Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Merajalela Islam Kaffah Solusinya


Topswara.com -- Seolah tak ada habisnya berita yang mengejutkan publik, media kembali dipenuhi dengan berita seputar kasus dugaan tindak pidana korupsi yang tengah diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) bank pelat merah. 

KPK pun telah melakukan pencegahan ke luar negeri kepada 13 orang yang belum diumumkan identitasnya itu agar proses penyidikan berjalan dengan baik. Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa tempus perkara tersebut mulai dari tahun 2020 sampai 2024 dengan nilai proyek sekitar Rp 2,1 triliun. 

KPK juga telah menggeledah dua lokasi kantor pusat salah satu bank pelat merah dan mengamankan berbagai dokumen proyek, buku tabungan, serta bukti-bukti yang bersifat elektronik. Namun, hingga saat ini belum ada penetapan resmi tersangka yang disebutkan KPK. (beritasatu.com, 30/6/25).

Kasus ini bukanlah satu-satunya kasus korupsi di Indonesia, melainkan teramat banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat tanah air kita sendiri. 

Sungguh miris, di satu sisi pemerintah berupaya melakukan efisiensi anggaran yang berdampak besar terhadap berbagai layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, tetapi di sisi lain justru pejabat pemerintahan jua lah yang dengan teganya melakukan korupsi milyaran bahkan triliunan uang negara yang sumber pemasukan terbesarnya dari pungutan pajak rakyat. 

Jabatan tidak lagi menjadi wadah untuk memberikan pelayanan kepada rakyat dengan amanah, melainkan dijadikan alat politik transaksional antara para pemegang jabatan dan pemilik modal (kapital). Lagi-lagi rakyat yang harus merasakan pahitnya permainan politik kotor tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara yang menerapkan politik demokrasi ala kapitalis akan semakin menyuburkan perilaku korupsi dari pejabatnya. 

Bagaimana tidak? Alih-alih menggunakan wewenangnya untuk menyejahterakan masyarakat, mereka justru memanfaatkan kekuasaannya untuk menggemukkan kantong pribadi dengan celah-celah pengadaan proyek di setiap lini. 

Apapun akan dilakukan demi mengembalikan modal yang fantastis saat berkampanye, atau bahkan tergiur untuk meraup keuntungan yang lebih besar dari itu. Konsep untung rugi dalam politik demokrasi ini akan terus berulang setiap periodenya meski kursi-kursi jabatan tersebut diisi dengan orang yang berbeda-beda. 

Hal ini dikarenakan asas pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) yang menghantarkan kebebasan perilaku setiap individu tanpa mempertimbangkan baik buruk, pahala maupun dosa. 

Berbeda dengan konsep negara yang menerapkan sistem Islam di dalamnya. Paradigma kepemimpinan yang berdasar kepada akidah Islam akan menuntun pemimpin suatu negara bergerak dan mengambil keputusan sesuai dengan syariat Islam. 

Moral pemimpin dan pejabat negaranya sarat akan kebaikan, mengajak yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, sehingga akan terwujud masyarakat yang adil dan sejahtera. 

Jabatan bukan ia dijadikan ajang memperkaya diri, tetapi sebagai wadah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amanah-amanah yang dibebankan rakyat kepadanya. 

Beban amanah ini juga terasa besar dan berat bagi individu tersebut, sebab ia paham bahwa setiap amalan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak.

Sejarah pun mencatat, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz saat menjabat sebagai KHalifah tidak segan-segan memecat para pejabat dan penguasa yang zalim serta melakukan tindak korupsi, tanpa pandang bulu. 

Beliau pernah memecat Yazid ibn Muhallab, gubernur Khurassan yang tidak bisa membuktikan tuduhan atasnya terhadap penggelapan pajak dari kas provinsi. 

Ia juga diasingkan ke Pulau Cyprus dan digantikan oleh Jarrah ibn Abdullah. Sikap tidak pandang bulu Umar ibn Abdul Aziz ini membuktikan bahwa seorang pemimpin yang taat pada Allah, akan membuatnya lebih takut kepada Rabb-nya apabila berbuat zalim dan dosa daripada takut terhadap manusia. 

Wallahu’alam bishawab.


Oleh: Mela
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar