Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Restorative Justice Hukum Disetop, Solusikah bagi Keamanan Masyarakat?


Topswara.com -- Akibat penjara penuh, lantas apakah dengan restorative justice dapat menyelesaikan semua tindak kejahatan di dunia? Lalu siapakah yang akan bertanggung jawab jika kejadian yang sama dilakukan kembali oleh orang sama? Demi keadilan siapakah peradilan ini dilakukan?

Fadil Zumhana mengungkapkan bahwa, “sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sekitar 1.070 perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan restorative ini, di mana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restorative dalam sistem peradilan di Indonesia. (detik.com, 22/05/2022).

Selanjutnya, Fadil Zumhana juga mengatakan bahwa Kejaksaan RI telah menyelesaikan 821 kasus di seluruh Indonesia melalui keadilan restoratif, dan berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85.2 persen responden mendukung penerapan keadilan restorative sebagai sarana penghentian hukum pidana yang sifatnya ringan, mengingat dikarenakan kondisi penjara Indonesia sangatlah padat, sedangkan masyarakat menuntut reformasi yang serius dalam penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan penjara saja daripada memulihkan keadilan.

Apa jadinya jika negara Indonesia menganut peradilan hukum restoratif tersebut? Nyatanya, sampai saat ini masih banyak kasus tindak kejahatan yang masih merebak di Indonesia. Mulai dari kasus pemerkosaan, pembegalan, pembunuhan, pencurian, dan aksi-aksi kejahatan lainnya yang masih banyak lagi dan bahkan dalam sehari saja dapat bermacam-macam kasus yang terjadi.

Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban. Arti restoratif sendiri dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan cara mediasi antara pelaku dan korban dapat menyelesaikan masalah dan terciptanya suatu keadilan, kira-kira keadilan bagi siapa?

Menurut Fadil Zumahan, bahwa dengan menggunakan pendekatan restorative justice, ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan. Pertama, kohesi sosial secara sederhana bisa diterangkan sebagai perekat atau ikatan yang menjaga masyarakat tetap bersatu atau terintegrasi. Kedua, keterlibatan kejaksaan dalam memotivasi dalam pemulihan bagi mereka yang membutuhkan. Ketiga, menganggap bahwa dengan restorative justice ini dapat membuat pelaku sadar atau merenungkan kembali akan perbuatannya.

Dari pernyataan tersebut, harusnya membuat kita geleng-geleng kepala, mengapa? Sejak masa ke khilafah sampai runtuhnya Daulah dan dipimpin oleh presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno, tidak pernah ada yang namanya meringankan atau menyelesaikan masalah dengan mediasi demi mempererat hubungan antar masyarakat, bagaimana mungkin dapat terciptanya suatu hubungan yang baik dengan pelaku yang sudah jelas-jelas membuat kita terluka.

Selanjutnya, dengan keadilan restorative dapat memotivasi kejaksaan agar terlibat untuk dalam pemulihan, sedangkan setiap kasus sudah menjadi tanggung jawabnya, dan terakhir, dengan keadilan restorative menjamin akan membuat pelaku sadar serta introspeksi diri akan kesalahannya, yang menjadi pertanyaannya, benarkah dapat menyadarkan pelaku kejahatan tersebut? 

Nyatanya, sampai hari ini masih banyak aksi kejahatan yang merajalela, bahkan yang baru saja keluar dari penjara, kembali lagi melakukan aksi kejahatan, dan sudah banyak yang keluar masuk penjara dengan kesalahan yang sama. Mangkinkah dengan ini dapat menyadarkan pelaku? Makin diringankan hukum maka makin bebas pula mereka untuk melakukan kejahatan dengan terus-menerus dikarenakan hukum dapat diringankan serta dihapuskan.

Hukum kejahatan tetap harus dilakukan, sebab Allah SWT. Berfirman di dalam Al-Qur’an:

مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِىٓ إِسْرٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَنْ قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. Al-Maidah [6]: 32).

Gonta-ganti hukum sudah menjadi hal yang biasa disistem sekuler pada hari ini, sudah tidak heran lagi dengan yang terjadi di dalamnya. Meringankan beban seseorang memanglah menjadi kewajiban kita, namun jika dalam hal tindakan yang tidak menyenangkan, wajib kita hukum demi kenyamanan bersama, karena makin dibiarkannya para pelaku kejahatan maka membuat masyarakat makin resah. Jika tidak ada hukum yang setimpal bagi pelaku kejahatan, maka pelaku pun akan dengan senang melakukan kembali aksinya.

Di dalam Islam, hukum tetaplah dilakukan sesuai dengan aksi yang dilakukan oleh pelaku, jika ia berzina maka ia akan dirajam. Sangatlah berbeda dengan sistem Islam, yang menghapus segala tindak kejahatan dengan tuntas dan hanya terjadi 200 kasus dalam waktu 13 abad lamanya. 

Sistem Islam menganut peraturan Allah, maka sampai kapan pun sistem dari Allah tidak dapat diubah oleh siapa pun, dan demi kepentingan adapun. Bukan seperti sekarang yang bebas kapan pun dapat diubah demi kepentingan pribadi dan demi meringankan beban negara dalam menanggung biaya penjara/tahanan yang seharusnya menjadi urusan negara.

Lantas, ini semua demi keadilan siapa? Masyarakat atau para birokrat? Di dalam Islam, hukum tetaplah hukum dan akan langsung dihukum di hadapan banyak orang-orang. Hukum yang membuat jera masyarakat untuk melakukan sebuah tindak kejahatan selanjutnya, tidak hanya membuat jera, tetapi juga membuat masyarakat lain yang tidak melakukannya menjadi takut sebab, hukuman yang dilakukan sangatlah berat. Jika hukuman diringankan, bagaimana bisa pelaku jera?

Bobroknya sistem sekuler dalam menciptakan aturan yang selayaknya kita ganti dengan sistem Islam yang benar-benar menuntaskan masalah tanpa masalah. Islam memanglah sudah nyata hukumnya, tetap, dan tidak bisa diubah-ubah dengan sesuka hati, dan wajiblah kita ganti sistem kita hari ini dengan sistem Islam.

Wallahualam bisawab.


Oleh: Fitria Sari
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar