Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Krisis Pemimpin Rumah Tangga Lahirkan Kemelut Keluarga


Topswara.com -- Seorang suami yang masih muda, YH (27), dibunuh istrinya sendiri, ER pada Jumat (7/8) lalu di Bengkulu Tengah. Kejadian berawal saat pasangan ini cekcok. Istri yang terlanjur emosi, lantas memukul sang suami dan menjerat lehernya dengan tali. Tubuhnya lantas digantung agar mengesankan bunuh diri. Namun luka di kepala membuat polisi membongkar penyebab sebenarnya. Apa motifnya? Menurut sang istri, soal ekonomi dan suami yang tidak jujur (kompas).

Sementara itu, sebanyak 334 istri menggugat cerai suaminya di Makamah Syariah Kabupaten Aceh Utara sepanjang tahun ini. Apa penyebab utamanya? Faktor ekonomi dan suami mengonsumsi narkoba (kompas). Tidak hanya di Aceh, hampir semua perceraian yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, penyebab utamanya didominasi masalah ekonomi. Adapun peringkat berikutnya adalah percekcokan yang terus menerus. 

Lemah Kepemimpinan 

Banyaknya istri yang ingin berpisah dengan suami, baik dengan minta cerai atau bahkan tega menghilangkan nyawanya, adalah tanda-tanda putus asa yang dialami para istri. Sungguh, dalam hati kecilnya, mereka ingin hidup bahagia bersama suami, seperti bayangan ketika menikah. Namun, perjalanan rumah tangga yang kian berat membuat mereka mencapai titik frustasi. 

Terlalu banyak kekecewaan istri terhadap para suami akibat kegagalan suami dalam memimpin rumah tangganya. Berujung pada rasa putus asa para istri, hingga memilih jalan terakhir, memutuskan hubungan dengan suami. Mereka lelah dan menyerah karena suami tidak menjamin ketenteraman lahir dan batinnya. 

Sudahlah kurang dalam memberikan kebutuhan raga, kurang pula dalam memenuhi kebutuhan jiwa berupa penghargaan, kasih sayang dan perhatian. Betapa banyak suami yang abai dalam urusan nafkah lahir dan batin ini, kecuali hanya memberikan ala kadarnya saja kepada istri. Akibatnya, banyak istri yang stres dan mencoba melepaskan ikatan diri dari suami.

Tanggung Jawab Ekonomi 

Salah satu kelemahan suami adalah dalam hal tanggung jawab ekonomi. Padahal, kestabilan ekonomi keluarga adalah kunci utama berlangsungnya fungsi-fungsi keluarga dengan baik. Misal, fungsi ekonomi, yakni tercukupinya makan dan minum, butuh uang. Fungsi reproduksi, makin banyak anak maka otomatis makin banyak butuh uang. Bahkan fungsi afeksi atau kasih sayang, akan saling terpupuk jika uang tidak lagi jadi masalah.

Ya, kita harus realistis, kehidupan keluarga akan berjalan baik dan normal jika pondasi keuangan kokoh. Ditandai dengan tercukupinya kebutuhan primer dan bila perlu sekunder. Kebutuhan sandang, pangan dan papan sudah pasti harus dipenuhi. Lalu ditambah kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan relaksasi.

Namun, terbukti tidak sedikit karakter suami yang lemah dalam mencari nafkah. Lemah dalam tanggung jawab soal ekonomi keluarga. Banyak suami yang tidak peduli, berapa kebutuhan layak bagi keluarganya. Merasa sudah bertanggung jawab asal memberi uang setiap bulan kepada istri, tanpa peduli besarannya. Tanpa pernah mau tahu, berapa sebenarnya yang dibutuhkan. Tanpa pernah mau memastikan, apakah pemberiannya cukup atau tidak. Mereka tidak peduli.

Padahal seharusnya suami yang paling tahu rincian kebutuhan keluarganya. Sebab, memang itulah tanggung jawab utamanya. Jika dia tahu, maka akan semakin bersemangat bekerja. Semakin rajin dan giat mencari berbagai uslub dalam menjemput rezeki. Bukan pemberian sekadarnya, seolah merasa sudah menggugurkan kewajiban asal sudah memberi uang.

Akibat tidak layaknya pemberian suami, istri kebingungan. Ketika disampaikan kepada suami, mereka bergeming. Istri akhirnya tidak berani meminta haknya. Apalagi jika meminta haknya, hanya kemarahan yang didapatkan dari suami. Bahkan makian atau pukulan. Akibatnya, istri merasa dizalimi. Tempat seharusnya dia bersandar, tak bisa jadi harapan.

Bagi yang masih waras, istri terpaksa menyingsingkan lengan mengais uang tambahan. Menjual apa saja ala kadarnya, yang penting mendapat pemasukan. Bekerja di sektor kasar. Bahkan ada yang memilih menjadi TKW meninggalkan keluarganya. Lantas apa yang dilakukan suami melihat sepak terjang istrinya yang seperti ini? Pedulikah mereka? Tidak.

Kebanyakan suami malah merasa gengsi. Tidak ada sedikitpun empati. Tidak ada sedikitpun penghargaan, walau sekadar ucapan terima kasih kepada istri, karena telah ikut meringankan bebannya. Tidak sama sekali. Inilah yang lambat laun menyebabkan jiwa istri gersang. Lelah hati, menderita dan akhirnya mati rasa. Jadi, bukan faktor kelemahan istri semata, tetapi semua dipicu oleh kurangnya rasa tanggung jawab suami.

Memang, ada faktor sistemik di mana laki-laki kesulitan mendapat sumber pendapatan yang layak. Para istri juga maklum, jika ada kontribusi sistem yang menyebabkan sulitnya suami mendongkrak penghasilan. Namun, jika persoalannya karena lemahnya tanggung jawab suami, istri mana yang tahan?

Saat ini, sistem sekular memang melemahkan kemampuan suami mencari nafkah. Banyak suami yang menganggur terkena PHK. Banyak suami yang gagal dalam usahanya. Rata-rata pendapatan laki-laki sebagai kepala keluarga di Indonesia masih sangat rendah. Upah minimum yang ditetapkan sangat jauh dari harapan akan menyejahterakan.

Namun, alih-alih memerhatikan ini, yang disorot malah pendapatan perempuan pekerja. Benar, mereka juga perlu dientaskan dari diskriminasi soal gaji, tetapi siapa yang peduli dengan kesejahteraan laki-laki yang notabene memiliki tanggung jawab besar dalam mencukupi kebutuhan keluarganya?

Seharusnya, fokus penguasa dalam mendukung ketahanan keluarga adalah bagaimana menyejahterakan pekerja laki-laki, supaya dapat mengentaskan perempuan dari dunia kerja. Jika laki-laki sudah cukup penghasilannya, biarkan perempuan kembali kepada fitrahnya mengurus rumah dan mendidik anak-anak. Melahirkan generasi penerus bangsa. Kecuali, mereka yang bekerja di sektor-sektor yang membutuhkan sentuhan keahlian perempuan.

Kegagalan Peran Suami 

Kemelut keluarga seolah tak berkesudahan. Mulai persoalan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. Angkanya akan terus meningkat hingga bangunan-bangunan keluarga roboh perlahan-lahan secara bergantian. Memang banyak faktor penyebabnya, namun kali ini menyoroti tentang kegagalan peran kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. 

Pertama, peran dalam menyejahterakan keluarga. Seperti dijelaskan di atas, kebahagiaan keluarga salah satunya adalah bersumber dari kokohnya keuangan. Jika ini tidak terwujud, sudah pasti akan memicu pertengkaran yang terus menerus. Peran ini memang seharusnya didukung negara, dengan jaminan kebutuhan pokoknya. Sayang, hal itu bukanlah strategi milik negara berbasis sekular ini.

Kedua, peran dalam mendidik istri dan anak-anak. Jarang ada suami yang secara serius, teragenda dan terstruktur bertanggung jawab terhadap proses perbaikan istri dan anak-anaknya agar menjadi pribadi yang makin saleh dan bertakwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, banyak istri yang mengeluh karena suaminya yang lemah dalam hal ibadah. Bahkan, lemahnya tanggung jawab suami dikarenakan tak sedikit dari mereka yang berhenti belajar. Lihat saja, di berbagai forum pembelajaran, justru para istri yang dominan mengikuti. Forum parenting, kajian rumah tangga, bahkan forum bisnis. Ke mana para suami?

Ketiga, peran dalam keteladanan. Banyak istri dan anak-anak stres menghadapi perilaku suami yang tidak menunjukkan contoh kepemimpinan yang baik. Keluhan para istri saat ini adalah para suami yang lebih asyik memegang HP-nya daripada mengajak istri dan anak-anaknya bercengkerama. Demikian pula lemahnya keterlibatan suami dalam proses pendidikan anak-anaknya.

Keempat, peran sebagai pelindung dan penjamin keamanan keluarga. Banyak suami yang justru melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik kepada istri maupun anak-anaknya. Keluarga menjadi neraka, tempat anggotanya menerima kezaliman. Istri dan anak-anak bukannya merasa nyaman, malah merasa tidak aman di rumah mereka sendiri.

Sarana Bahagia 

Membangun keluarga adalah membangun kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika ada ujian baik ekonomi maupun lainnya, adalah wajar sebagai sarana meraih bahagia. Nah, salah satu sumber harapan agar keluarga mampu melewati ujian tersebut adalah peran penting para pemimpin rumah tangga. Para suami adalah nahkoda yang bertanggung jawab akan dibawa ke mana keluarga ini.

Karena itu, sungguh, keluarga-keluarga Muslim merindukan sosok-sosok pemimpin rumah tangga yang kuat. Para suami yang bertanggung jawab. Para suami yang paham betul akan tugasnya dalam memuliakan istri dan anak-anaknya. Sosok suami yang lahir dari rahim peradaban Islam yang baik, hingga mampu mewujudkan profil keluarga-keluarga yang baik pula.[]


Oleh: Kholda Najiyah
Founder Bengkel Istri
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar