Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sampai Kapan Pajak Dijadikan Roda Pemerintahan?


Topswara.com -- Permasalahan ekonomi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak ada habisnya, malah yang ada masalah baru disetiap tahunnya. 

Dimulai dari beban pembayaran pajak yang semakin hari semakin melonjak hingga membuat masyarakat sesak. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang terus meroket di tengah pendapatan masyarakat yang menurun bahkan 0 karena banyaknya gelombang PHK akibat pandemi beberapa waktu silam. Dan seakan tidak ada rasa pada rakyatnya, pemerintah tetap saja menagih pajaknya dengan berbagai alasan.

Sebab mau bagaimana lagi, di negara yang berasas demokrasi pemasukan negara yang paling utama adalah dari pajak masyarakat. Walau banyak masyarakat yang menolak membayar pajak dengan segala pemaksaanya yang memberatkan,  namun pihak pemerintah tetap dengan keputusannya bahkan memberikan ancaman pidanan bagi yang tetap melawan dan enggan membayarnya. 

Bahkan sekarang ketentuan membayar pajak mulai terjadi perubahan dengan diintegrasikan identitas kependudukan sebagai kartu wajib pajak. (cnnindonesia.com, 2 Agustus 2022)

Kabarnya mulai tanggal 14 Juli 2022, pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Penggunakan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Tetapi benarkah cara ini akan menjadikan semua warga wajib pajak menjadi membayar pajak? Benarkah dengan cara ini negera Indonesia bisa melakukan pembangunan yang lebih maksimal?

Melihat hal ini tentu banyak masyarakat yang melakukan penolakan. Maka dengan cepat Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memberikan penegasan bahwa NIK hanya untuk masalah adsminitrasi, tidak semua langsung kena wajib pajak. 

Menurut dia dalam UU Perpajakan telah di jelaskan bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp. 54.000.000,- setahun atau Rp. 4.500.000,- perbulan. (Instagram Yustinus Prastowo).

Hal ini juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sosialisasi UU Harmonisasi Perpajakan yang digelar di Jawa Tengah pada Maret lalu bahwa penggunaan NIK sebagai NPWP tak lantas membuat orang pribadi membayar pajak. 

Menurutnya pajak itu prinsip keadilan. Kalau belum punya income ya nggak bayar pajak. Kalau anda kuliah bahkan mendapat Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia Kuliah malah dibayari oleh negara. Ya kan? Ujar Sri Mulyani dalam suatu wawancaranya. Menurutnya peresmian penggunaan NIK sebagai NPWP justru dinilai mempermudah administrasi bagi kedua belah pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. (bisnis.com, 24 Jili 2022)

Maka ketika melihat tagar #StopBayarPajak menjadi trending di media sosial, Sri Mulyani menyampaikan dengan enteng kalau mereka yang tak mau bayar pajak artinya tidak ingin melihat Indonesia maju. 

Melihat ungkapan ini, Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi, menanggapi bahwa hal ini tidak perlu direspon karena sama saja meminta mereka tidak perlu tinggal di Indonesia dan tentu saja yang menyerukan juga akan dipidana karena tidak membayar pajak. 

Tanpa adanya penetapan NIK sebagai kartu wajib pajak, masyarakat sudah secara otomatis terkena pajak dalam berbagai keperluan sehari-hari, seperti membeli rokok. Teddy menjelaskan juga tidak mudah mempraktekkan seruan stop bayar pajak di Indonesia. Pasalnya, berbagai hal di Indonesia sudah terikat pajak secara otomatis. (detiknews.com, 22 Juli 2022)

Melihat kebijakan pajak ini menggambarkan dengan jelas bahwa sistem sekuler kapitalis merupakan rezim pemalak rakyatnya sendiri dengan dalih mensejahterakan. 

Inilah ironi bagi negara dengan sumber daya alam terbesar yang terpasung kapitalis dan koorporasi. Sebab mau bagaimana lagi, SDA yang melimpah di penjuru negeri telah terlanjur diserahkan  pada korporasi akibat tumpukan utang yang makin hari membesar. Begitulah ironi nyata jika suatu negeri berada dalam naungan sistem demokrasi kapitalis. 

Berbeda halnya ketika kita melihat sistem Islam. Dalam sistem Islam segala dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi ketika ada sembuah masalah tidak latah memberi solusi tapi dilihat dari segala sisi dan permasalahan itu diselesaikan dengan pendekatan sistematis. 

Termasuk dalam masalah sumber pemasukan negera berupa pajak ini. Dalam sistem Islam roda pemerintah tidak berjalan dengan sistem menarik pajak dari masyarakat. Negera Islam juga tidak melakukan utang untuk pembangunan yang tentu ini juga membebaskannya dari cengkeraman asing. 

Sumber pemasukan negara dalam negara khilafah berasal dari pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum dan pos sedekah. Terkait pembagian kepemilikan terbagi menjadi kepemilikan umum, negara, dan individu, dimana tambang menjadi kepemilikan umum. 

Dalam negara khilafah terdapat dharibah yang hampir sama dengan pajak yang dipungut ketika kas negara dalam keadaan kosong dan hanya diperuntukan bagi orang yang mampu membayar. 

Meskipun sekilas mirip dengan pajak tetapi dalam Islam jelas banyak perbedaan. Dalam sistem Islam, pajak hanya diperuntukan laki-laki yang kaya saja, jadi walau laki-laki jika tidak kaya maka tidak wajib pajak. Dan itu dikeluarkan ketika kondisi negara benar-benar darurat dan baitul mall dalam keadaan kosong. 

Jadi tidak seperti saat ini yang setiap tahun harus menbayar pajak dengan bermacam-macam jenis pajaknya dan tidak jelas peruntukannya. Maka dari sini sudah jelas terbukti bahwa hanya sistem Islam dalam bingkai khilafahlah yang jelas terbukti mampu mensejahterakan rakyat tanpa embel-embel pungutan pajak.


Oleh: Fauza Taqiya
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar