Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Masyarakat Gemar Tabayyun dan Muhasabah Hanya Ada dalam Islam


Topswara.com -- Apa pun yang dilakukan oleh seseorang tentu saja dipengaruhi oleh pemahamannya. Lalu, pemahaman apa yang memicu seseorang untuk hobi menulis segala sesuatu yang berhubungan dengan aib orang lain di media sosial atau merekam orang lain tanpa izin demi viral?

Pemahaman yang dipengaruhi oleh sekularisme kapitalisme bisa mempengaruhi seseorang untuk melakukan semua hal di atas. Pemahaman tersebut menempatkan materi di atas segalanya. 

Alhasil, masyarakat kapitalis senantiasa mengejar materi sebagai tujuan hidupnya. Materi tersebut tidak melulu soal uang, bisa jadi berupa kesenangan, perhatian, menjadi artis,  selebgram, masuk viral TikTok fyp, dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya tetap mendapatkan uang dari profesinya. 

Nah, kalau materi sudah menjadi tujuan hidup, maka segala hal yang dianggap menghalangi tercapainya tujuan hidup tersebut akan dipinggirkan. Bahkan bisa menyingkirkan rasa kemanusiaan dan mengabaikan kebenaran demi teraihnya tujuan tersebut. 

Sehingga demi mendapat banyak follower dan viral, akan ada saja manusia yang tega memframing orang dengan foto atau video disertai dengan caption yang sebenarnya belum tentu kebenarannya. 

Padahal kalau yang dituduhkan dalam medsos tersebut salah, maka jatuhnya fitnah. Seandainya di dalam medsos itu benar, maka jatuhnya juga menyebarkan aib orang lain. Keduanya adalah hal yang tidak diperbolehkan di dalam Islam.

Berbeda dengan pemahaman yang dipengaruhi oleh akidah Islam. Pemahaman tersebut akan membuat manusia menyadari bahwa tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah Ta'ala. Melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya demi mendapatkan ridha Allah semata termasuk dalam penggunaan teknologi.

Perkembangan teknologi seperti kamera atau media sosial sebenarnya boleh-boleh saja selama aktivitasnya diperbolehkan oleh syariat. Misalnya untuk menyadarkan umat tentang Islam, menyebarkan nasihat Islam. 

Tidak boleh dipakai untuk menzalimi orang lain, seperti menyebabkan fitnah atau sengaja mengadu domba orang lain. Dalam Al-Qur'an surah Al Ahzab ayat 58, Allah Ta'ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.

Namun yang menjadi masalah adalah sangat sulit menghilangkan kebiasaan keinginan masyarakat kapitalis untuk memviralkan aib orang lain. Mengapa? Karena lingkungan liberal sudah membiasakan dan membiarkan semua itu terjadi, yaitu untuk memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan. 

Pengaruh kapitalis benar-benar mendarah daging di tengah masyarakat sampai membuat kita berpikir oportunis, everytime, everywhere, di mana ada peluang menjadi viral dan uang, maka di saat itulah handphone diangkat tinggi-tinggi hingga akhirnya netizen di seluruh dunia akan tergiring opini mengikuti caption. Astaghfirullahal 'adzim.

Ngeri bukan? Hidup di luar rumah terasa tidak aman dan nyaman karena merasa diawasi CCTV selama 24 jam yang siap menunggu aib kita untuk diviralkan di media sosial. Nah, yang paling pas adalah lingkungan masyarakat yang menerapkan syariat Islam. 

Masyarakat islami memiliki kebiasaan tabayyun dan muhasabah. Sebagai Muslim, saat melihat seorang bermaksiat di tempat umum, maka tidak ada ceritanya mau memfoto atau memvideo tanpa izin untuk meviralkan, tapi akan segera melakukan tabayyun atau cek kebenaran kepada orang yang terlibat. 

Kalau ternyata mereka memang melakukan sebuah kesalahan, maka masyarakat akan langsung menasihati agar kembali taat kepada Allah Ta'ala dan mengingatkannya pun tidak melalui handphone atau tulisan di media sosial, tapi dilakukan secara empat mata.

Seandainya orang yang diingatkan tidak berubah, maka nasihat pun akan disampaikan kepada orang yang bertanggung jawab terhadap si dia. Tapi kalau yang berbuat zalim adalah penguasa, maka muhasabah harus dilakukan secara terbuka. 

Sementara itu, yang dinasihati juga tidak akan keberatan melakukan muhasabah atau evaluasi diri jika salah. Dia akan segera bertobat dan jika benar, dia akan menyampaikan yang sebenarnya. Jadi, tidak ada lagi ceritanya menzalimi, sakit hati atau para netizen yang tergiring opini sesat. Nah, indah kan jika kehidupan diatur oleh Islam. 

Masalahnya, individu dan masyarakat yang paham Islam juga belum cukup untuk menghilangkan kebiasaan buruk buka aib orang tanpa tabayyun. Kita juga memerlukan sebuah support system yaitu negara. 

Sayangnya, negara yang menerapkan kapitalisme tidak bisa memberi support yang kita butuhkan. Karena dari sistem pendidikannya saja, kita diberi sistem sekuler yang hanya mengajarkan orang untuk cenderung mengejar materi, tetapi minim nilai-nilai Islam.

Negara juga tidak berupaya untuk menghilangkan viral culture sekalipun ada Undang-Undang ITE pasal 32 ayat 2 tentang merekam orang tanpa izin yang bisa dituntut Undang-Undang ITE pasal 48 dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda minimal 3 miliar. 

Padahal hukumnya sudah ada, tapi tetap banyak saja yang melakukan. Itulah negara sekuler, hukumnya dibuat oleh manusia yang lemah, otomatis hukumnya juga lemah dan tidak bisa memberi efek jera, tidak bisa melindungi siapa pun dan tidak bisa menghentikan kejahatan apa pun.

Support itu hanya akan kita dapatkan dari negara menerapkan aturan Islam kaffah, yaitu khilafah. Pastinya, masyarakat akan diedukasi dulu dengan pendidikan yang berbasis akidah Islam agar sadar bahwa hidup harus taat hanya kepada Allah Ta'ala, selalu ingat hari pertanggung jawaban, dan standar hidup adalah syariat Allah. 

Alhasil, dari pendidikan tersebut akan melahirkan individu-individu yang berkepribadian Islam sekaligus masyarakat Islam. Bukan hanya sistem pendidikan yang islami, tapi hal lainnya juga akan memakai aturan Islam, misalnya politik, ekonomi, sosial hingga pemerintahan. Disempurnakan juga dengan sanksi Islam.

Semua aturan Islam diterapkan demi menjaga kehormatan tiap warga negara. Ada hukuman berupa had atau hukuman yang ketentuannya dari Allah Ta'ala dan juga takzir hukuman yang ketentuannya berdasarkan ijtihad. 

Jadi, kehidupan yang indah tersebut hanya bisa kita rasakan ketika negara bersedia menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam semua tatanan kehidupan. Tidakkah kita menginginkannya?


Oleh: Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar