Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Benarkah Para Ibu Membutuhkan RUU KIA?


Topswara.com -- Dilansir detik.com (19 juni 2022) DPR RI sedang membahas soal RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR.

Adanya wacana tersebut membuat sejumlah pihak merasa khawatir akan ada diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan. “Efeknya mungkin perusahaan bakal mengutamakan rekrut karyawan laki-laki… yang wanita bakal lebih susah dapat kerjaan.. mudah-mudahan nggak sih,” tulis salah satu akun, di kolom komentar unggahan TikTok DPR, @DPRRI “Tapi nanti perusahaan nyarinya laki-laki karena gamau rugi bayar gaji yg cuti. Maaf kalo aku pinter,” tulis akun lainnya. (kompas.com 19/6/2022).

Adanya pembahasan RUU KIA  karena adanya fenomena perempuan mengalami depresi pascamelahirkan. Selain itu, para ibu akan lebih fokus untuk memberikan ASI eksklusif kepada anak-anaknya, karena anak sedang dalam masa golden age, sehingga harus diberikan gizi serta perhatian yang lebih. 

Di satu sisi pengusaha mengalami dilema, karena bagaimana mungkin pengusaha menggaji karyawannya secara full selama enam bulan, sedangkan karyawanya tidak bekerja.

Peran ibu sebagai umm warabatul bait hari ini terkikis. Karena selain mendidik anak-anaknya, mereka memiliki tugas tambahan yakni mencari nafkah. Yang sejatinya tugas mencari nafkah adalah laki-laki. Namun dalam sistem kapitalisme, wanita dieksploitasi tenaga, pikirannya, serta waktunya untuk bekerja. Mereka harus bekerja akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pokok. Sehingga membuat tugas sebagai umm warabatul bait tidak maksimal. 

Sistem kapitalisme hari ini hanya memandang bagaimana seorang wanita bisa memberikan kontribusi lebih dalam bidang ekonomi. Sejatinya yang harus memberikan kontribusi lebih, dalam bidang ekonomi adalah negara. 

Namun peran negara hari ini sangat mandul. Negara hanya bertugas sebagai legislator, semua kebutuhan hajat hidup masyarakat diserahkan kepada swasta, sehingga jika masyarakat ingin memperoleh fasilitas kesehatan, pendidikan, keamanan mereka harus membayar dengan sejumlah nominal tertentu.

Adanya RUU KIA hanyalah solusi tambal sulam. Kapitalisme terbukti tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi ibu. Yang dibutuhkan ibu adalah kesejahteraan secara komperhensif. 

Dalam Islam, ibu memiliki tugas yang agung. Yakni sebagai pendidik pertama dan utama bagi generasi Islam. Dari rahimnya akan lahir seorang pejuang Islam. Seorang ibu memiliki kewajiban untuk melakukan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal ini dikarenakan (upaya) memperbaiki (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua sisi: pertama, perbaikan (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar (rumah). 

Kedua, perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah. (muslim.or.id 21/4/2021) 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).

Bagaimana bisa tercipta pahlawa yang tangguh menolong agamanya, jika ibunya sibuk dengan urusan duniawi? Lihatlah pahlawan-pahlawan besar, mereka lahir dari rahim seorang wanita yang hebat. Imam Syafii seorang ulama besar, di usia tujuh tahun, Syafi’i kecil telah selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya dengan fasih dan mutqin. 

Bahkan, beliau mengkhatamkan hafalan qur’annya sebanyak 16 kali dalam suatu perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Tidak cukup sampai disitu, setahun kemudian kitab Al-muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan, juga berhasil dibabat habis oleh Imam Syafi’i diluar kepala. 

Pada umurnya yang ke-15, ia telah diangkat menjadi mufti kota Mekkah dan telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Dan karya-karya besarnya sampai saat ini, masih diakui dan menjadi rujukan utama di seluruh penjuru dunia. 

Ibunya bernama Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah namanya. Beliau berasal dari suku Al-Azd di Yaman. Garis keturunan beliau masih bersambung dengan Rasulullah Saw dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sejak bayi, Syafi’i kecil telah ia didik dan besarkan sendirian. Suaminya, Idris bin Abbas bin Usamah bin Syafi’i telah meninggal dunia saat Syafi’i berusia 2 tahun, tanpa meninggalkan sedikit harta pun untuk diwarisi. 

Sedari Syafi’i kecil, Fathimah bahkan telah menggembleng anaknya untuk cinta mati akan ilmu pengetahuan. Bahkan tak jarang ia mengurung Syafi’I kecil di dalam sebuah ruangan untuk menghafal suatu bidang ilmu, yang kemudian disetorkan pada dirinya. Bukan hanya itu, Fathimah juga kerap kali tidak membukakan pintu rumah untuk Syafi’i ketika ia pulang dari sebuah majelis ilmu, agar ia kembali lagi ke majelis tersebut, hingga mendapatkan sebuah ilmu, walau sekecil apapun.

Sadar akan kecerdasan Syafi’i yang luar biasa itu, pada usia anaknya yang masih sangat belia (15 tahun), Fathimah telah mengabulkan keinginan Imam Syafi’i untuk menuntut ilmu ke luar kota Mekkah. Pada saat itu, Syafi’i mengaku pada ibunya, ia telah habis berguru dan sudah habis menguasai semua disiplin ilmu yang ada pada semua ulama di kota Mekkah. Syafi’i ingin mencari ilmu yang baru di luar kota tempat lahirnya Rasulullah Saw tersebut. MasyaAllah betapa luar biasanya peran seorang ibu bagi Imam Syafi’i. 

Kesejahteraan seorang ibu hanya bisa didapat di dalam sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah. Marilah kita berjuang menerapkan syariat Islam secara kaffah dimuka bumi ini.


Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar