Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyelamatkan Lahan Kritis Melalui Gerakan Wakaf, Solutifkah?


Topswara.com -- Indonesia dikenal sebagai negeri subur nan makmur, dengan sumber daya alam melimpah serta hutan yang sangat luas. 

Namun sayang, berjalannya waktu keadaan telah berubah, dimana kondisi hutan yang ada makin menyempit karena alih fungsi lahan, bahkan ada yang terkategori kritis. Hal ini melanda berbagai wilayah, salah satunya yang terjadi di wilayah Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Sebagaimana dikutip dari republika.id pada 13 Maret 2023 lalu telah dikabarkan bahwa dalam rangka pelestarian alam, maka para pegiat lingkungan di wilayah Kertasari, Kabupaten Bandung telah mengadakan gerakan untuk menjaga lahan kritis dan rehabilitasi daerah aliran Sungai Citarum agar terhindar dari potensi bencana longsor dan banjir bandang. 

Upaya penyelamatan lahan kritis sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, salahsatunya melalui Yayasan Leuweung (hutan) Sabilulungan yang digerakkan oleh mantan Bupati Bandung Dadang Nasser selaku pendiri Yayasan tersebut dengan gerakan wakaf hutan dan pohon sejak 2014 lalu. 

Dadang meminta kepada seluruh individu masyarakat dan swasta untuk mendukung gerakan tersebut, dengan mewakafkan sebagian lahannya untuk ditanami tanaman keras atau wakaf pohonnya.

Gerakan wakaf pohon dan hutan patut diapresiasi karena merupakan wujud kepedulian dan empati terhadap rusaknya lingkungan terutama di wilayah bantaran sungai yang memang semakin memprihatinkan. 

Akan tetapi penting untuk dievaluasi sejauhmana keefektifannya, mengingat yang namanya wakaf tidak mengikat individu maupun swasta pada umumnya. Program tersebut hanya menunggu kerelaan individu masyarakat ataupun swasta. Dari sini akan terukur ketidakefektifan program gerakan wakaf tersebut.

Lahan yang seharusnya ditanami pepohonan besar umumnya dialihfungsikan menjadi tanaman sayuran juga lahan pertanian yang dimiliki individu maupun pengusaha atau korporat yang sudah mengantongi izin pemerintah. 

Setelah dikelola swasta atau pengusaha dan telah nampak dampak kerusakannya baru pemerintah memikirkan solusinya dengan mengemis wakaf yang nyatanya tidak solutif, karena tidak menyelesaikan dari akar masalahnya.

Kapitalisme sekularisme yang diberlakukan di negeri ini sebagai akar masalah yang telah memandulkan peran negara menyelamatkan hutan demi keselamatan. 

Kapitalisme meniscayakan pengelolaan hutan diserahkan baik kepada individu maupun swasta. Individu yang mata pencahariannya dari bertani, menggantungkan nasibnya pada lahan tersebut, tidak ada pilihan lain di tengah sempitnya lapangan pekerjaan dan minimnya keterampilan. 

Sedangkan pengusaha swasta orientasinya adalah keuntungan, kurang mempertimbangkan dampak bagi keselamatan rakyat pada umumnya atau jangka panjangnya. 

Ditambah pemberian izin bagi pengusaha, yang bukan rahasia lagi berpeluang suap menyuap, menjadikan pengelolaan hutan di luar kendali. Akibatnya lahan kritis kian bertambah walaupun ada gerakan penyelamatan.

Demikianlah, kapitalisme sekularisme makin menegaskan minimnya peran negara dalam mengurusi rakyat dalam hal antisipasi bencana. 

Berbeda dengan Islam, di mana seorang penguasa muslim akan bertanggung jawab penuh terhadap urusan umat. Termasuk juga masalah lahan, ia akan mengupayakan gerakan antisipatif terutama dalam hal pengelolaan lahan agar tidak mengundang bencana sebagai bentuk tanggung jawabnya seorang pemimpin. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
"Kepala negara adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya." (HR. Al - Bukhari) 

Dari perbandingan di atas nampak jelas, sistem kapitalisme telah gagal dalam menjaga masyarakat, memelihara dan mempertahankan lingkungan yang dapat mencegah dari terjadinya  bencana.

Dalam sistem Islam negara benar-benar berperan mengurus umat sesuai syariat. Dalam hal kepemilikan, syariat membagi ke dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu: kepemilikan individu (al Milkiyyat Al-Fardiyah), kepemilikan umum (al Milkiyyat al'ammah), dan kepemilikan negara (al Milkiyyat al-Dawlah).

Hutan termasuk kepemilikan umun yang tidak boleh diserahkan kepemilikan maupun pengelolaannya kepada individu terlebih pengusaha. Syariat hanya menyerahkan pengelolaannya kepada negara agar bisa dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Dari ketetapan ini hutan akan tetap terjaga, masyarakat terhindar dari banjir ataupun longsor. Lebatnya hutan juga menjadi cadangan air pada musim kemarau.

Konsep kepemilikan tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme sekularisme. Justru yang ada adalah kebebasan kepemilikan yang dijamin undang-undang. Nyatanya melahirkan berbagai kerusakan dan bencana. Itulah lemahnya aturan manusia yang sarat kepentingan dari pembuat aturan.

Dengan demikian penjagaan hutan ataupun lingkungan akan terwujud sempurna hanya melalui peran negara yang menerapkan Islam kaffah saja bukan yang lain.

Wallahu a'lam bish Shawwab.


Oleh: Narti HS
Pegiat Dakwah dan Sahabat Topswara 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar