Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Program MBG Kisruh, Peningkatan SDM Masih Jauh

Topswara.com -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG), merupakan program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo pada saat kampanye di Pilpres 2024 yang lalu. Usaha pemerintah dalam MBG bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui peningkatan gizi bagi anak sekolah. 

Program ini resmi dimulai pada 06 Januari 2025. Implementasinya dilakukan secara bertahap hingga mencakup seluruh jenjang pendidikan, dimulai dari usia PAUD hingga jenjang SMA/sederajat di semua wilayah kabupaten/kota dengan mempertimbangkan kesinambungan fiskal. 

Dalam pelaksanaannya, di harapkan menggunakan bahan makan yang berasal dari sumber pangan lokal (mediakeuangan.kemenkeu.go.id, 17/02/25).

Belum lagi program MBG ini merata terselenggara di seluruh daerah di Indonesia, masalah sudah mulai bermunculan. Sejumlah peristiwa keracunan makanan terjadi. Seperti di Bogor, pada 9 Mei 2025 lalu sebanyak 210 korban baik dari siswa dan guru, yang berasal dari delapan sekolah harus menjalani perawatan. 

Sebanyak 34 orang rawat inap, 47 orang rawat jalan, dan 129 mengalami keluhan ringan. Delapan sekolah tersebut berasal dari satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sama (cnnindonesia.com, 11/05/25). 

Sebelumnya di Bogor juga terjadi 171 siswa tingkat TK, SD, SMP yang mengalami kasus keracunan. Saat ini Pemkab Bogor menjadikan banyaknya kasus keracunan ini sebagai status Kejadian Luar Biasa (KLB). 

Selain maraknya masalah keracunan makanan, program ini juga menimbulkan masalah dari pelaksanaan SPPG nya. Seperti yang dialami SPPG Kalibata, Pancoran. Pihak mitra mengalami kebangkrutan dengan kerugian menyentuh angka 1 miliar. Berhentinya beroperasi SPPG Kalibata karena klaim mengalami kerugian ekonomi. 

Adapun Yayasan MBN yang ditunjuk sebagai penanggung jawab SPPG Kalibata, rupanya mempekerjakan pihak lain sebagai eksekutornya. Kegiatan mulai dari belanja, memasak, hingga mendistribusikan MBG ke sejumlah sekolah bukan oleh pihak yayasan. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian perjanjian kerja. 

Disebutkan dalam kontrak kerja sama antara pihak yayasan MBN dengan Ira Mesra, mematok menu MBG sebesar Rp15 ribu per porsi. Sedangkan anggaran yang ditentukan hanya sebesar Rp13 ribu (metrotvnews.com, 17/04/25).

Setelah adanya mediasi yang dilakukan oleh Kepala Badan Gizi Nasional yaitu Dadan Hindayana pada Rabu, 16 April 2025 berhasil menawarkan solusi yang konkrit atas persoalan ini. 

Saat ini SPPG tersebut telah kembali beroperasi mendistribusikan MBG ke 19 sekolah di Jakarta Selatan dan sekitarnya berlaku mulai 17 April 2025. Kendati demikian, pihak mitra masih akan tetap meneruskan menempuh jalur hukum atas kerugian ekonomi yang dialami oleh pihak yayasan.

Lain lagi pada kondisi yang terjadi di wilayah luar pulau Jawa. Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) misalnya, untuk dapat menikmati program MBG masih harus tertunda. Pusat operasional program, yaitu gedung SPPG dilaporkan belum sepenuhnya siap akibat kekurangan fasilitas kamar yang memang krusial.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal (kasat Reskrim) Polres PPU, AKP Dian kusnawan, pengadaan tiga kamar menjadi kebutuhan mendesak untuk menampung pengurus inti yakni ketua, ahli gizi, dan akuntan, yang diharuskan menetap di lokasi untuk kelangsungan operasional 24 jam (cahayaborneo.com, 01/05/2025).

Bukan dengan Solusi Asuransi

Karena banyaknya kasus keracunan MBG yang terjadi, oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) program MBG akan diasuransikan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk proteksi risiko yang mungkin muncul dari pelaksanaan program MBG. 

Saat ini Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), sedang membuat susunan proposal awal yang berisi mekanisme penyelenggaraan produk asuransi untuk program MBG.

Asosiasi ini telah mengidentifikasi risiko yang memungkinkan untuk bisa didukung asuransi. Risiko tersebut seperti keracunan bagi para penerima MBG, anak sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui. Termasuk pula proteksi risiko kecelakaan bagi para pihak yang menyelenggarakan program MBG. 

Mulai dari Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) hingga SPPG. Proposal itu memuat terkait besaran pertanggungan, santunan yang akan diterima, dan premi yang harus dibayarkan. 

Lagi-lagi ini akan menjadi tambahan pembiayaan, yang tentu akan menambah beban APBN. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira Adhinegara menilai justru asuransi membebani pembiayaan program MBG.

Penambahan beban anggaran itu akan berpotensi mengurangi manfaat yang seharusnya diterima oleh siswa. Penyelenggaraan pembiayaan yang boros untuk hal-hal administratif dan operasional. 

Belum lagi potensi penyalahgunaan dana yang sekarang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Maka dari itu, skema asuransi kurang tepat untuk mengatasi kasus keracunan yang cukup tinggi. 

Sebab, MBG merupakan program bantuan sosial yang dicetuskan dalam rangka meningkatkan SDM generasi melalui perbaikan gizi. 

Seharusnya, prioritas yang dilakukan pemerintah adalah bagaimana untuk dapat  menjamin agar tidak terjadi keracunan dalam program MBG. Paling tepat adalah pencegahan, bukan dengan skema mengobati atas keracunan yang terjadi, yang ujung-ujungnya kian membebani anggaran negara dimana beban utang juga semakin membengkak. 

Sejak awal, pengawasan berjalannya program ini memang harus menjadi tanggung jawab pemerintah saat perancangannya. 

Islam Menjamin Gizi Rakyat

Kisruh yang terjadi dalam penyelenggaraan program MBG ini adalah akibat dari industri kapitalis yang lebih mengedepankan keuntungan dari pada kesehatan dan keselamatan masyarakat. Sikap pemerintah yang kemudian berlepas tangan dengan mengasuransikan MBG merupakan bentuk komersialisasi risiko bukanlah bentuk solusi preventif.

Negara dengan sistem kapitalis membiarkan beredarnya produk-produk berbahaya di pasaran dengan tanpa pengawasan yang ketat. Industrialisasi semacam ini mengedepankan keuntungan daripada keselamatan bagi masyarakat. 

Negara gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan serta kultur ekonomi yang stabil, yang memicu terjadinya peluang tindak manipulasi produk-produk makanan di pasaran. 

Dalam sistem Islam negara akan mengatur secara sistemik dalam penjaminan keamanan pangan dan gizi masyarakat. Negara tidak menyerahkan hal ini kepada mekanisme pasar dan korporasi. Negara akan membuka lapangan pekerjaan yang luas melalui pengelolaan sumber daya alam dan sektor produktif. 

Dengan mekanisme seperti ini peningkatan SDM melalui peningkatan gizi bukan satu hal yang sulit, bahkan menjadi kebutuhan mendasar yang dapat terpenuhi bagi seluruh masyarakat. []


Oleh: Noor Jannatun Ratnawati, S.Kom.I.
(Aktivis Muslimah di Bantul, DIY) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar