Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Flexing, Tren para Kapitalis


Topswara.com -- Maraknya aksi pamer harta pejabat di media sosial, membuat masyarakat kompak mencari sumber kekayaan, hingga laporan kekayaan para pejabat. 

Hal tersebut sempat direspon Kementerian Keuangan dengan menginvestigasi 69 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kemenkeu yang dianggap memiliki jumlah harta tidak wajar.  

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan pihaknya melakukan investigasi kepada 69 PNS Kementerian Keuangan sejak beberapa waktu lalu. 

Sebanyak 69 PNS Kemenkeu tersebut tergolong dalam kategori risiko tinggi dan risiko menengah yang terlibat dalam transaksi janggal karena memiliki jumlah harta di atas kewajaran.

Setelah kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio viral, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo, menjadi sorotan publik. Rafael Alun Trisambodo tercatat memiliki harta kekayaan puluhan miliar sejak beberapa tahun lalu, berikut aset tanah dan bangunan.

Harta Rafael tercatat lebih tinggi dari Dirjen Pajak maupun Menteri Keuangan. Di tengah karut marut ekonomi nasional, wajar jika masyarakat mencermati kekayaan para pejabat negara dan gaya hidup mereka.

Selain Rafael, ada pula Eko Darmanto. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menginstruksikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencopot Eko Darmanto dari posisi Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Dia pun meminta Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas perilaku Eko, serta kecocokan harta, SPT pajak, dan utang dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Selain direktorat keuangan, Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Muhammad Rizki Alamsyah menjadi sorotan di media sosial. Musababnya, istri Rizki kerap memamerkan kehidupan mewah (flexing) di media sosialnya.

Gaya hidup mewah istri Rizki itu diunggah oleh akun Twitter @PartaiSocmed. Ada sejumlah foto-foto istri Rizki berjalan-jalan ke luar negeri. Ada juga unggahan mengendarai mobil mewah dan pakaian serta barang-barang branded.

Kasus flexing lainnya, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus meminta Mendagri Tito Karnavian memeriksa Sekda Riau SF Hariyanto yang disorot karena istri dan anaknya gemar pamer kemewahan atau flexing. Menurut Guspardi, tindakan flexing keluarga pejabat telah melukai hati masyarakat.

Sistem sekularisme kapitalisme saat ini menempatkan standar kebahagiaan hidup ada pada saat manusia memperoleh kemewahan dunia.

Standar ini telah menjadi patokan umum dan menjadi prinsip hidup masyarakat saat ini. Tidak sedikit manusia tergoda untuk mencicipi gaya hidup mewah dan secara sengaja melakukan flexing.

Gaya hidup seperti ini lahir dan tumbuh dalam sistem dan masyarakat kapitalistik. Sebagai sistem yang menganut prinsip pemisahan agama dari kehidupan, sistem ini memberi kebebasan kepada siapa pun, termasuk pejabat, untuk meraih kebahagiaan dengan cara apa pun.

Oleh karenanya, wajar jika dalam sistem ini jamak kita temukan pejabat yang memperkaya diri dan keluarga. Saling sikut demi memperoleh kedudukan adalah realitas yang sulit terbantahkan. Sudah rahasia umum, kata orang.

Industri politik di sistem ini pun tidak luput dari realitas ini. Prestise dan status sosial adalah karpet merah untuk meraih strata sosial tertinggi dalam pergaulan sosial. Walhasil, semua berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan atas status sosial mereka.

Masyarakat kapitalistik ini sangat memperhatikan standar-standar kemewahan dunia. Hal ini alami dan bersifat genetik dalam sistem kapitalisme. Bahkan, sejumlah teori akademik hadir untuk mendorong dan memberikan jaminan keberlangsungan gaya hidup mewah.

Wajar jika gaya hidup konsumtif menjadi tren dalam sistem ini. Mengapa? Sebab gaya hidup konsumtif merupakan salah satu spirit keberlangsungan sistem

Bukan kali ini saja ramai pembicaraan terkait mewahnya harta pejabat. Sebelumnya sudah ada deretan kasus harta mewah para pejabat yang menjadi sorotan publik. Realitas ini selayaknya menjadi pertanyaan besar, mengapa terus berulang?

Padahal, sejumlah kebijakan formal dirumuskan untuk menertibkan harta kekayaan para pejabat. Menilik kasus Rafael Alun atau Eko Darmanto, negara melalui Kemenkeu telah mengambil tindakan. Meski demikian, masyarakat sangsi apakah akan berefek jera dan menutup celah munculnya kasus-kasus serupa.

Skeptisnya masyarakat terhadap pejabat negara tentu sangat beralasan. Mengapa? Sebab drama pencopotan dengan pemberhentian secara tidak terhormat tetap saja tidak membuat jera. Susul menyusul bermunculan kasus rekening gendut, aset fantastis pejabat, juga kasus dugaan pencucian uang yang digawangi para pejabat.

Satu dua kejadian mungkin layak disebut kasus. Namun, jika ini terus berulang, jelas ada masalah yang tidak hanya berhenti pada aspek personal. Ini bersifat sistemis.

Ada paradigma mendasar yang wajib menjadi bahan diskusi. Dengan demikian, tidak salah jika hadir sejumlah kelompok kritis yang membawa masalah ini dalam ruang diskusi berbasis ideologi.

Sistem kapitalisme telah melahirkan masyarakat yang mendewa-dewakan kekayaan. Sistem ini pula yang mewadahi lahirnya pejabat yang menghalalkan segala cara demi memperoleh harta dan kedudukan. Industri politik dalam sistem ini bahkan menjadi bisnis besar yang kian memperdalam jurang antara si kaya dan si miskin.

Amanah yang rakyat berikan dikhianati. Janji manis melayani rakyat hanyalah bualan dan fatamorgana.

Jangan alergi menghadirkan Islam sebagai konsep komparatif. Bukankah masyarakat negeri ini tidak asing menghadirkan sosok pemimpin teladan semisal Umar bin Khaththab saat membahas masalah pemerintahan? Kita pun telah akrab dengan keteladanan yang beliau berikan dalam hal ketegasan menindak pejabat yang memiliki harta dalam jumlah fantastis.

Umar bin Khaththab pernah menyita harta Abu Sufyan karena adanya penambahan harta sebelum dan sesudah putranya menjabat. Praktik pembuktian terbalik harta pejabat telah ada di masa Umar bin Khaththab.

Sayangnya, saat ini, upaya menjadikan beliau sebagai profil pemimpin teladan masih sebatas sosok, bukan sistem. Padahal, pejabat negara yang bertakwa lahir dari sistem yang menyandarkan seluruh aktivitas di bawah pengawasan Sang Khalik. Ya, ketakwaan individu adalah perkara penting.

Dalam sistem sekularisme yang menafikan pengawasan Allah, tidak sulit bagi pejabat mengambil harta yang bukan haknya. Sebab ia tidak menyertakan pemahaman mengenai adanya hubungan aktivitas manusia dengan pengawasan Allah. Dengan demikian, profil para pejabat dalam sistem ini lekat dengan ketakwaan.

Sistem hukum yang ada pun mempersempit hadirnya pejabat yang memanfaatkan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan. Masyarakat pun turut melakukan muhasabah sebagai implementasi amar makruf nahi mungkar.

Dalam menjalankan amanah jabatan, para pejabat menyelami perannya sebagai pelayan dan pengurus rakyat yang akan Allah minta pertanggungjawaban di akhirat kelak. 

Alih-alih bergaya hidup mewah, sosok pejabat seperti ini akan membuang jauh kemewahan dunia dalam menjalankan amanah. Tentu dalam perjalanannya godaan akan senantiasa hadir, namun pengawasan dari masyarakat dan pelaksanaan sanksi oleh negara menjadi pengontrol.
Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar