Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dari Gaza untuk Dunia: Nyala Kebangkitan yang Menggema


Topswara.com -- Sejak Oktober 2023, Jalur Gaza menjadi episentrum salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Lebih dari 60.000 warga Palestina tewas, termasuk sekitar 18.592 anak-anak, akibat serangan dan blokade Israel yang brutal (news.okezone.com, 30/07/2025). 

Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menyebut 60.034 orang gugur, 145.870 lainnya luka-luka (timesindonesia.co.id, 29/07/2025). Laporan internasional memperingatkan bahwa angka sebenarnya bisa lebih tinggi akibat kelaparan dan runtuhnya sistem kesehatan (theguardian.com, 8/08/2025).

Derita ini menghancurkan rumah, masjid, sekolah, hingga fasilitas kesehatan. Lebih dari 80% infrastruktur di Gaza rusak (Al Jazeera, 20/07/2025). 

Rumah sakit kekurangan obat, banyak beroperasi tanpa listrik. Strategi kelaparan pun diterapkan—pangan dan air bersih dibatasi, memaksa warga hidup di ambang kematian.

Gelombang solidaritas internasional meningkat, bahkan di negara-negara yang sebelumnya bungkam (The Guardian, 15/07/2025). Demonstrasi jutaan orang terjadi di London, Jakarta, New York, dan Istanbul, menuntut penghentian agresi.

Ironisnya, di saat rakyat dunia mendukung Gaza, sejumlah negara Arab—seperti Arab Saudi, Qatar, Mesir, Yordania, dan Turki—malah mendesak Hamas melucuti senjata dan menyerahkan Gaza kepada Otoritas Palestina melalui Deklarasi New York (detik.com, 1/08/2025).

Sungguh ini pengkhianatan nyata pemimpin kaum Muslim. Padahal Allah ï·» telah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (QS Al-Hujurat: 10).
Rasulullah ï·º bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzhaliminya… dan tidak menyerahkannya kepada musuh.” (HR. Bukhari & Muslim).

Hari ini, ukhuwah itu retak oleh kepentingan kekuasaan, janji bantuan asing, dan ketakutan atas sanksi internasional. Dunia Islam terpecah menjadi blok-blok negara yang mementingkan diplomasi, bukan nasib umat. OIC berulang kali mengecam, tetapi tanpa langkah strategis.

Sejarah mencatat, tragedi besar pernah menjadi awal kebangkitan umat. Perang Salib melahirkan kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi yang membebaskan Al-Quds. 

Kini, situasi Gaza adalah momentum untuk menyadari bahwa solusi sejati tidak datang dari PBB atau negara adidaya, melainkan dari persatuan umat di bawah kepemimpinan yang tegas—Khilafah. Dalam sejarah, Khilafah mempersatukan kekuatan militer, politik, dan ekonomi demi melindungi kaum Muslimin.

Middle East Monitor (25/07/2025) mencatat, semakin banyak anak muda di dunia Arab dan Asia Tenggara mempelajari sejarah perjuangan Islam dan mencari alternatif politik selain demokrasi liberal. Gaza menjadi cermin kelemahan dunia Islam sekaligus inspirasi untuk kembali kepada sistem yang memuliakan umat.

Rasulullah ï·º bersabda: “Imam adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari & Muslim). Tanpa perisai itu, umat akan selalu menjadi sasaran empuk kezaliman.

Krisis Gaza: Cermin Kerapuhan Umat

Gaza mengungkap kelemahan sistem politik sekuler di dunia Islam: terpecah, lemah, dan pragmatis. Tidak ada satu pun penguasa Muslim yang berkata: “Sentuh satu muslim saja, dan kamu hadapi seluruh umat!”. 

Padahal sejarah mencatat, ketika seorang muslimah ditawan di Amuriyah, Khalifah Al-Mu’tasim segera mengirim pasukan hingga benteng musuh runtuh. Sultan Abdul Hamid II menolak menukar sejengkal tanah Palestina demi kekayaan dunia, karena tanah itu amanah Allah.

Allah ï·» berfirman: "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS Ali Imran: 110).
"Allah akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” (QS An-Nur: 55).

Janji ini akan terwujud bila umat kembali bersatu di bawah kepemimpinan Islam kaffah—Khilafah. Dalam sistem itu, pembelaan terhadap negeri umat adalah kewajiban, bukan pilihan.

Rasulullah ï·º bersabda: “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad, kecuali Allah menimpakan kehinaan kepada mereka.” (HR Ahmad). Jika kehinaan telah menimpa kita, dan darah syuhada Gaza menjadi saksi, ini adalah panggilan: apakah kita akan menjadi generasi yang tenggelam dalam air mata, atau yang mengangkat kembali panji Rasulullah ï·º hingga berkibar di Masjid Al-Aqsha?

Perubahan yang dilakukan Rasulullah ï·º diawali dengan merubah pemikiran, yang kemudian membawa pada perubahan sistem kehidupan. Hal ini ditempuh dengan tiga tahapan dakwah:
Pertama, tatsqif – membentuk individu berkepribadian Islam yang kokoh akidahnya.

Kedua, tafa’ul ma‘a al-ummah – menyadarkan masyarakat akan kerusakan sistem yang ada dan menawarkan solusi Islam.

Ketiga, istilam al-hukm – mewujudkan institusi politik yang menerapkan syariat secara kaffah.

Tahapan ini membawa umat untuk menginginkan diatur oleh syariat Allah dalam sebuah institusi politik sehingga dengan kesadaran itu terwujudlah negara Khilafah Islamiyah—payung pelindung umat dari Andalusia hingga Nusantara. 

Selama umat hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan tanpa mengubah sistem, darah akan terus tertumpah. Bantuan pangan menyelamatkan nyawa sehari, tetapi kekuasaan yang berpihak pada Islam menghentikan pembantaian selamanya.

Momentum Gaza: Panggilan Kebangkitan

Ketika dunia menyeru “ceasefire”, kita harus menyeru “change system”. Gencatan senjata tanpa perubahan politik hanyalah jeda sebelum peluru berikutnya ditembakkan. Kebangkitan hakiki terjadi ketika umat percaya pada ideologinya sendiri, pemuda berani berkorban untuk dakwah, dan para pemimpin melepaskan belenggu penjajah.

Fajar kebangkitan itu akan menyala ketika umat kembali bersatu di bawah satu panji. Gaza memanggil kita—bukan hanya mengirim bantuan, tetapi menempuh jalan Rasulullah ï·º menuju perubahan hakiki dengan mewujudkan negara yang mampu menjadi pelindung umat seutuhnya. 

Di ujung derita Gaza, fajar kebangkitan sudah menyala—tinggal apakah kita berjalan ke arahnya, lalu memperjuangkannya atau membiarkannya padam. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar