Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penyimpangan Agama Makin Beragam, Saatnya Mengkaji Islam!


Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan postingan pelaksanan shalat Idulfitri yang dilaksanakan oleh Pondok pesantren (Ponpes) Al Zaytun Indramayu. Dalam tayangan tersebut, tampak jamaah laki-laki dan perempuan berada dalam satu shaf (satu barisan). Pasalnya, hal ini dilakukan karena ingin memuliakan wanita.

Seperti yang disampaikan oleh pihak Ponpes Al Zaytun yang mengatakan keberadaan perempuan dalam shaf salat tersebut merupakan bentuk pemuliaan pimpinan Al-Zaytun terhadap seorang perempuan. Menurutnya, perempuan tidak mesti ada di sudut ujung beradanya (detikSumut, 28/4/2023)

Terlebih, pendiri Ponpes tersebut, Panji Gumilang menyatakan ia bermazhab Soekarno, ketepatan dalil yang ia gunakan untuk pengaturan saf salat dan posisi imam dalam salat berjemaah, mengaitkan saf perempuan dalam salat berjemaah dengan bahasan memuliakan perempuan.

Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons foto viral salat Idulfitri di Pondok Pesantren Al-Zaitun, Kabupaten Indramayu, yang menampakkan saf jemaah perempuan dan jemaah laki-laki bercampur tanpa penghalang. 

Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Suhud menjelaskan adab ibadah salat telah diatur, yaitu saf laki-laki utama berada di depan, sementara perempuan berada di belakang. Perempuan di depan bukan karena dia punya jabatan dan kedudukan kemudian bisa disela laki-laki (CNN Indonesia, 26/4/2023)

Miris, makin beragamnya penyimpangan agama di negeri ini. Padahal, aturan maupun regulasi yang berkaitan dengan ancaman bagi pihak yang melakukan penyimpangan agama telah diberlakukan. Namun, tetap saja penyimpangan tetap subur dan masih terbuka lebar. 

Aturan pelarangan terhadap penyimpangan ajaran agama sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) sesuai dengan UUD 1945. Hal ini ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017. 

Penjelasan UU tersebut menyatakan bahwa ketika sebuah pernyataan penodaan agama disampaikan ke publik melalui sarana elektronik, kemudian pernyataan tersebut membuat umat Muslim tersinggung, marah, dan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), maka pelaku dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 45 ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) dengan sanksi pidana, yakni berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Maksudnya, apabila masyarakat tidak merasa tersinggung dan marah atas pernyataan penodaan agama, maka pelaku tidak akan diproses bahkan proses hukum dapat dihentikan. Atas dalih kebebasan berpendapat, maka masyarakat bebas menafsirkan ayat dan mengubah syariat dengan dalih kemaslahatan, kerukunan, dan perdamaian. 

Hal ini karena diterapkannya sistem kapitalisme demokrasi hari ini. Negara memberikan kebebasan masyarakat untuk beragama, berpendapat, dan melakukan aktivitas. Kedaulatan agama akan selalu dibenturkan dengan ide kebebasan manusia. 

Manusia akan sembarang menafsirkan atau mendasarkan pada pendapat mayoritas dan hawa nafsu. Sehingga dengan semaunya akan mengatur cara berpakaian, ibadah, dan sebagianya sesuai pendapatnya. 

Sungguh, hal ini akan mengakibatkan kekacauan dan kesesatan dalam memahami syariat. Bahkan umat akan semakin jauh dari tuntunan syariat Islam. Terlebih, akan semakin banyak penyimpangan agama yang muncul dan dengan bebas menyuarakan kesesatan.

Dalam Islam, apabila menyangkut status hukum syarak, standarnya adalah dalil syarak terkuat bukan suara mayoritas. Jelas mana yang halal dan mana yang haram. Tidak akan berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Semua itu berasal dari wahyu, bukan hasil olah pikir manusia sebagaimana hari ini yang bisa direvisi, dibebaskan, atau dihapuskan.

Dengan beragamnya penyimpangan agama ini, sudah selayaknya menjadi kewajiban umat untuk terus mengkaji Islam. Pentingnya mengkaji Islam akan memberikan pemahaman yang luas bagaimana syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dengan standar yang sesuai dalam nash Al-Qur'an dan hadis.

Sebagaimana seruan Allah dalam QS 2: 208.

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Dalam hal ini juga dibutuhkan adanya peran negara. Negara yang akan melindungi dan menjamin mereka dari kerusakan akidah, serta menjauhkan dari jatuhnya pada pelanggaran hukum syarak. 

Dengan begitu akan terwujud masyarakat yang paham Islam dan taat kepada syari'at Islam. Hal ini akan terwujud dengan adanya sistem Islam yang layaknya jumlah (perisai) bagi umat. Tidakkah kalian rindu akan kembalinya daulah Islam?

Wallahu'alam


Oleh: Novriyani, M.Pd. 
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar