Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tragedi Kanjuruhan Telah Membuka Topeng Represif Penegak Hukum


Topswara.com -- Tragedi berdarah di Stadion Kanjuruhan menyisakan duka mendalam. Sabtu (1/10/2022) menjadi hari paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Ratusan nyawa melayang dan lainnya luka-luka akibat tragedi Kanjuruhan. 

Namun, hingga detik ini tak ada yang berani pasang dada sebagai sosok yang bertanggung jawab. Kerusuhan pecah seketika usai kekalahan Arema FC 2-3 dari Persebaya. Banyak versi bermunculan terkait musabab tragedi yang memakan korban jiwa hingga ratusan orang.

Salah satunya mengklaim Aremania masuk lapangan untuk meluapkan kekesalan. Insiden itu direspons polisi dengan 'pentungan' dan gas air mata.

Korban meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10) lalu bertambah menjadi 131 orang dan 35 orang di antaranya adalah anak-anak, menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang.

Miris, dengan mudahnya nyawa melayang hanya karena kecintaan terhadap golongan yang dikenal fanatisme golongan. Jika dikaji lebih mendalam, kita akan mendapati bahwa Fanatisme Golongan ini merupakan semangat persatuan yang dibangun atas dasar kesamaan suku dan bangsa. 

Paham ini meletakkan kesetiaan tertinggi individu hanya kepada suku dan bangsa dengan maksud agar individu memiliki sikap mental atau perbuatan untuk mewujudkan kemajuan, kehormatan, kesejahteraan bersama. Oleh karenanya Islam melarang keras adanya fanatisme golongan.

Di samping itu, adanya peran penegak hukum yang represif memperlakukan keamanan yang tidak sesuai dengan prosedur, seperti penembakan gas air mata yang di larang FIFA. Aparat penegak hukum di Indonesia seringkali menafsirkan perintah undang-undang untuk menciptakan ketertiban umum sebagai landasan untuk penggunaan kekerasan dalam keamanan publik.

Penggunaan kekerasan merupakan pilihan paling murah dan mudah dalam rangka penanganan masalah sosial. Aparat di lapangan seringkali menerjemahkan perintah “amankan” dari atasan dengan melakukan represi demi mencapai stabilitas keamanan. Kontroversi muncul karena aparat kemudian mengesampingkan hak-hak konstitusional warga dan mengedepankan isu keamanan.

Tragedi kanjuruhan telah membuka topeng keburukan dari pihak penegak hukum yang seharusnya melindungi dan menjaga keamanan, ketertiban umum ini malah sebaliknya. Yang tak kalah penting dengan tragedi kanjuruhan ini yaitu kerusakan generasi muda. Bayangkan saja, ratusan juta rakyat, terutama generasi muda terobsesi oleh permainan yang sia-sia. Meski sepak bola adalah bagian dari jenis olahraga, tetapi suporternya sama sekali tidak mendapat manfaat menguatnya jiwa dan raga.

Waktu, tenaga, uang dan pikiran, mereka habiskan di stadion-stadion sepak bola. Bahkan, nyawa siap mereka pertaruhkan demi membela klub yang dicintainya. Mirisnya, negara berdiam diri atas kesesatan yang terjadi pada warganya. Para penguasa bahkan tidak peduli generasi muda menjadi rusak karenanya. Inilah bila hidup dalam naungan sistem yang tidak memanusiakan manusia yaitu sistem demokrasi sekuler.

Peran negara abai dalam segala bidang kehidupan, sehingga memunculkan generasi-generasi yang bebas tanpa aturan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang dalam penerapannya selalu memperhatikan halal dan haramnya, bukan manfaat. 

Wallahu a'lam Bishshawwab



Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar