Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berbuat Baik demi Ridha Allah


Topswara.com -- Pernah tidak merasa sudah terlalu baik berbuat kepada  seseorang? Memberi segalanya untuk dia, membantu di kala susah, menghibur di kala sedih, menemani di kala sendiri, tidak meninggalkan di kala dia terpuruk, merawatnya di kala sakit, dan lain sebagainya. Pokoknya hampir 24 jam waktu itu, kita berikan untuk dia dan ternyata dia mengkhianati kita. Di saat suksesnya justru lupa akan semua pengorbanan kita. Tidak membalas ketulusan kita dengan sikap yang sama.
 
Akhirnya kita kecewa, kesal, sedih, sakit hati, dan merasa dikhianati. Merasa bahwa dia adalah orang yang tega, tidak tahu diri, dan jahat sekali. Sampai merasa capek untuk berbuat baik, semua usaha hanya sia-sia belaka, ingin tidur saja hingga lupa bagaimana caranya bangun, malas melakukan kegiatan apapun. Astaghfirullah, apakah benar sikap seperti itu? 

Kalau pernah merasa seperti itu, sepertinya ada yang perlu dikoreksi dalam diri kita. Jangan-jangan selama ini, kita menolong orang hanya sebatas karena ingin mendapat balasan dari si dia. Hanya ingin ada orang yang selalu ada buat kita. Kalau benar seperti itu berarti ada niat yang salah dalam berteman, yaitu hanya atas kepentingan manfaat. Berbuat baik karena ingin mendapatkan balasan kebaikan juga dari manusia. Padahal berharap kepada manusia pasti akan kecewa.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, "Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia."

Fenomena tersebut memang sudah wajar di kalangan masyarakat dan milenial. Mengingat kita sekarang sedang hidup di zaman diterapkannya sekularisme, yaitu paham yang memisahkan Islam dari kehidupan. Islam hanya diingat saat ibadah ritual saja, selain itu bodo amat.

Hal tersebut yang membuat orang-orang tidak lagi memandang halal atau haram dalam beraktivitas. Mereka merasa bebas melakukan apa pun sesuka hatinya. Berbuat baik hanya karena manfaat atau membantu orang dengan tujuan ingin mendapatkan balasan. Membantu orang agar dicap orang baik. Menurutnya, hal tersebut adalah cara paling cepat untuk mendapatkan teman ataupun pasangan hidup.

Sekularisme ternyata adalah anak kandung paham kapitalisme, yaitu ideologi yang menganggap kalau dunia itu hanyalah tempat mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Kapitalisme inilah yang sedang eksis di dunia sekarang.

Sadar atau tidak, kita sekarang sedang dididik dengan paham kapitalisme ini. Maka wajar, kalau dalam berteman pun yang dicari adalah nilai manfaat. Kita baik dengan orang lain karena selalu berharap agar kebaikan kita dibalas dan jika harapannya tidak tercapai, maka dia akan mudah jutek, galau, atau kecewa.

Baik dan Buruk Menurut Islam

Dalam Islam, aktivitas baik dan buruk itu sudah didefinisikan dengan sangat jelas. Baik itu disebut hasan (terpuji) dan buruk itu disebut qabih (tercela). Standarnya juga jelas, yaitu hukum syara atau sesuai dengan Al-Qur'an dan As- Sunnah. Standar ini bersifat universal alias sama untuk setiap orang. Jadi, kita tidak akan bingung mana aktivitas yang termasuk baik dan mana yang buruk. Standar inilah yang benar, karena berasal dari Sang Pencipta kita yang paling tahu betul tentang kita (ciptaan-Nya).

Dalam Islam, perbuatan terpuji adalah sebuah aktivitas yang mendatangkan pahala dari Allah SWT dan perbuatan tercela adalah semua aktivitas yang mendatangkan dosa. Jadi, standarnya bukan pandangan akal manusia, tetapi syariat Islam.

Setiap Muslim harus paham betul definisi baik dan buruk yang benar ini. Sehingga setiap beramal akan selalu kita sesuaikan dengan syariat, tidak peduli lagi apakah kebaikannya dibalas manusia atau tidak. Karena yang kita cari dalam beramal adalah ridha Allah SWT saja, bukan manfaat. Sehingga kita selalu ikhlas beramal hanya karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kita juga harus beramal sesuai dengan prioritas amal, yang wajib harus dikerjakan semua. Misalnya kita wajib shalat, mengkaji Islam dan berdakwah, maka tidak boleh dilewatkan, nanti bisa berdosa.

Yang sunnah semaksimal mungkin diupayakan. Memanjakan malam-malam kita dengan berdoa, shalat tahajud dan amalan sunnah lainnya. Adapun yang mubah, maka kita pilih yang tidak melalaikan. Jangan sampai kita menonton film hingga lupa waktu apalagi hingga melalaikan kewajiban. Maka untuk aktivitas mubah ini kita harus bijaksana menentukan pilihan.

Untuk aktivitas makruh dan haram, maka semaksimal mungkin kita tinggalkan.  Bayangkan, kalau semua orang paham akan konsep baik dan buruk yang sesuai dengan Islam ini. Pasti banyak orang yang beramal sesuai syariat dan bermunculah orang-orang yang ikhlas dalam melakukan kebaikan.

Rasa-rasanya di zaman kapitalisme ini mustahil akan bermunculan orang-orang Ikhlas. Berbeda dengan negara yang bersedia menerapkan sistem Islam, yaitu khilafah. Khilafah ini akan melindungi warganya agar tidak teracuni oleh paham-paham di luar Islam seperti sekularisme dan kapitalisme.

Khilafah juga akan menjaga umat agar bisa tetap menjalankan aktivitas baik sesuai syariat dan meninggalkan aktivitas buruk yang melanggar syariat. Penjagaannya berlapisi tiga yaitu,

Pertama, adalah ketakwaan individu. Khilafah akan mendidik masyarakatnya untuk menjadi individu yang bertakwa. Setiap individu akan betul-betul paham jati dirinya. Ia paham posisinya hanyalah hamba yang tujuan hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ia juga paham bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Sehingga ia akan berhati-hati dalam beraktivitas di dunia. Setiap individu akan selalu berusaha taat pada syariat dan takut berbuat dosa.

Kedua, adalah kontrol masyarakat. Masyarakat dalam khilafah tuh akan sangat menyadari bahwa mereka ibarat satu tubuhm Perasaan mereka selalu ingin taat. Mereka tidak segan untuk saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jadi, masyarakatnya tidak akan apatis dan saling peduli.

Ketiga, adalah negara. Negara akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dalam sistem pendidikannya negara akan membentuk kepribadian Islam pada tiap-tiap individu. Sehingga masyarakat akan memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islami. Kurikulum pendidikannya juga selalu mengacu pada akidah Islam dan definisi aktivitas baik dan buruk yang benar so pasti ditanamkan dalam benak individu. Sehingga mereka akan fokus berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak mengharap lagi bagaimana balasan untuk mereka. 

Maka wajar, banyak kita temui ilmuwan-ilmuan Muslim di masa khilafah, sebut saja Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Jabir Ibnu hayyan dan masih banyak lagi. Mereka menerapkan ilmu dengan tujuan meraih pahala amal jariyah dan memudahkan masyarakat. Keren kan, tidakkah kita merindukannya?


Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar