Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Road to 2024 (36): Pemilu 2024 Keras, Lur!


Topswara.com -- Pasca-penetapan nomor capres dan cawapres kampanye pun dimulai memanas. Caleg yang sudah ancang-ancang sejak awal terlebih dahulu mengepakkan sayap pengenalan. Semua kontestan, baik pileg dan pilpres, gaspol menemui konstituen dan ceruk suara. Pemilu 2024 kali ini begitu keras! Pasalnya, drama politik sebelum permulaan pemilu 2024 dipenuhi intrik dan tak-tik. Mulai isu perpanjangan periode, cawe-cawe, perubahan UU, netralitas pejabat, hingga mencuatnya gaya ‘orde baru’.

Capres-cawapres dalam kampanye pun saling melontar gagasan dan sindirian. Pemilu yang sejatinya pesta, tapi bukan untuk rakyat, melainkan pesta elite politik dan oligarki. Harapan pemilu damai dan gembira tampaknya hanya menghibur diri. Hal ini karena pemilu sendiri berkelindan kepentingan yang sulit diurai seperti benang yang ruwet. Saling menyudutkan dan tackling menjadi hal yang biasa. Uang pun tampaknya akan berbicara, selain kerja-kerja rahasia menggunakan alat negara.

Bisa dibilang pemilu 2024 begitu keras. Perebutan kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi ajang perlombaan lima tahunan. Caleg bersaing dengan sesama partai dan partai lainnya. Capres-cawapres bersaing merebut hati jutaan rakyat Indonesia dengan koalisi partainya. Semua pun sementara ini konsentrasi demi urusan menang, menang, dan menang. Suara rakyat menjadi barang mahal yang saat ini ingin diamankan.

Keras, Lur!

Pemilu dalam sistem politik demokrasi terdapat beberapa catatan. Mulai berbiaya mahal, berjalan di atas liberalisme, abuse of power, hingga sistem yang sulit untuk diwujudkan ideal. Demokrasi bukanlah sesederhana yang selama ini dibayangkan. Cukup ada perwakilan yang mewakili jutaan rakyat di gedung dewan, belum tentu mewakili suara hati rakyat. Lalu, seorang presiden dan wakil presiden, belum tentu disukai mayoritas rakyat. Kondisi inilah yang memberikan celah munculnya ketidakstabilan dalam menjalankan pemerintahan.

Kerasnya pemilu 2024 bisa dianalisis sebagai berikut: Pertama, tujuan berpolitik bukan dengan asas pengabdian kepada Allah Yang Menciptakan makhluk. Motivasi kedudukan, kekuasaan, dan duniawi lebih mendominasi. Kalau sudah demikian maka menghalalkan segala cara ditempuh demi sebuah kursi kekuasaan.

Kedua, liberalisme politik yang telah merombak aturan main dan konstitusi. Tak jarang aturan yang sudah disepakati kerap dilanggar. Dikit-dikit gugatan UU melalui Mahkamah Konstitusi. Anggota dewan pun berdebat di antara mereka sendiri terkait aturan yang coba diubah demi keuntungan kelompok dan partai. 

Ketiga, keuangan yang berkuasa. Tawaran dan bujukan untuk mendukung ‘orang tertentu’ biasanya diwujudkan dengan uang. Keuntungan materi selama ini masih dalam pemikiran orang-orang. Ditambah jiwa pragmatis yang mengiris hati. Operasi uang dari receh hingga miliaran. Seolah uang tiada berseri dan tanpa harga.

Keempat, dugaan kecurangan pemilu. Hembusan luber jurdil pun digaungkan pasca ada dugaan penelikungan dan gaya lama berpolitik yang tak sesuai kode etik. Kecurangan terjadi karena dalam politik demokrasi tidak mengenal halal dan haram. Jadi sah-sah saja melakukan kecurangan yang kemudian ditutupi kebobrokannya. Serapi-rapinya kecurangan ditutupi akan terbuka suatu saat nanti.

Kerasnya pemilu ini menandakan jika suksesi politik dalam demokrasi penuh intrik. Segudang tak-tik disusun untuk meraih kekuasaan dan opini publik. Pertarungan dalam perebutan kekuasaan menjadi tontonan stand up comedy politic yang menggelitik.

Rakyat Bersikap

Sikap rakyat kini seyogyanya lebih cerdas kembali. Berkali-kali pemilu dengan modelnya hendaknya mampu diambil pelajaran. Jangan sampai masuk lubang buaya kedua kalinya. Kerasnya pemilu ini sebenarnya permainan kelas atas elit politik. Rakyat hanya dijadikan obyek dan penonton. Rakyat sama sekali bukanlah penentu.

Sikap rakyat yang bijak tentu tidak terlalu larut dalam kerasnya pemilu. Rakyat juga perlu membekali diri dengan pemikiran politik yang benar. Politik yang tak cuma urusan coblas-coblos. Lebih dari itu, politik yang bermakna mengurusi urusan rakyat dalam seluruh aspek kehidupan. Alhasil pemimpin yang terpilih betul-betul amanah dan taat pada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan yang mewujudkan penerapan syariah kaffah dalam kehidupan.

Sikap rakyat perlu diperjelas. Agenda rakyat ke depan tak hanya sibuk menentukan pilihan dan pemimpin. Rakyat perlu membuat arus baru perubahan yang tidak hanya bersifat parsial, tapi juga fundamental. Perubahan yang bukan sekedar janji, tapi perubahan pasti dan bertaji menuju ridha ilahi. Itulah perjuangan mewujudkan peradaban Islam yang diharapkan mendatangkan kemajuan dan keberkahan untuk Indonesia lebih baik.[]

Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar