Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hukuman Mati, Mengapa Selalu Tuai Polemik?


Topswara.com -- Apakah anda mengenal nama Heri Wirawan? Sebuah nama yang sebenarnya tak ingin kusebut. Pria 36 tahun yang telah berbuat rudapaksa pada 13 santriwati binaannya di Madani Boarding School sejak 2016 hingga 2021. Pun aku tak ingin menyebutnya seorang guru karena perilaku bejatnya tersebut. Bagiku, andai dia punya sembilan nyawa dan dicabut satu persatu, tetap tidak akan cukup untuk membayar aksi kejahatannya. Bayangkan jika korbannya adalah anak anda, pasti anda akan menghujatnya mati-matian.

Kejaksaan Tinggi (kejati) Jawa Barat menuntut HW dengan hukuman mati pada selasa (11/1/2022). Jaksa juga menambahkan sanksi untuk HW berupa membayar denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Serta sanksi non-material berupa pengumuman identitas, identitas terdakwa disebarkan, dan hukuman kebiri kimia. (Tirto.id, 13/01/2022)

Tuntutan ini pun mendapat reaksi beragam, ada yang setuju ada juga yang menolak dan menganggap tidak efektif. Dukungan terhadap tuntutan jaksa antara lain datang dari gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Wakil Ketua MPR RI  Hidayat Nur Wahid dan Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto. Mereka sepakat bahwa apa yang dilakukan HW merupakan kejahatan berat dan pantas dihukum mati hingga menimbulkan efek jera.

Adapun pihak yang tidak setuju antara lain dari Komnas HAM. Melalui komisionernya, Beka Ulung Hapsara menolak hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual. "Pada prinsipnya Komnas HAM menentang hukuman mati untuk semua tindakan kejahatan atau semua tindakan pidana termasuk juga pidana kekerasan seksual, seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan," jelas Beka. (Tribunnews.com, 14/01/2022)

Komnas Perempuan melalui komisionernya Siti Aminah Tardi berpandangan, baik hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Siti menilai HW mesti direhabilitasi agar mampu mengubah cara pandangnya terhadap wanita. Kesadaran HW mesti dibangun, sehingga timbul kesadaran bahwa perbuatannya merugikan korban dan diri sendiri. (Tirto.id, 13/01/2021)

Hukuman mati terus saja menuai polemik bahkan pada kejahatan yang berada di luar nalar, mengapa ini bisa terjadi?

Kebebasan Berpendapat Pada Demokrasi

Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan hukuman mati. Hukuman ini berlaku untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme, perdagangan obat-obatan terlarang dan perlindungan anak.

Adapun HW dikenakan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.  Dari tuntutan tersebut HW memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman mati.

Menurut perspektif HAM, hukuman mati merupakan jenis pidana yang terberat dibandingkan dengan pidana lainnya, karena dengan pidana mati terenggut jiwa manusia untuk mempertahankan hidupnya. Hukuman ini juga melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Maka tak heran jika Komnas HAM ngotot menolak hukuman mati pada HW. Namun bagaimana dengan hak asasi para korban yang telah dilanggar sedemikian rupa? 

Dalam iklim demokrasi semua pendapat akan bertarung dalam rimba wacana. Sementara setiap orang bisa memiliki sudut pandang yang berbeda, hingga polemik senantiasa ada. Ironisnya, polemik ini tak menghasilkan solusi karena terbukti tingkat kriminalitas selalu saja tumbuh subur didalamnya.

Wajarlah demikian karena manusia dengan keterbatasannya tidak akan mampu menjangkau aturan yang terbaik bagi semua orang. Manusia memerlukan standar untuk menilai sesuatu itu baik atau buruk, banar atau salah. Standar itu mestinya datang dari Zat yang Maha Mengetahui yakni Allah SWT. 

Namun, logika ini akan tertolak jika landasannya adalah sekularisme.  Karena sekularisme tidak mengakui campur tangan Tuhan dalam membuat aturan bagi manusia. Jikapun ada aturan Tuhan yang diterapkan, semata karena telah direstui oleh manusia (baca parlemen)

Mengakhiri Polemik

Jika sistem demokrasi sekuler tidak memiliki standar dalam penetapan hukumnya hingga melahirkan polemik, tidak demikian dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Sistem Khilafah yang telah kita kenal memiliki standar baku dalam penetapan hukumnya yaitu Syariah Islam yang digali dari Al-Qur'an, sunah, ijma Shahabat dan qiyas. Semua wacana yang berkembang di masyarakat dibatasi oleh hukum syara, berbagai perspektuf di luar itu tidak ada nilainya dan tidak layak untuk diambil.

Apa yang telah ditetapkan syariah itu lah yang berlaku, tidak ada ruang debat didalamnya. Orang-orang yang beriman harus meyakini bahwa hukum terbaik adalah hukum dari Allah SWT Yang mungkin terjadi adalah perbedaan (ikhtilaf) antar ulama/mazhab. Selama semua berasal dari Islam maka semua layak untuk diterapkan. Namun, tidak mungkin menerapkan hukum yang berbeda pada satu perkara. Maka, kewajiban dari khalifahlah selaku pemimpin untuk mengadopsi salah satu pendapat dan diterapkan sebagai aturan negara.

Ketika khalifah telah menetapkan suatu perkara, maka semua warga negara wajib patuh dengan ketetapan khalifah, sekalipun bertentangan dengan ijtihadnya masing-masing. Polemik tidak perlu terjadi, hukum pun efektif ditegakkan.

Didalam kitab Nidzamul Islam karangan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, terdapat kaidah syarak yang berkaitan dengan hal ini, yakni:

أَمْرُ الْإمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافِ

"Perintah Imam dapat mengatasi perselisihan"

أمْرُ الْإمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا

"Perintah Imam harus dilaksanakan, baik secara lahir maupun bathin"

Allah SWT telah mengutus rasul-Nya untuk membawa risalah sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia. Petunjuk itu ada dihadapan kita, tinggal kita saja apakah mau mengikuti petunjuk itu atau tidak. Jika inginkan kehidupan yang selamat, mendekatlah pada sang pencipta. Taat pada-Nya, terapkan aturannya secara paripurna. Wallahu a'lam bishawab.[]

Oleh: Ersa Rachmawati
Pegiat Literasi

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar