Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hakikat Hari Raya


Topswara.com -- Ramadhan akan segera kita tinggalkan. Idulfitri akan segera menghampiri. Hari Raya telah mulai menyapa. Puasa akan segera berganti dengan berbuka. Yang tersisa sejatinya tinggallah takwa. Bukan kembali berkubang dalam dosa. Begitulah seharusnya.

Puasa sejati pasti berbekas dalam diri. Kembali suci saat tiba Idulfitri. Kembali tunduk dan patuh kepada Ilahi. Bukan kembali mengotori diri dan ingkar kembali. 

Sebagian ulama menyebut Hari Raya Idulfitri sebagai "Hari Kemenangan". Menang melawan hawa nafsu. Menang melawan setan. Menang melawan setiap kecenderungan dan perilaku menyimpang. Inilah yang sepantasnya dirayakan oleh orang yang berpuasa.

Karena itu Hari Raya bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki segala hal yang serba baru. Baju baru, perhiasan baru, kendaraan baru, atau rumah baru. Hari Raya hanya layak dipersembahkan untuk mereka yang ketaatannya ‘baru’ (bertambah). 

Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan:

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد

Laysa al-‘iid li man labisa al-jadiid, innama al-‘iid li man thaa’atuhu taziid

(Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketaatannya bertambah).

Dengan kata lain, pasca puasa seorang Muslim selayaknya menyandang predikat takwa. La’allakum tattaquun (QS al-Baqarah [2]: 183). 

Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqaatih) (QS Ali Imran [3]: 102). 

Mereka inilah yang layak bergembira di  Hari Raya. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama:

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن تقواه يزيد

Laysa al-‘iid li man labisa al-jadiid, innama al-‘iid li man taqwaahu yaziid

(Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketakwaannya bertambah).

Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya karena khawatir bahkan takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Sebabnya, setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa. Setiap dosa bakal mengundang ancaman berupa murka-Nya. 

Inilah yang ditakutkan orang yang bertakwa. Jika pasca puasa rasa takut terhadap ancaman murka-Nya ini selalu melekat dalam diri seorang Muslim, maka dia layak bergembira di Hari Raya. 

Sebabnya, sebagaimana kata sebagian ulama:

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن اتقى الوعيد

Laysa al-‘iid li man labisa al-jadiid, innama al-‘iid li man ittaqaa al-wa’iid

(Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap ancaman [azab-Nya]).

Mereka yang memiliki rasa takut terhadap azab-Nya inilah yang pantas bergembira di Hari Raya. Bukan yang malah bermegah-megah dan bermewah-mewah di Hari Raya. 

Sebagaimana kata sebagian ulama:

ليس العيد لمن لبس الفاخرة إنما العيد لمن اتقى عذاب الآخرة

Laysa al-‘iid li man labisa  al-faakhirah, innama al-‘iid li man ittaqaa adzaab al-aakhirah.

(Hari Raya bukanlah untuk orang yang bermewah-mewah. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap azab akhirat).

Karena itu orang yang layak bergembira pada Hari Raya sejatinya bukanlah orang yang berpakaian serba halus (mahal seperti sutra), tetapi mereka yang memahami jalan meraih ridha-Nya. 

Sebagaimana kata sebagian ulama:

ليس العيد لمن لبس الرقيق إنما العيد لمن عرف الطريق

Laysa al-‘iid li man labisa ar-raqiiq, innama al-‘iid li man ‘arafa ath-thariiq.

(Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian yang serba halus (mahal). Hari Raya hanyalah untuk orang yang memahami jalan [untuk meraih ridha-Nya]).

Satu-satunya jalan untuk meraih ridha-Nya tidak lain adalah takwa. Muslim yang bertakwa tentu Muslim yang senantiasa taat kepada Allah SWT dan menjauhi maksiat kepada-Nya.

Saat setiap hari seorang Muslim mampu untuk selalu taat dan menjauhi maksiat, saat itulah hari raya yang sesungguhnya bagi dirinya. 

Demikianlah sebagaimana kata Imam Ibnu al-Mubarak rahimahulLaah:

كل يوم لا أعصى الله فيه فهو يوم عيد

"Kulla yawmin laa a'shilLaah fiihi fa huwa yawm 'iid." 

(Setiap hari yang di dalamnya aku tidak bermaksiat kepada Allah, itulah hari raya [bagiku]) (Al-Mawardi, Adab ad-Dunyaa' wa ad-Diin, I/131).

Karena itu marilah kita berhari raya, bukan setiap tahun sekali, hanya pada setiap Idulfitri, namun setiap hari. Tentu saat kita di dalamnya sanggup tidak banyak bermaksiat kepada Allah SWT. 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi uniib. []


Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar