeda dengan Islam. Negara dalam Islam wajib mengurus segala kebutuhan rakyatnya, termasuk menjamin kesejahteraan dengan memenuhi seluruh kebutuhan pokok setiap individu rakyat seperti sandang, pangan dan papan. Termasuk jaminan pelayanan keamanan, pendidikan, kesehatan yang berkualitas, terjangkau bahkan gratis tanpa syarat pasar.

Maka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mengatur kepemilikan harta individu, umum dan negara. Untuk harta kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara dan haram untuk dimiliki individu, swasta ataupun asing sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga dengan upah yang layak. 

Pengelolaan harta kepemilikan umum tersebut terdiri dari padang rumput, air serta api dan selanjutnya hasil pengelolaannya akan dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan umat bukan ladang bisnis.

Kemiskinan dalam pandangan Islam tidak diukur dari angka PPP (purchasing power parity) buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak? Maka sejatinya kesejahteraan rakyat hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan hukum syariat Islam kaffah oleh khilafah dalam seluruh aspek kehidupan. []


Oleh: Desi Rahmawati 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar