Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembungkaman Sikap Kritis: Kebijakan Makin Otoriter


Topswara.com -- Dilansir dari kemenkumham.go.id Jakarta Rabu, (25/06/2022). Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy O.S. Hiariej menyampaikan 14 penjelasan terkait isu-isu yang kontroversi yang ada di RUU KUHP. Penjelasan ini disampaikan Wamenkumham saat mengikuti rapat dengar pendapat antara tim pemerintah dengan komisi lll DPR RI pada perubahan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP) di gedung DPR Senayan.

Dikabarkan dalam waktu dekat Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Sementara pembahasannya bersifat tertutup.

Sebagian masyarakat menilai sikap pemerintah dan DPR terkait pembahasan RKUHP sebagai sikap otoriter, karena terkesan menutup hak rakyat untuk memberikan saran atau masukan materi RKUHP tersebut demi kebaikan hidup berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Disinyalir RKUHP tersebut mengandung pasal yang mengancam warga negara yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Pemerintah, Gubernur, DPR dan Polisi. Siapapun dalam hal ini rakyat yang melakukan tindakan tersebut terancam hukuman penjara. 

Sebelum adanya revisi RKUHP, rakyat sudah dibuat ketakutan oleh pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE. Mengapa disebut pasal karet, sebab bisa ditarik sesuai kepentingan. UU ITE telah banyak memakan korban. Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Net work (SAFE net) bahwa di tahun 2008-2018 sekitar 35,92 persen pejabat negara seperti menteri, kepala daerah, kepala instansi dan aparat keamanan melaporkan warga ( ulama, tokoh Islam ataupun oposisi) dengan memanfaatkan UU ITE. Ditambah lagi adanya RUU KUHP. Semakin jauh keamanan dan ketentraman hidup berpihak kepada rakyat.

Sungguh ironis, negara hukum hanya klaim. Faktanya hukum lebih tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Begitu sigap menghukumi  orang yang bersikap kritis terhadap kekuasaan dan pendukungnya. Sebaliknya terhadap orang yang menghina ulama, melecehkan agama, dan sejenisnya mendapat perlakuan yang berbeda (kebal hukum). 

Penguasa seenaknya menyematkan sebutan radikal, ekstrimis terhadap orang ataupun kelompok yang ingin memperjuangkan tegaknya syariat Islam, padahal hal itu adalah kewajiban dari Allah SWT.

Klaim demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat ternyata omong kosong, yang ada justru kedaulatan ada di tangan penguasa dan oligarki. Rakyat harus menerima ketika dizalimi.

Inilah kerusakan demokrasi, alih-alih rakyat berdaulat yang terjadi justru malah sebaliknya, rakyat dibungkam dengan berbagai kebijakan yang otoriter, sehingga lemahkan suara kritis rakyat terhadap penguasa.

Bagaimana sebenarnya kedudukan mengoreksi penguasa dalam Islam?

Mengoreksi penguasa Muslim bukanlah membuka aib sesama Muslim, akan tetapi harus dilihat dulu obyek apa yang akan dikoreksi. Jika obyek yang dikoreksi adalah kebijakan mereka yang zalim kepada rakyat seperti memperjualbelikan kepemilikan umum (BBM, gas, air, listrik dan lain-lain) kepada rakyat, sekaligus menyerahkan kepemilikan SDM kepada pihak asing dan aseng maka ini wajib dilakukan. Sebaliknya jika mereka menghalang-halangi amar maruf sama artinya telah melakukan kemungkaran.

Diamnya kaum Muslim atas penguasa yang zalim berarti melanggengkan kezaliman dan membiarkan kerusakan merajalela.

Rasulullah Saw telah bersabda:
Tidaklah ada suatu kaum, yang di tengah -tengah mereka berbagai kemaksiatan dilakukan, yang mampu mereka ubah, tetapi tidak mereka ubah, melainkan sangat mungkin Allah meratakan atas mereka azab-Nya (HR. Abu Dawud).

Mendiamkan kemungkaran penguasa mengundang bala, apalagi dengan dibuatnya undang-undang yang menghalangi aktivitas amar makruf nahi mungkar, kemungkaran akan jauh lebih besar.

Wahai kaum muslimin takutlah kepada Allah SWT. Jangan sampai takutnya kita kepada manusia melebihi takutnya kita kepada Allah.

Cukuplah firman Allah SWT. Sebagai pengingat terbaik, bahwa siapapun yang memimpin negeri ini tidak memakai aturan yang Allah turunkan maka mereka akan berlaku zalim. Seperti firman Allah yang artinya: Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang -orang zalim (TQS. Al-Maidah [5]:45)

Oleh karena itu untuk mengakhiri kezaliman hanyalah dengan kembali kepada aturan Allah, yaitu menerapkan Islam kaffah.

Wallahu a'lam bi ashawab. []


Oleh: Atikah Nur
Analis Mutiara Umat Institute 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar