Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wong Jowo Ilang Jawane?


Topswara.com -- Bulan Ramadhan adalah bulan bahagia. Bagaimana tidak, berbagai makanan tradisional khas dari masing-masing daerah disajikan dimeja makan untuk menyemangati kita yang sedang berpuasa. Bagi kita di Jawa, keluarga biasa menghidangkan kolak, dawet, gempol plered, dan sebagainya sebagai pembatal puasa.

Tetapi sebenarnya yang paling membuat kita bahagia adalah karena kita menjadi orang Islam, dan dibulan Ramadhan diturunkan Al-Qur'an. Apabila kita bukan Muslim, pasti tidak bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh umat Islam. Iya, kan? Tadarus Al-Qur'an bersama-sama juga kita rasakan syu'urnya sangat terasa di bulan Ramadhan.

Beberapa hari menjelang Ramadhan ini, media sosial diramaikan dengan berita tentang kegiatan membaca Al-Qur'an bersama di pusat kota Jogjakarta yang diikuti oleh ratusan peserta dalam beragam usia. Bagus bukan? Kegiatan membaca Al-Qur'an menyambut datangnya bulan suci Ramadhan?

Acara yang digelar pada hari Ahad, 27 Maret 2020 kemarin terhitung cukup sukses dengan adanya reaksi pro dan kontra yang viral di media sosial.
Acara yang menurut panitia ini ternyata adalah syukuran atas tersebarnya lebih dari 10.000 mushaf Al-Qur'an di Jogjakarta. Sepertinya kok tidak ada yang aneh, ya?

Beberapa reaksi negatif bermunculan. Ada yang menyampaikan tuduhan bahwa acara yang berkedok pembacaan Surat Yasin dan Shalawat bersama ini adalah sebuah upaya invasi asing ke Tanah Jawa. Sepertinya yang dimaksud asing disini adalah Islam. 

Ada pula yang mencoba menarik perhatian masyarakat dengan mengatakan bahwa acara tersebut bisa menyebabkan "Wong Jowo Ilang Jawane", atau orang Jawa kehilangan kejawa-annya. Kira-kira demikian opini yang disampaikan.

Fakta sesungguhnya adalah bahwa Jogjakarta dahulu kala merupakan ibukota Kesultanan Mataram Islam. Setelah runtuhnya Kesultanan Demak di pantai Utara Jawa sebagai capaian dakwah dari utusan Khalifah Turki Utsmani, dakwah Islam kemudian diteruskan oleh kesultanan Mataram yang berada di Jogjakarta.

Artinya budaya yang muncul di Jogjakarta adalah budaya Islam yang diwariskan dari dakwah Islam sebelumnya. Oleh karena itu budaya asli Jawa Mataram adalah budaya Islam. Tidak bisa dielakkan lagi bahwa Jawa identik dengan Islam.

Setelah penjajahan, Belanda yang telah berhasil menginvasi Jawa kemudian melakukan pengaburan dan penguburan sejarah dan identitas Islam di Jawa. Berbagai cara dilakukan agar generasi yang ada tidak lagi terbiasa dengan budaya Islam.

Mulailah upaya Nativisasi Jawa sebagai bagian dari strategi untuk memisahkan Jawa dengan Islam. Apalagi setelah kerugian yang sangat besar akibat perang Sabil yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro, pihak Belanda semakin bersungguh-sungguh untuk memisahkan Jawa dan Islam.

Bersanding dengan gerakan misionari, penguburan Islam juga dilakukan dengan klenikisasi. Hasilnya adalah semakin banyak orang Jawa yang kemudian murtad dan menganut agama Nasrani maupun yang menyatakan diri sebagai penganut kepercayaan Jawi.

Akankah "wong Jowo ilang Jawane"? Ini adalah sebuah pertanyaan yang cukup menggelikan, kalau tidak mau kita katakan bahwa pertanyaan tersebut sangat emosional. Mengapa demikian? 

Mari kita bahas secara rasional. Dari zaman dulu kala, Tanah Jawa adalah tempat dimana semua budaya bisa masuk dan mempengaruhi penduduknya. Kita akan kesulitan menentukan mana ras asli Jawa, karena semua suku bisa berkontribusi secara genetis pada Jawa. Bahkan pendiri Kesultanan Mataram contohnya, adalah keturunan dari daerah Timur Indonesia, Bondan Kejawan, namanya.

Saya yang ius sanguin (berdarah Jawa), serta ius soli (lahir di Jawa)  tidak mungkin kehilangan ke-Jawa-an saya. Bagaimana bisa kehilangan sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT sebagai qadha bagi kita? Bahkan menghindari indentitas sebagai orang Jawa-pun saya tidak bisa. Apakah saya akan kehilangan ke-Jawa-an saya dengan membaca Al-Qur'an yang berbahasa Arabia? Anda tentu tahu jawabannya.

Namun demikian, saya sebagai seorang Muslim bisa kehilangan ke-Islaman saya. "Wong Islam bisa ilang Islame". Ketika seorang Muslim Jawa beralih agama (murtad), maka secara otomatis dia akan kehilangan ke-Islamannya. Karena menjadi Islam adalah hidayah yang kita usahakan sehingga Allah SWT men-taufik-kan kita dengannya.

Oleh karena itu wacana "Wong Jowo Ilang Jawane" tidak memiliki fakta melainkan hanya sebuah opini yang digoreng untuk mendukung proyek de-Islamisasi penjajah yang akan memisahkan Islam dari manusia. Pada kasus ini Islam dipisahkan dari orang Jawa.

Apakah hanya akan terjadi di Jawa saja? Tentu saja tidak. Pemisahan Islam dari manusia, pemisahan hidayah dari seorang muslim tidak hanya sedang diupayakan kepada orang Jawa saja. Namun juga kepada Muslim Sumatra, Muslim Papua, Muslim Banjar, Muslim Makasar dan semua Muslim yang ada di Indonesia bahkan diseluruh dunia.

Oleh karena itu, misalnya seorang Minang Muslim yang sedang memperjuangkan Islam, namun dengan cara menggoreng isu kedaerahan, serta mendeskreditkan etnis Jawa sebagai penghambat perjuangan, adalah tindakan yang kekanak-kanakan.

Membawa fanatisme etnis kepada sebuah tujuan, apapun itu tujuannya sejatinya adalah membantu penjajah mewujudkan perpecahan. Musuh Islam tidak bisa menghabisi Islam ketika umatnya senantiasa terikat dengan Aqidah dan ukhuwah islamiyah.

Seseorang pernah bertanya pada saya, "Taz, antum ada darah Minang, ya?" 
Saya bilang, "Rahasia! Bahkan ada yang mengatakan saya ada darah Papua!". 
"Serius, taz?", tanya dia.
"Lho, antum gak percaya!", jawab saya. 

Ngomong-ngomong tentang makanan daerah, kira-kira nanti apa yang akan dihidangkan untuk berbuka, ya? Es buah serut, cincau dan saus gula merah, atau gempol plered dengan aroma framboze yang khas itu ya? Hmmm..


Oleh: Trisyuono Donapaste
Aktivis Penggerak Perubahan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar