Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Memutus Radikalisme di Kampus?


Topswara.com -- “Korban pertama ketika perang datang adalah kebenaran”, demikian ungkapan Hiram Warren Johnson, seorang politikus dan senator Amerika Serikat yang hidup pada 1866-1945. Dalam konteks War on Terrorism (WoT) atau sekarang War on Radicalism (WoR) secara global, premis utamanya, sekaligus kebohongan pertamanya adalah klaim bahwa ini merupakan perang dalam rangka mempertahankan keamanan.

Awal mula gagasan WoT adalah pascaserangan 11 September di New York, yang menuding Al-Qaeda Afganistan sebagai dalangnya. Akibatnya, terjadilah invasi dan pendudukan  terhadap Afganistan oleh AS. Dari sini, narasi WoT dialirderaskan ke seluruh dunia, terutama dunia Muslim agar mereka waspada terhadap gagasan yang menginginkan perubahan ke arah Islam secara politik. Seiring penerapannya, gagasan WoT menemukan kebuntuan, hingga beralih ke narasi WoR, yang intinya tetap sama: menjadikan Islam dan umatnya sebagai sasaran.

Sejak beberapa tahun terakhir misalnya, kita sering mendengar narasi radikalisme menyasar ke tempat-tempat strategis seperti masjid, madrasah, pondok pesantren, tak terkecuali kampus. 

Baru-baru ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap adanya temuan modus baru radikalisme di kampus, misalnya propaganda I5I5 seperti terjadi di Univertitas Brawijaya. Menurut Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar, pihaknya telah mengantongi data kampus dan sivitas akademika yang terpapar radikalisme, namun enggan menyebutkannya, sebagaiman dikutip Tempo.co/25/5/2022.

Sebelumnya, pada tahun 2021 lalu Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengatakan bahwa seluruh kampus di Indonesia harus melarang kegiatan yang mengandung paham radikalisme. Menurut Mahfud, radikalisme harus ditangkal berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Politisasi Radikalisme

Kontroversi panjang tentang trio isu radikalisme, terorisme, dan ekstremisme memang selalu seksi, apalagi dibumbui dengan isu kekerasan, intoleran, antiPancasila, antikebhinekaan, dan sebagainya. Upaya para politisi ataupun aparat yang bergandeng tangan dengan kebijakan AS secara global untuk memerangi radikalisme nampaknya lebih mirip ‘politisasi istilah’ ketimbang penyelesaian masalah. 

Kendati terorisme itu ada faktanya, namun narasi dan tindakan aparat justru menimbulkan kegaduhan, was-was, dan ‘teror’ di muka publik, bukan memberi rasa aman dengan bekerja secara senyap dan professional.

Pertanyaannya, apakah istilah-istilah itu sudah tepat dalam menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau istilah-istilah tersebut hanya dugaan tanpa literasi memadai, yang menggunakan peristiwa-perstiwa yang terjadi untuk menanamkan pemahaman yang keliru (gagal paham) terhadap Islam. Sangat penting untuk mengkaji istilah-istilah tersebut lebih mandalam lagi untuk memahami apa yang mendasarinya, bukan memahaminya dari kacamata bahasa yang saat ini digunakan Amerika dan konco-konconya.

Tudingan bahwa kampus terpapar radikalisme perlu kita kaji dengan jernih, terutama istilah radikalisme itu sendiri yang masih prematur. Akar timbulnya kekacauan maupun aksi kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagian besar dipicu oleh sejumlah faktor yang berasal dari ketidakadilan politik, bukan keyakinan agama. 

Ambiguitas istilah radikalisme tidak pantas dijadikan standar untuk mengevaluasi aktivitas masyarakat (terutama umat islam) yang mengkaji ajaran agamanya, baik di ruang privat (lingkup masjid) maupun ruang publik (kamus, perkantoran, dan lain-lain). Mengapa? Karena hal ini akan mengantarkan pada konsekuensi bahaya; yakni menjadikan ajaran islam (syariat islam), yang merupakan “gagasan” Allah SWT akan berada pada posisi subordinat, sedangkan gagasan manusia, seperti demokrasi dan HAM berada pada posisi superordinate. 

Mengapa mengkaji sebuah gagasan terkategori tindak radikal manakala gagasan tersebut berasal dari islam? Di manakah letak koordinat “kebebasan berpendapat” berada di negeri yang mengaku paling demoktaris ini?

Di sisi lain, ini adalah oskestrasi murahan Barat dan follower-nya yang menjadi style baru perang mereka terhadap islam dan umatnya. Meskipun PBB baru saja mengeluarkan kebijakan antiislamofobia pada 15 Maret lalu, yang mengubah kebijakan lama yakni islamofobia, nyatanya Islam dan umat Islam tetap saja jadi sasaran. 

Mereka begitu antusias mewartakan isu dugaan keterlibatan seseorang dengan tindakan yang mengarah pada terorisme, tapi menderita rabun kronis pada keterlibatan nyata AS pada invasi brutalnya ke Afganistan, dan Irak puluhan tahun lamanya yang menghilangkan jutaan nyawa umat Islam. 

Mereka juga sangat bergegas dan keras dalam menindak aksi dugaan terorisme, namun sangat lemot dan lebay terhadap tindakan separatisme yang jelas-jelas menantang pemerintah. Lucunya, masih ada kamus “dialog dan jalan persuasif” terhadap aksi separatis, tapi tiada ampun terhadap mereka yang masih dalam ‘dugaan’.

Paranoidnya mereka terhadap gagasan Islam terutama syariat islam telah melahirkan gerakan islamofobia yang dilakukan secara terstruktur, massif, dan sistematis, baik lokal maupun internasional. Padahal, kampus sejatinya merupakan kawah candradimuka bagi para sivitas akademika untuk “ngangsu kawruh” (mencari hakikat ilmu) dengan jalan diskusi yang intelek dan ilmiah dan meninggikan rasionalitas. Jika komunisme sebagai gagasan saja diberi mimbar untuk dipelajari dan didiskusikan, mengapa tidak bagi syariah islam untuk diperakukan sama?

Sungguh inilah malapetaka yang menimpa dunia pendidikan kita dan intelektual kita. Kegaduhan yang diciptakan rezim dalam narasi WoR telah menumbalkan jiwa kritis insan akademisi. Bukan tidak mungkin, konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sekadar lip service untuk menutupi topeng islamofobia yang menggejala di tubuh rezim berkuasa. 

Yang terjadi, generasi penerus estafet bangsa, kian terjajah secara pemikiran, terpenjara dalam lingkup teoritis keilmuan tanpa membawa sepeserpun kemajuan. Bahkan dikhawatirkan oleh sebagian kalangan, narasi radikalisme di kampus ini menjadi alat propaganda untuk mencitraburukkan islam di hadapan sivitas akademika, terutama mahasiswa. 

Endingnya, mereka fobia terhadap syariah Islam dan menjauh dari diskusi-diskusi keislaman. Ditambah masifnya promosi Islam moderat, kian menambah serangan terhadap konsep Islam kafah dan merugikan umat Islam.

Masifnya propaganda radikalisme kampus dan derasnya arus moderasi beragama pada akhirnya menjadi alat politik untuk menikam suara kritis pihak kontra rezim sekaligus menebar ‘teror’ di lingkungan akademisi. ‘Teror’ opini yang begitu jahat untuk menjauhkan umat islam dan menekan aktivitas dakwah islam di kampus. 

Sangat disayangkan jika kampus tak lagi menjadi tempat dibesarkannya para intelektual andal yang selalu melakukan ‘muhasabah’ atas jalannya roda pemerintahan. Semata agar kebijakan penguasa sejalan dengan amanat rakyat, bukan sebaliknya, mengkhianati rakyat.

Sesungguhnya ajaran Islam, adalah risalah untuk umat manusia. Umat islam meyakininya sebagai pedoman sohih di setiap masa dan tempat, sebab mustahil risalah dari Allah hanya berlaku ‘limited edition’. Karena itu, mendiskusikan gagasan Islam sebagai jalan solusi atas persoalan yang menimpa negeri, merupakan aktivitas keilmuan yang seharusnya diberi ruang. 

Bagaimana bisa sebuah gagasan akan diterima manakala publik tidak mendapatkan pengetahuan tentangnya secara proporsional? Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Di sinilah paradoksnya ide kebebasan berpendapat dalam demokrasi, yang secara sengaja dan simultan menempatkan hambatan bagi tersosialisasinya ide-ide Islam, meski di kalangan umat islam sendiri.

Hari ini kita dihadapkan pada realitas bahwa dunia islam sedang mencoba bangkit dari keterpurukannya dengan tertatih-tatih. Umat Islam memiliki segudang pekerjaan rumah dan rintangan besar yang menghadang kebangkitannya. Seorang Muslim tidak dilarang untuk mengambil pelajaran dan hikmah dari bangsa manapun, namun tetap harus menjadikan islam sebagai filter dan identitas, serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mempelajari Islam, bukan malah menjauh dari Islam lalu berkhidmatkepada Barat. 

Oleh karena itu, ajaran islam yang kafah semestinya terus dikaji, dipelajari, dan dikomparasikan dengan gagasan manapun di dunia ini, terutama di kampus dengan serius sebagaimana mereka serius mengkaji ilmu dari Barat. 

Dinamika zaman akan mengiringi bergulirnya pemahaman Islam, mendorong kesadaran intelektual Muslim, dan memantik keberislaman umat Islam, sekaligus memantik kesadaran mereka terhadap kerusakan yang timbul akibat tatanan sekuler kapitalistik hari ini. Hingga tibalah suatu masa, umat akan tergerak untuk mewujudkan kembali Islam sebagai tatanan baru dalam kehidupan, insyaallah.

Patut kiranya kita mengingat perkataan ulama: kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya, sedangkan Barat maju karena meninggalkan agama mereka. Islam adalah rahmatan lil’alamin yang tidak akan lekang oleh zaman. 

Kembalinya Islam sebagai satu kesatuan sistem kehidupan akan mengembalikan wibawa islam sekaligus menjadi penawar dari wabah kekacauan yang melanda intelektual muslim di seluruh dunia. Rasulullah SAW telah bersabda: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (H.R. Daruquthni)



Oleh: Pipit Agustin
Forum Hijrah Kafah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar