Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Stop Stunting, Bisakah?


Topswara.com -- “Isi Piringku Kini Kaya Protein Hewani." "Protein Hewani Cegah Stunting." Demikianlah, bertebaran spanduk bertuliskan slogan mencegah stunting di berbagai tempat. 

Semua tahu,  masa depan bangsa bergantung di tangan generasinya, termasuk Indonesia. Dengan  30,1 persen penduduk yaitu 79,55 juta adalah  anak-anak. Akan tetapi miris, dataindonesia (13/12/2022) menyebutkan dari 30,73 juta anak usia dini di Indonesia, 21,6 persennya mengalami stunting (badankebijakan.kemkes.go.id,25/1/2023)Artinya sekitar 6,45 juta balita mengalami gizi buruk, lebih besar  dari penduduk negara tetangga Singapura yang berjumlah 5,61 juta jiwa! 

Karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan Indonesia darurat stunting. Bahkan menurut Muhadjir Effendy, Menko PMK Negara kita berada di peringkat 115 dari 151 negara, dan menduduki peringkat kedua setelah India di antara negara-negara G20 (blog.wecare.id, 20/12/2022). Lalu upaya apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya?

Stunting: Kurang Gizi atau Miskin?

Stunting adalah suatu kondisi kurang gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam kurun waktu lama. Hal ini berakibat terganggunya pertumbuhan pada anak. 

Dari sisi fisik anak, nampak kerdil atau terhambatnya tinggi badan anak. Sementara dampak buruknya terhadap perkembangan yakni terganggunya sistem kekebalan tubuh, fungsi otak dan perkembangan organ. 

Pun, anak akan rentan infeksi, mengalami  gangguan fisik dan mental. Semua ini akan berujung mengancam produktivitas dan fungsi hidup anak-anak tersebut di masa mendatang.  

Sehingga wajar, stunting menyebabkan banyak pihak mengkhawatirkan generasi bangsa. Diantaranya, Wapres K.H. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa masalah stunting harus segera ditangani, agar tidak muncul generasi yang tidak sehat dan tidak memiliki daya saing (poskota.co.id, 4/1/2023). Apalagi merekalah calon pemimpin masa depan bangsa ini.

Dengan berbagai masukan, pemerintah menargetkan tahun 2024 prevalensi stunting mencapai angka 14 persen. Sehingga ditetapkan kebijakan melalui kemenkes dengan 11 program. 

Sasarannya adalah remaja putri kelas 7-10, ibu hamil dan bayi yang lahir. Tujuan intervensi tersebut untuk pemenuhan dan peningkatan gizi, khususnya tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil. Serta untuk kecukupan gizi, terutama protein bagi ibu hamil dan balita (badankebijakan.kemkes.go.id, 3/2/2023). 

Salah satu bentuk intervensi peningkatan dan kecukupan gizi yang telah dilaksanakan adalah program gemar makan ikan di seluruh Indonesia (republika.co.id, 12/3/2023), atau program satu hari satu telur di Kabupaten Karawang (megapolitan.antaranews.com, 13/3/2023). 

Sementara pemkot Bogor selain terus melakukan edukasi tentang pentingnya makanan bergizi, tahun ini mengajak para pengusaha bekerja sama dalam mengatasi stunting (kotabogor.go.id, 10/2/2023). 

Salah satu bentuknya dengan menggandeng boxies 123 mall untuk berbagi kepada 12 anak yang terkena stunting di Bogor Timur. Meski ini masih jauh dari target, sebab total ada 2500 kasus anak stunting di bogor. 

Program ini akan dilakukan selama lima bulan ke depan. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan yang disebut program 'rantang cinta', yaitu menyisihkan 1 rantang dari setiap restoran untuk anak yang mengalami stunting (kotabogor.go.id, 8/3/2023).  

Tentu hal tersebut positif, karena mengajak masyarakat sekitar peduli dan saling berbagi. Namun, program ini tidak mampu menyelesaikan masalah stunting hingga ke akarnya. Sebab stunting adalah kondisi tidak terpenuhi gizi. Sementara, makanan bergizi hanya bisa dipenuhi jika masyarakat yang mampu membeli makanan.  

Maka akar persoalan stunting adalah tidak adanya daya beli karena kemiskinan di tengah masyarakat. Jadi, bukan semata tidak adanya pemahaman mengenai jenis makanan bergizi atau sebatas butuh pemberian makanan tambahan yang sifatnya hanya temporer.

Diperkuat data BPS tahun 2019, bahwa sebagian besar anak stunting berasal dari keluarga yang tergolong miskin atau berada di bawah garis kemiskinan. Dan diketahui, tingkat kemiskinan di Indonesia cukup tinggi, yakni per September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. (kemenkeu.go.id,17/1/ 2023). 

Didukung juga hasil penelitian Kustanto (2021) menunjukkan  prevalensi stunting dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang  sebesar 0,06 persen dipengaruhi oleh kemiskinan secara langsung. Ia juga berpendapat adanya hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan prevalensi stunting dan kemiskinan sebesar 0,57 persen (news.unair.ac.id, 14/1/2023). 

Meluruskan Intervensi

Intervensi pemerintah terhadap stunting sebagaimana pembahasan di atas, jelas tidak mampu dan tidak akan pernah menghapuskan kemiskinan. Sebab persoalan utama munculnya kemiskinan adalah distribusi kekayaan yang tidak tepat. 

Adalah hal lumrah, dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, kepemilikan harta individu tidak ada batasnya. Akibatnya kekayaan berkumpul pada beberapa gelintir pemilik modal. Di Indonesia, menurut data Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse bahwa 1 persen orang terkaya menguasai 46,6 persen total kekayaan. (databoks, 30/10/2018). 

Sedangkan fungsi negara kapitalis sebatas regulator. Sehingga, pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya diupayakan oleh masing-masing individu. Nampak dari seruan pemerintah kepada semua elemen masyarakat untuk ikut serta berperan aktif menangani stunting, dengan alasan dana APBN tak mencukupi.  

Padahal persoalan apapun yang terjadi di masyarakat, baik kemiskinan yang menyebabkan stunting atau yang lainnya, sudah seharusnya merupakan tanggung jawab negara. 

Oleh karena itu, sampai kapanpun jika diterapkan sistem kapitalisme, maka akan tercipta kesenjangan antara para pemilik modal dan rakyat jelata. Akibatnya, kemiskinan akan terus ada dalam jumlah besar. Dan berujung pada ketidakmampuan pemenuhan gizi pada balita (stunting).

Hal ini berbeda dengan sistem Islam.  Kepemilkan dalam syariat Islam dibagi menjadi tiga, yakni kepemilikan umum, negara, dan individu. Kepemilikan umum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh rakyatnya, di antaranya: air, api, padang rumput, barang tambang, dan sejenisnya. 

Semua ini bisa langsung dimanfaatkan oleh rakyat tanpa konpensasi. Bisa juga, kekayaan milik umum tersebut dikelola negara untuk siap digunakan dan diditribusikan pada rakyatnya dengan gratis, atau dengan biaya seminimal mungkin sebagai pengganti operasional saja.  

Demikian juga kepemilikan negara, semua diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat. Negara dapat memberikan pinjaman modal atau tanah bagi yang membutuhkan. Bisa juga negara memberikan dana atau tanah cuma-cuma bagi rakyatnya yang memang memerlukannya. 

Terkadang dalam kasus tertentu, negara dalam sistem Islam, juga melakukan intervesi pangan secara langsung. Memastikan tidak ada satu individu pun yang tidak makan dalam satu hari. 

Di sisi lain negara juga menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya, memastikan setiap laki-laki baligh menunaikan kewajiban syariat yakni bekerja, sehingga mampu memberikan nafkah pada keluarganya. Jika ia tidak mampu, maka ada mekanisme perwalian. 

Namun, jika keluarganya pun tidak mampu, Islam memindahkan tanggung jawab tersebut kepada negara. Dengan demikian kesejahteraan rakyat terjamin, pun kemiskinan dapat diminimalisir, sehingga tidak ada lagi persoalan kekurangan gizi (stunting). 

Khatimah

Solusi stunting tidak bisa hanya dengan intervensi edukasi, atau sekadar bantuan makanan berprotein tinggi, raskin, BLT dan sejenisnya. Sebab akar persoalan stunting adalah kemiskinan. Dan hanya sistem Islamlah yang mampu menjamin kesejahteraan sehingga menghapus kemiskinan dan menghentikan kasus stunting.


Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar