Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jauhilah Para Begal Hati, Jauhilah Maksiat


Topswara.com -- Abdullah bin Masúd berkata: Jauhilah para begal hati. Tinggalkanlah apa pun yang membegal hatimu. Dosa adalah pembegal hati. Jika ia berasal dari pandangan, maka di sana ada porsi setan.

Kutipan tersebut menyiratkan pesan penting tentang menjaga hati dan jiwa dari hal-hal yang negatif atau dosa. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dihormati, menekankan pentingnya menjauhi segala sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwa seseorang.

Istilah "begal hati" digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang merusak atau merampas kedamaian dan kebahagiaan dalam hati seseorang. Ini bisa merujuk pada berbagai hal, mulai dari dosa-dosa besar seperti mencuri, berbohong, atau merusak, hingga dosa-dosa yang lebih halus seperti iri hati, dengki, atau permusuhan.

Abdullah bin Mas'ud menegaskan bahwa dosa adalah salah satu bentuk "begal hati" yang paling berbahaya. Dosa-dosa ini bisa merusak hati seseorang dan menjauhkannya dari jalan yang benar. Dia juga mengingatkan bahwa dosa sering kali berasal dari godaan atau dorongan setan yang berusaha menggoda manusia agar melakukan perbuatan jahat.

Dalam konteks ini, pesan tersebut menekankan pentingnya menjaga hati dan jiwa dari pengaruh negatif, baik itu dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Menjauhi dosa dan segala hal yang dapat merusak hati adalah langkah penting dalam menjaga kesejahteraan spiritual dan mendekatkan diri pada Allah SWT.

Ketakwaan adalah dengan cara menaati dan tidak bermaksiat, mensyukuri dan tidak kufur nikmat, serta mengingat dan tidak melupakan. Demikian nasihat Abdullah bin Masúd.

Nasehat Abdullah bin Mas'ud ini menyoroti prinsip-prinsip dasar ketakwaan dalam Islam. Ketakwaan, atau "taqwa" dalam bahasa Arab, adalah konsep sentral dalam ajaran Islam yang menggambarkan sikap takut kepada Allah SWT dan berusaha untuk mematuhi perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Berikut adalah poin-poin penting yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas'ud tentang ketakwaan:

1. Menaati dan tidak bermaksiat: Ketakwaan melibatkan ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi segala bentuk maksiat atau pelanggaran terhadap perintah-Nya. Ini mencakup mematuhi hukum-hukum Islam dan menjalankan kewajiban agama dengan penuh kesadaran dan kepatuhan.

2. Mensyukuri dan tidak kufur nikmat: Ketakwaan juga mencakup sikap syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Hal ini meliputi pengakuan atas segala anugerah dan berkat yang diberikan-Nya kepada kita dalam hidup ini. Sebaliknya, ingatlah bahwa menjadi kufur nikmat atau tidak bersyukur adalah perilaku yang bertentangan dengan ketakwaan.

3. Mengingat dan tidak melupakan: Ketakwaan juga melibatkan tindakan terus-menerus untuk mengingat Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini melibatkan pengingatan terhadap kebesaran-Nya, taat kepada-Nya, serta kesadaran akan akhirat dan pertanggungjawaban kita di hadapan-Nya.

Dengan mengikuti nasehat ini, seseorang dapat meningkatkan kesadaran spiritualnya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketakwaan membimbing kita dalam menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah dan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya.

Menjauhi Maksiat Kita Akan Selamat

Ya, menjauhi maksiat adalah langkah penting dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan spiritual kita. Dalam ajaran Islam, maksiat merujuk pada segala tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran dan perintah Allah SWT. Melakukan maksiat bisa mengakibatkan kerugian spiritual dan dapat mengarah pada siksaan di akhirat.

Dalam Al-Quran, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menjauhi maksiat dan berusaha melakukan kebaikan akan mendapatkan keberkahan dan keselamatan. Salah satu ayat yang relevan adalah dalam Surah An-Nur (24:21):

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 

Sobat. Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, agar mereka itu jangan menuruti ajakan setan, mengikuti jejak dan langkahnya, seperti suka dan senang menyebarluaskan aib dan perbuatan keji di antara orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang senang mengikuti langkah-langkah setan, pasti ia akan terjerumus ke lembah kehinaan, berbuat yang keji dan mungkar, karena setan itu memang suka berbuat yang demikian. Oleh karena itu jangan sekali-kali mau mencoba-coba mengikuti jejak dan langkahnya. 

Sekiranya Allah tidak memberikan karunia dan rahmat kepada hamba-Nya dan yang selalu membukakan kesempatan sebesar-besarnya untuk bertobat dari maksiat yang telah diperbuat mereka, tentunya mereka tidak akan bersih dari dosa-dosa mereka yang mengakibatkan kekecewaan dan kesengsaraan, bahkan akan disegerakan azab yang menyiksa mereka itu di dunia ini, sebagaimana firman Allah:

Dan Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya Dia tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. (an- Nahl/16: 61)

Allah Yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, bagaimana pun juga, Dia tetap akan membersihkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-Nya, dengan menerima tobat mereka seperti halnya Hassan, Mistah bin Utsatsah dan lainnya. Mereka itu telah dibersihkan dari penyakit nifak, sekalipun mereka itu telah berperang secara aktif di dalam penyebaran berita bohong yang dikenal dengan "haditsul-ifki", Allah Maha Mendengar segala apa yang diucapkan yang sifatnya menuduh dan ketentuan kebersihan yang dituduh, Maha Mengetahui apa yang terkandung dan tersembunyi di dalam hati mereka yang senang menyebarkan berita-berita keji yang memalukan orang lain.

Menghindari maksiat adalah langkah awal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih keberkahan-Nya. Dengan menjauhi maksiat, kita memperkuat ikatan spiritual kita dengan Allah dan melindungi diri kita dari bahaya yang mengancam keselamatan spiritual kita.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa menjauhi maksiat bukan hanya untuk kepentingan akhirat, tetapi juga membawa manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dengan hidup sesuai dengan ajaran agama dan menjauhi perbuatan yang merugikan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, damai, dan penuh kasih sayang di masyarakat.

Jadi, sungguh benar bahwa menjauhi maksiat adalah kunci untuk meraih keselamatan spiritual dan keberkahan dari Allah SWT.

Ketika Ibnu Masúd masih hidup, Kufah di landa gempa bumi, lalu dia berkata, "Sesungguhnya Tuhan kalian memerintahkan untuk ridha, maka jauhilah maksiat demi Dia." 

Pernyataan Abdullah bin Mas'ud dalam konteks gempa bumi di Kufah menyiratkan pesan penting tentang pentingnya ridha atau keridhaan Allah SWT, serta menjauhi maksiat sebagai salah satu cara untuk mencapai ridha-Nya.

Gempa bumi, seperti bencana alam lainnya, seringkali dianggap sebagai peringatan dan tanda kekuasaan Allah SWT. Abdullah bin Mas'ud, dengan mengingatkan orang-orang pada perintah Allah untuk mencari ridha-Nya, menekankan bahwa saat-saat seperti itu harus digunakan sebagai kesempatan untuk introspeksi dan perbaikan diri.

Perintah untuk mencari ridha Allah SWT merupakan prinsip penting dalam ajaran Islam. Keridhaan Allah adalah tujuan akhir bagi setiap muslim, dan mencapainya memerlukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi segala bentuk maksiat. Dengan ridha Allah, seseorang akan mendapatkan keberkahan, kedamaian, dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam konteks gempa bumi tersebut, Abdullah bin Mas'ud menekankan bahwa situasi tersebut harus dijadikan sebagai pengingat bagi umat Islam untuk meningkatkan ketaatan mereka kepada Allah dan menjauhi segala bentuk maksiat. Hal ini menegaskan bahwa dalam menghadapi cobaan atau bencana alam, langkah terpenting yang harus diambil adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan dan menghindari segala bentuk dosa dan maksiat.

Jadi, pernyataan Abdullah bin Mas'ud tersebut memberikan pengingat yang kuat tentang pentingnya menjauhi maksiat dan mencari ridha Allah sebagai kunci untuk mengatasi cobaan dan mendapatkan keberkahan dalam kehidupan.

Ibnu as-Sammak berkata, "Ibadah yang paling utama adalah menahan diri dari maksiat dan berhenti dari syubhat. Dan, kemauan yang paling jelek adalah mencari dunia dengan amal akherat."

Pernyataan Ibnu as-Sammak menyoroti pentingnya menjauhi maksiat dan menghindari segala bentuk keraguan atau syubhat dalam ibadah. Di samping itu, ia juga menegaskan bahaya dari niat yang bercampur antara dunia dan akhirat.

1. Menahan diri dari maksiat: Menahan diri dari maksiat atau dosa adalah bentuk ibadah yang paling utama dalam Islam. Hal ini menunjukkan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada perintah Allah SWT. Ketika seseorang mampu menahan diri dari godaan untuk melakukan maksiat, ia meneguhkan komitmen spiritualnya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Berhenti dari syubhat: Selain menjauhi maksiat, penting juga untuk berhenti dari syubhat, yaitu hal-hal yang tidak jelas status kehalalannya dalam agama Islam. Menghindari syubhat membantu seseorang untuk menjaga kesucian agama dan hati nuraninya. Ini menciptakan kejelasan dan ketenangan dalam menjalani kehidupan spiritual.

3. Mencari dunia dengan amal akhirat: Ibnu as-Sammak menyebutkan bahwa salah satu perilaku yang paling jelek adalah mencari keuntungan dunia dengan melakukan amal ibadah yang seharusnya ditujukan untuk kehidupan akhirat. Ini mencerminkan sikap yang tidak murni dan bertentangan dengan prinsip-prinsip ketakwaan dan ikhlas dalam beribadah. Ia menegaskan pentingnya memisahkan antara niat untuk urusan duniawi dan niat untuk urusan akhirat, serta mengutamakan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Pernyataan Ibnu as-Sammak ini mengingatkan kita akan pentingnya kesucian niat dalam beribadah, menjauhi maksiat, dan menghindari keraguan dalam menjalankan ajaran agama. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat mencapai kedekatan dengan Allah SWT dan menghindari jalan yang salah dalam menjalani kehidupan ini.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar