Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Akibat Lepasnya Junnah, WNI Malang dan Tertindas


Topswara.com -- Nasib miris kembali dialami warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Maksud hati ingin mengadu nasib di perantauan demi menaikkan taraf ekonomi keluarga, tidak terduga kezaliman menimpa mereka. 

Seperti berita yang baru-baru ini terjadi, ada sekitar 60 WNI yang mengalami penyekapan di negeri Kamboja, 55 WNI tersebut yang terdiri 47 pria dan 8 wanita telah dibebaskan, meski demikian belum ada kabar mengenai kondisi WNI tersebut, ujar Brigjen Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan. Sementara dalam penyekapan tersebut masih ada lima lagi WNI yang dalam proses pembebasan, tutur Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. (tvOnenews.com, 30/7/2022).

WNI yang mengalami penyekapan di Kamboja diduga karena modus penipuan melalui media sosial tentang informasi lowongan kerja di media tersebut dengan iming investasi, keuntungan. Pada akhirnya, WNI ilegal tersebut menjadi korban.

Peristiwa kezaliman yang menimpa WNI di negara asing memang bukan kali ini terjadi. Jika bukan karena sulitnya mendapat pekerjaan di negeri sendiri, harga kebutuhan pokok tidak terus melambung, pelayanan publik dan hak mendasar rakyat dipenuhi negara, tidak dikapitalisasi dan negara, tidak pilih kasih antara rakyat dan kapital tentu mereka tidak akan memilih menjadi buruh migran dengan risiko yang cukup besar. 

Tidak hanya penganiayaan, tetapi bisa berujung kematian. Bahkan meskipun buruh migran ini menjadi salah satu sumber pemasukan devisa negara, nyatanya tidak sebanding dengan  perlindungan yang seharusnya mereka terima dari negara. 

Mereka seperti sapi perah yang hanya dimanfaatkan untuk membangun negara agar tetap berdiri.

Apabila pemerintah mau berkaca dan mampu menginstropeksi diri, masih banyak rakyat yang membutuhkan perhatian dalam kesejahteraan, seperti kebutuhan pokok, pelayanan akan pendidikan, kesehatan, keamanan juga lapangan pekerjaan yang memadai, namun hal tersebut dibebankan pada tanggung jawab masing-masing individu, sedangkan negara yang seharusnya menanggung semua itu, kian berlepas tangan dan lebih berpihak pada korporat.

Sudah menjadi kewajiban negara memberikan perlindungan maksimal dan memberikan fasilitas memadai agar rakyat tidak menjadi buruh migran di negeri asing, baik secara legal atau ilegal, sehingga kesejahteraan di negeri sendiri benar-benar bisa dirasakan masyarakat. 

Jikapun ada rakyat yang ingin meneruskan karirnya di luar negeri maka itu pilihan yang harus diiringi jaminan perlindungan dari negara. Tindakan yang harus dilakukan negara ketika warga negaranya mendapat perlakuan tidak manusiawi adalah segera melakukan komunikasi dengan pihak terkait, mencari cara membebaskan mereka dan mengembalikan ke keluarganya dalam kondisi baik dan sehat. 

Sebab, TKI ataupun WNI berhak memperoleh perlindungan secara perdata dan pidana. Namun apakah hal itu akan terwujud dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini? 

Carut-marut sistem perburuhan dan mekanisme yang tidak membawa kemaslahatan, hingga kesejahteraan sulit terwujud, disebabkan sistem demokrasi kapitalisme yang diadopsi negara. 

Ini pula yang menjadi derita rakyat di satu sisi, sementara di sisi lain mereka harus menerima diskriminasi karena tenaga asing diberi kemudahan bekerja dalam negeri ini dengan peluang sebesar-besarnya.

Inilah fakta yang harus dipahami masyarakat Indonesia, karena penerapan sistem demokrasi kapitalis buatan manusia yang serba terbatas dan lemah, sehingga bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan dan keuntungan bagi yang memiliki kuasa. Sehingga lebih mendahulukan pemilik modal tanpa memandang apa yang akan dialami rakyatnya.

Berbeda halnya jika negara menerapkan syariat Islam dalam pemerintahannya. Segala aktivitas pemimpin akan senantiasa berlandaskan akidah Islam, dengan tanggung jawabnya riayah suunil ummah, termasuk kewajiban menyediakan lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Seperti kebutuhan pokok (papan, sandang, pangan), jaminan kesehatan, jaminan pendidikan dan keamanan. 

Hal tersebut dilakukan oleh pemimpin negara karena setiap aktivitasnya terutama dalam mengurusi rakyat akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. kelak, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pemimpin (imam) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), ia akan diminta pertanggung jawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Dalam hal muamalah, Islam tidak akan mengambil keuntungan dari rakyat mana yang menguntungkan mana yang tidak, bahkan dalam upah pekerja, pemimpin dalam Islam akan mengembalikan lagi  pada kesanggupan rakyat, dan kesepakatan ajir (pihak pekerja) dan musta'jir (pihak yang mempekerjakan). 

Negara harus memastikan aktivitas muamalah masyarakat dan akad yang terjalin di antara dua belah pihak yang bersepakat tidak melanggar hukum syarak. Masing-masing pihak harus terikat dengan hukum tersebut sebagai implementasi keimanan seorang muslim. 

Hal ini telah ditegaskan, Allah dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji..."  (TQS. Al-Maidah: 1) 

Islam memandang buruh itu adalah manusia, bukan mesin pabrik yang bisa diperlakukan semaunya. Para majikan harus memberikan hak mereka sebagai buruh dan sebagai manusia sebaik mungkin dalam bentuk menghormati, melindungi, tapi tegas. 

Pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Sehingga tidak akan ada lagi kasus kekerasan kepada buruh melainkan saling membantu dengan akad yang sudah disepakati antara pekerja dan yang memperkerjakan semisal pemberian upah. 

Dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani)

Jika masih ada pelanggaran yang dilakukan warganya maka negara akan mengingatkan, menegur, atau memberi sanksi yang tegas kepada pelaku. Namun, jika pelakunya berada di negara asing atau kuffar, negara akan melakukan upaya diplomasi, ultimatum, atau perang. 

Inilah peran hakiki negara yang dibutuhkan umat saat ini dengan perlindungan serta haibahnya. Peran yang hanya bisa hadir ketika syariat diterapkan negara secara kaffah dengan institusinya yang berideologikan Islam. Wallahu a’lam Bishawwab.


Oleh: Khatimah
Pegiat Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar