Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU Sisdiknas Perjelas Ketidaksejahteraan Guru


Topswara.com -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim menjelaskan penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) bertujuan untuk meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia. 

RUU ini menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi. Dalam pernyataannya, Pak menteri juga mengungkapkan rasa optimismenya terhadap RUU ini. Beliau yakin bahwa RUU ini mampu mencapai target untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Sebagaimana yang kita tahu saat ini, nampak kesenjangan kesejahteraan guru dilihat dari beberapa aspek.  

Bukan rahasia, jika saat ini hanya guru dengan sertifikasi yang mendapatkan tunjangan profesi. Sehingga, dapat dibandingkan jumlah penghilangan guru dengan dan tanpa sertifikasi. Hal itu menyebabkan kesenjangan kesejahteraan para guru. 

Selain hal tersebut, perbedaan status antara guru ASN dan Non ASN juga menjadi salah satu tolak ukur pendapatan. Guru yang berstatus ASN tentu memiliki penghasilan perbulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru Non ASN. Bahkan, pendapatan guru Non ASN di beberapa daerah cenderung memprihatinkan.

Harapan untuk mengubah kesejahteraan guru menjadi lebih baik dan merata tertuang dalam RUU Sisdiknas Pasal 105 huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru atau pendidik. Namun dalam pasal tersebut, tidak satu pun ditemukan klausul hak guru untuk mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). 

Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Pasal ini jelas menimbulkan tanda tanya atas optimisme menghilangkan kesenjangan kesejahteraan guru. 

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, RUU Sisdiknas memicu polemik karena tidak tertuangnya secara eksplisit aturan tentang tunjangan profesi guru (TPG). Jika dibandingkan dengan UU sebelumnya seperti yang ada dalam RUU Guru dan Dosen. Pasal 105 dalam RUU Sisdiknas berpotensi sebagai pasal karet dan multitafsir, jika dikaitkan dengan hak mendapatkan tunjangan profesi guru (Beritasatu.com, 2/9/2022).   

Tanggapan juga datang dari Persatuan Guru Republik Indonesia yang meminta Kemendikbudristek untuk melibatkan PGRI serta organisasi masyarakat (ormas) lainnya yang fokus menyoroti isu pendidikan untuk terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 

Permintaan ini disampaikan oleh ketua PGRI semata-mata agar aturan baru yang diciptakan pemerintah dapat mengakomodasi seluruh kalangan pendidikan. PGRI tidak segan untuk mengancam pemerintah akan melakukan aksi jika RUU disahkan. PGRI juga menganggap bahwa RUU Sisdiknas ini justru merupakan kemunduran karena banyak sekali aspek yang tidak dicantumkan (Beritasatu.com, 5/9/2022). 

Darisini dapat kita simpulkan bahwa alih-alih menyelesaikan masalah kesejahteraan guru, RUU Sisdiknas malah menimbulkan permasalahan baru. Ketidakjelasan pasal yang tertuang dalam RUU Sisdiknas terkesan memangkas hak guru yang seharusnya malah kian diperjelas. 

Dalam RUU Sisdiknas ini, tidak diperjelas juga nasib guru dengan status Non ASN yang selama ini menjadi masalah inti. Singkatnya, RUU ini belum memberi solusi konkret untuk permasalahan guru honorer, swasta, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Selain itu, tidak menampik kemungkinan bahwa ada sekelompok pemenang dalam membuat aturan baru. Hal tersebut karena penyusunan RUU ini menunjukkan tidak tertampungnya seluruh aspirasi pegiat pendidikan. 

RUU Sisdiknas terkesan terburu-buru, tidak sistematis, serta tidak berdasar atas pemikiran luas. Sangat dikhawatirkan jika RUU ini berakhir seperti UU IKN dan UU Cipta Kerja yang dikebut pembuatannya, tetapi prosesnya tidak memenuhi prasyarat partisipasi publik. 

Berbeda halnya ketika Daulah Islam masih ada, tidak pernah dijumpai masalah mengenai kesejahteraan guru. Tentunya tidak ada juga masalah kesenjangan penghasilan antara satu dan lainnya. Hal ini karena tidak ada perbedaan status atau kedudukan antara guru atau tenaga pendidik lainnya. 

Seluruh pendidik dianggap sebagai seseorang yang sangat berjasa dalam membangun generasi. Seluruh guru, tenaga pendidik, ataupun orang-orang yang terlibat didalamnya dianggap sebagai pegawai negara (muwazif daulah) sehingga, tidak ada perbedaan dalam pemenuhan hak masing-masing. Begitulah sistem Islam mengatur pendidikan dengan sangat baik. 

Dengan jumlah penghasilan yang cukup, maka guru dan tenaga pendidik tidak perlu khawatir terhadap kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, guru digaji sebesar 15 dinar, dengan perbandingan 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. 

Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar 30 juta. Selain itu, mereka juga difasilitasi dengan sarana-prasarana yang memadai untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara demi membangun peradaban agung dan mulia. 

Pendanaan yang baik dalam bidang pendidikan diterapkan dengan apik pada masa Daulah Islam. Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan kas negara (baitul mal) yang kuat. Pemerintah memperinci dengan sistematis pundi-pundi pemasukan negara dan mengalokasikan dana dengan adil pada bidang-bidang yang sesuai. Dengan begitu, terciptalah tujuan dari tiap-tiap bidang kehidupan bernegara tanpa masalah yang tidak terselesaikan. Wallahualam bissawab.


Oleh: Hima Dewi, S. Si., M. Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar