Topswara.com -- Saat ini kasus kekerasan makin merajalela dan mengerikan, tak terkecuali terhadap perempuan dan anak. Kasus yang terjadi sejak januari hingga 14 juni 2025 sudah ada sekitar 11.800 kasus terlapor.
Bahkan meningkat sampai 7 juli 2025 menjadi 13,000 kasus. Sebagaimana diungkapkan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan (PPPA) Arifah Fauzi dalam konferensi persnya di Jakarta (10-7-2025).
Menteri Arifah juga menyampaikan bahwa selain pola asuh, sebagian besar penyebab atau sumber dari kekerasan terhadap perempuan dan anak ini dipicu oleh media sosial atau penggunaan gawai (gadget).
Tak bisa dipungkiri penggunaan gawai berbasis internet pada era sekarang ini, memang tidak bisa dihindari. Untuk pendidikan, komunikasi, mencari penghasilan, hiburan bahkan alat pertahanandan keamanan negara.
Hanya saja perkembangan dunia siber saat ini nyaris tanpa kendali. Konten apa pun seperti judol, kekerasan, dan pornografi tersedia di dunia maya dan bisa dengan mudah diakses siapa saja, termasuk anak-anak.
Dampaknya tidak sedikit kasus gangguan perilaku anak seperti asosial, kasar, niradab, dan sebagainya, serta munculnya gangguan kecerdasan, kecemasan, bahkan depresi. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Terlebih pemberian gawai secara masif pada anak, kerap meraka rentan menjadi korban kejahatan berbasis siber, bahkan menjadi pelakunya.
Survei National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC) menyebut Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan asean dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital. (tempo, 9-7-2025).
Upaya kampanye anti kekerasan di berbagai lingkungan, mulai dari sekolah, permukiman kota dan desa, tempat kerja, hingga dunia maya, yang dilakukan pemerintah melalui Instruksi Presiden (inpres) nomor 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kejahatan seksual terhadap anak, tidak berpengaruh signifikan.
Alih-alih berkurang, nyatanya kasus kekerasan dan kejahatan berbasis siber khususnya terhadap perempuan dan anak dari waktu ke waktu malah terus meningkat dan bentuknya pun kian beragam, bahkan mengerikan.
Hal ini dikarenakan kasus kejahatan atau kekerasan siber bukan hanya disebabkan satu-dua faktor saja, melainkan problem sistematis, yakni penerapan sistem sekuler kapitalisme yang mengagungkan kebebasan dan menjauhkan agama dari kehidupan.
Alhasil, lahirlah aturan-aturan hidup yang rusak dan merusak. Penerapan sistem pendidikan sekuler yang melahirkan sdm yang lemah dalam hal akidah, akhlak, dan literasi digital, hidup tanpa visi, serta mudah terjerumus dalam perkara yang bertentangan dengan syariat dan merusak masa depan. Sedangkan sanksi yang ada sangat lemah dan tidak berefek menjaga dan menjerakan.
Berbeda dengan sistem islam yang lahir dari zat yang maha sempurna, mengatur seluruh persoalan manusia, mulai dari masalah politik, ekonomi, pergaulan, pendidikan, hukum, hankam, dan lainnya. Negara dalam Islam yaitu khilafah tegak di atas akidah dan berfungsi sebagai pengurus dan penjaga.
Sistem pendidikan dan pergaulan yang berbasis akidah islam dan bertujuan membentuk sdm yang berkepribadian islam, serta menjadi generasi peradaban islam yang cemerlang.
Sehingga berbagai kerusakan dan kejahatan berbasis siber akan tercegah dengan sendirinya, yakni dengan munculnya individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang bersih dan kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, serta negara yang punya visi dunia-akhirat.
Kehidupan seperti itu pernah terwujud dalam sejarah peradaban islam, selama belasan abad, umat islam bangkit sebagai mercusuar peradaban, karena generasinya tumbuh sebagai generasi yang visioner, produktif, dan inovatif di bawah dorongan keimanan.
Sudah saatnya, umat kembali kepada Islam kaffah dibawah naungan khilafah yang akan mengubah wajah dunia yang penuh dengan kerusakan dan kezaliman menjadi dunia yang diliputi rahmat seluruh alam.
wallahu’alam bishawab
Oleh: Yuzi Rizqiati
Aktivis Muslimah
0 Komentar