Topswara.com -- Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali diguncang kabar kecurangan di sektor pangan, khususnya beras. Penipuan ini bukan sekadar persoalan pedagang kecil menipu pembeli di pasar tradisional.
Kasus ini melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang memainkan kualitas, jenis, hingga timbangan beras demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Masyarakat pun harus menanggung kerugian besar, baik secara ekonomi maupun rasa aman sebagai konsumen. Ironisnya, praktik ini terjadi di tengah tumpukan regulasi yang sejatinya sudah ada untuk melindungi rakyat.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya. (Kompas.com, 13/07/2025)
Fenomena ini sejatinya bukan kasus baru. Di sektor pangan, permainan kotor seperti pengoplosan beras premium dengan kualitas rendah, pengurangan timbangan, hingga manipulasi label sudah berulang kali terbongkar.
Namun praktiknya tetap berulang. Kenapa? Karena di bawah sistem kapitalisme sekuler, semua diukur dengan untung-rugi materi. Regulasi hanya menjadi alat formalitas atau senjata politik, bukan instrumen perlindungan rakyat.
Kita juga harus jujur mengakui bahwa kebobrokan ini dibiarkan oleh lemahnya fungsi pengawasan dan sanksi negara. Aparat penegak hukum sering kali tidak sigap, atau justru ikut terlibat dalam lingkaran mafia pangan.
Selain manipulasi data, Satgas juga mengendus adanya praktik percaloan dan monopoli yang berpotensi menekan pasar dan memengaruhi psikologis masyarakat. Investigasi terhadap struktur data dan alur distribusi di bawah pengelolaan PT Food Station Tjipinang Jaya masih terus berlangsung. (Kompas.com, 05/06/2025)
Regulasi hanya menjadi tameng yang di atas kertas tampak indah, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan modal besar, tak bergigi.
Lebih memprihatinkan lagi, negara nyaris absen dalam peran strategis mengurusi pangan. Seluruh rantai dari hulu hingga hilir dikuasai korporasi besar. Negara hanya mengendalikan sebagian kecil pasokan, bahkan disebut tak lebih dari 10 persen.
Akibatnya, posisi tawar negara di hadapan korporasi sangat lemah. Ketika korporasi bermain harga, menimbun, atau melakukan kecurangan, negara sering kali tak berkutik.
Pengawasan pun bersifat reaktif, bukan preventif. Penindakan kerap berhenti pada pekerja lapangan atau pengecer kecil, sementara aktor besar di balik praktik curang tetap nyaman di balik meja-meja kekuasaan.
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam Islam, penguasa adalah raain (penggembala) sekaligus junnah (perisai) bagi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda: "Imam (penguasa) adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, penguasa wajib menjamin keadilan dan melindungi rakyat dari kecurangan, penipuan, dan kezaliman.
Dalam Islam, penegakan aturan bukan sekadar seremonial. Ada tiga pilar kokoh agar hukum berjalan efektif:
Pertama, ketakwaan individu. Pendidikan Islam membentuk individu yang meyakini bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Prinsip halal haram menjadi filter utama sebelum seseorang melakukan transaksi atau berbisnis.
Kedua, kontrol masyarakat. Umat Islam diperintahkan untuk saling menasihati dan mencegah kemungkaran. Pasar menjadi ruang publik yang dijaga bersama, bukan ladang penipuan.
Ketiga, tegaknya hukum oleh negara. Negara wajib menegakkan aturan dengan sanksi tegas dan menjerakan. Islam bahkan memiliki institusi qadhi hisbah, semacam lembaga pengawas pasar yang bertugas memeriksa kualitas barang, kejujuran timbangan, hingga praktik distribusi. Qadhi hisbah memiliki wewenang menindak langsung pelaku penipuan, bahkan menyita barang dan memberikan sanksi di tempat.
Islam tidak membiarkan korporasi menguasai pangan dari hulu hingga hilir. Negara wajib hadir secara aktif, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Negara menjamin rantai pasokan berjalan adil, mencegah monopoli, penimbunan, hingga kecurangan. Negara juga bertanggung jawab memastikan pangan berkualitas benar-benar sampai ke setiap individu rakyat dengan harga yang terjangkau.
Kasus kecurangan beras hanyalah satu dari sekian banyak potret carut-marut tata kelola pangan hari ini. Masih banyak cerita miris di sektor migas, air, listrik, bahkan pelayanan publik lainnya. Semua bermuara pada satu akar yaitu sistem kapitalisme sekuler yang menjauhkan aturan Allah dari kehidupan.
Sudah saatnya kita merindukan penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga dalam tata niaga, pendidikan, pengawasan, dan sistem sanksi. Hanya dengan cara inilah kezaliman dapat diakhiri, dan kesejahteraan dapat dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat.
Wallahu 'alam.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari
0 Komentar