Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mencegah Radikalisme atau Memecah-belah Persatuan?


Topswara.com -- Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku bakal melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Disebutkan bahwa beberapa masjid dianggap sering menjadi tempat penyebaran paham radikal. 

Merujuk hasil riset dari Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan yang diterbitkan Juli 2018 lalu, sebanyak 41 dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta terindikasi paham radikal. 

Dikutip dari republika.id, Sekretaris Jenderal Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), KH Akhmad Alim,) menanggapi paparan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (25/1) yang menyebut adanya pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris Ia menegaskan bahwa Ponpes merupakan produk asli pendidikan Indonesia sebelum adanya pendidikan nasional dan berperan aktif dalam menjaga kesatuan NKRI serta memajukan bangsa.

Sejarah membuktikan bahwa pesantren memberikan sumbangsih besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Kala itu, para kiai, ulama, santri, ajengan, tuan guru, bahkan habib bersatu untuk mengusir penjajah.

Menurutnya jika narasi tersebut terus berlanjut, sama saja dengan menfikan peran pesantren yang telah berjasa besar untuk kemerdekaan dan persatuan NKRI.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, mempertanyakan informasi yang disampaikan kepala BNPT tersebut. Khususnya tentang dugaan adanya ratusan ponpes yang terafiliasi dengan terorisme. BNPT menjelaskan ke publik, agar tidak menimbulkan stigma negatif kepada kelompok tertentu, terutama ponpes.

Isu radikalisme pada umumnya dikaitkan dengan Islam atau orang-orang Islam sebagai upaya untuk membangun persepsi negatif tentang agama dan umat ini. Bahkan, mereka yang melemparkan isu radikalisme itu juga sadar bahwa realita radikalisme itu kalaupun ada bukanlah ancaman seperti yang disuarakan.

Rencana pemetaan masjid dikaitkan dengan isu radikalisme, dan tuduhan terhadap ratusan pondok pesantren terkait terorisme, lagi-lagi menampakkan wajah islamophobia. Hal ini menimbulkan dugaan adanya framing negatif dan tidak adil terhadap umat Islam.

Serangan Islamofobia bukan hanya menyangkut serangan terhadap ajaran Islam. Namun juga pada bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya, serta militer, bahkan membuat disintegrasi dan separatisme di sebuah negara NKRI yang dihuni mayoritas kaum Muslim.

Sebagai contoh kejadian di Wamena dituduh akibat berkembangnya gerakan radikal (Islam) di sana. Padahal nyata-nyata yang menginginkan disintegrasi dari Indonesia adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Bahkan, gerakan tersebut tidak tersentuh sama sekali. 

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang memiliki anggaran untuk program deradikalisasi sebesar Rp169 miliar ini dinilai masih belum dapat memberangus para teroris dari berbagai kelompok di Indonesia.
Perekonomian hancur dan maraknya seks bebas di kalangan remaja dan gelombang L967 yang menyerbu, karena sistem sosial yang diterapkan adalah sistem kapitalis liberal. 

Politik yang dibangun berbentuk politik dagang sapi, lahirkan politikus opportunis dan pragmatis. Oleh karena itu, cengkeraman kapitalisme, membuat rakyat menderita, mati, dan terhina di tengah kekayaan alam yang melimpah. Para penguasa berkolaborasi dengan para kapital mengamademen UUD ’45 satu per satu demi kepentingan mereka.

Kampanye deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam potensi penyimpangan terhadap tafsir nas-nas syari’at sangat dimungkinkan terjadi. Contohnya adalah upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura’ dan demokrasi, hijrah, thaghut, muslim dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah [2]: 217), serta upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminologi daulah Islam dan khilafah.

Selain itu, umat akan terpecah-belah dengan kategorisasi radikal-moderat, fundamentalis-liberal, Islam ekstrem-Islam rahmatan, Islam garis keras-Islam toleran, dan istilah lainnya yang tidak ada dasar pijakannya dalam Islam.

Hal ini mirip seperti langkah orentalis memecah-belah umat Islam dengan memunculkan istilah “Islam putihan” (berasal dari bahasa arab: muthi’an/taat) dan “Islam abangan” (aba’an/pengikut/awam). Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan.

Maka semestinya mereka tak terjebak propaganda melawan Islam. Termasuk dengan munculnya narasi terorisme yang terus ditujukan untuk memojokkan Islam. Juga narasi lain yang disetting untuk menjauhkan umat dari keinginan kembali hidup dalam sistem Islam. Sebagaimana mainstreaming gagasan moderasi Islam.

Islam tak mungkin tegak dengan baik jika diperjuangkan melalui jalan kekerasan. Karenanya terorisme jelas bukan dari Islam dan bukan jalan menegakkan Islam. Kemunculannya adalah fitnah keji demi menghadang kebangkitan Islam sekaligus melanggengkan agenda penjajahan.

Saatnya umat berjalan bersama para pejuang yang berjalan di atas minhaj dakwah Rasulullah SAW. Yakni mereka yang konsisten melakukan pembinaan tanpa kekerasan, mengukuhkan akidah umat, dan memahamkan mereka dengan syariat Islam secara kaffah. 

Islam adalah sebuah sistem yang mampu memecahkan seluruh persoalan kehidupan. Dengan aturan yang dilahirkan akan dipastikan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawwab


Oleh: Dewi Ratih
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar