Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dilema Utang: Menambal Anggaran, Merenggut Kedaulatan


Topswara.com -- Tahun 2021 segera berakhir, tetapi masih meninggalkan segudang masalah yang tidak kunjung selesai. Mulai dari karut-marutnya penyelesaian pandemi hingga melonjaknya jumlah utang. Mirisnya, meskipun kondisi utang terbilang mengkhawatirkan, tetapi para punggawa negeri ini terus meniupkan angin segar bahwa rasio utang masih aman. Benarkah demikian? 

Utang luar negeri (ULN) pemerintah hingga akhir kuartal ketiga tahun 2021 mencapai US$423,1 miliar atau sekitar Rp6.008 triliun. Jumlah tersebut naik 3,7 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, utang luar negeri diutamakan untuk mendukung belanja prioritas pemerintah, termasuk upaya mengakselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). (katadata.co.id, 15/11/2021)

Secara rinci utang luar negeri pemerintah digunakan untuk mendukung sektor administrasi, jaminan sosial wajib, pertahanan, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, jasa pendidikan, konstruksi, serta sektor jasa keuangan dan asuransi. Erwin menilai, jumlah tersebut masih terhitung aman karena nyaris seluruh utang luar negeri memiliki tenor jangka panjang. Artinya, tidak perlu dilakukan pengembalian dalam waktu dekat.

Utang Luar Negeri Mengancam Kedaulatan Negara

Utang pemerintah yang kini menembus Rp6000 triliun menjadi alarm bahaya. Bagaimana tidak, di satu sisi pemerintah terus menambah utang, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran akan semakin lemahnya kemampuan bayar utang pemerintah. 

Sebab, tidak hanya jumlah pokoknya saja yang fantastis, bunga utangnya pun sangat besar. Pada APBN 2022 misalnya, bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah sebesar Rp405,9 triliun. Itu artinya sembilan belas persen dari belanja pemerintah pusat habis digunakan untuk membayar bunga utang.

Pemerintah mengklaim bahwa utang tersebut masih aman. Padahal, konsekuensi dari utang luar negeri sangatlah fatal. Utang tersebut akan memporakporandakan ekonomi negara. Apalagi utang berbasis riba, yang acap kali mensyaratkan sejumlah kebijakan terhadap negara yang berutang. Alhasil, kebijakan tersebut membuat negara kreditur mampu mengintervensi negeri ini.

Misalnya saja dengan mengintervensi pengesahan undang-undang ataupun dalam pengelolaan sumber daya alam. Undang-undang yang dihasilkan akhirnya condong pada kepentingan negara pemberi utang demi terealisasinya misi khas negara-negara kapitas yakni 'penjajahan'. Utang semacam ini jelas berbahaya bagi fundamental ekonomi dan berpengaruh besar bagi kedaulatan negara. 

Utang Luar Negeri Bentuk Penjajahan Modern

Sejatinya utang adalah jebakan penjajahan ekonomi bagi negara yang kaya akan SDA dan SDM. Negara kreditur memberikan pinjaman yang tentu saja mengharapkan pengembalian yang lebih besar. Sebab, tidak ada namanya pengorbanan dan ketulusan dalam kamus kapitalisme. Yang ada hanyalah keuntungan. Berapa yang dikeluarkan, berapa pula yang harus dikembalikan.  

Memimpikan perbaikan ekonomi dengan terus menumpuk utang sama halnya dengan bunuh diri. Yang terjadi justru utang terus membengkak, sementara sumber daya alam negeri ini lambat laun berpindah pemilik. Tiada harapan perbaikan ekonomi jika terus bergantung pada sistem kapitalisme. Negeri ini butuh alternatif sistem untuk mengembalikan kemandirian ekonomi dan politik agar segera terbebas dari penjajajan. Sistem alternatif tersebut adalah sistem Islam.

Kedaulatan Tercipta dengan Sistem Islam

Islam adalah agama sempurna yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Aturannya mencakup seluruh aspek, termasuk mengatur sistem ekonomi. Dalam Islam, sumber-sumber pendapatan negara sangat banyak. Semua terhimpun dalam kas negara yakni baitul mal. Sumber-sumber pemasukan tersebut berasal dari jizyah, fai, kharaj, ghanimah, harta tidak bertuan, serta dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Pemasukan tersebut digunakan untuk membiayai administrasi maupun kebutuhan rakyat.

APBN baitul maal cukup besar tanpa harus bergantung pada utang dan pajak. Terlebih utang berbasis riba yang jelas diharamkan dalam Islam. Andaipun harus menarik pajak (dharibah), hal itu hanya terjadi jika kas negara kosong. Padahal di saat yang sama, negara harus memenuhi kebutuhan wajib. Penarikan pajak pun hanya dilakukan kepada kaum Muslim yang mampu saja dan dalam waktu terbatas. Setelah kebutuhan tersebut selesai ditunaikan, maka penarikan pajak harus segera dihentikan.

Pengurusan negara dengan sistem Islam yakni khilafah, akan menjadikan suatu bangsa memiliki kemandirian dan jauh dari intervensi negara lain. Negara pun akan memiliki kewibawaan di kancah internasional karena terbebas dari jeratan utang. Demi kesempurnaan periayahan, sistem ekonomi Islam akan didukung oleh penerapan sistem lainnya.

Problem utang dan krisis kedaulatan hanya mampu diselesaikan dengan menjadikan Islam sebagai solusi. Bergantung solusi kepada kapitalisme, ibarat memupuk penderitaan tiada akhir. Saatnya umat kembali menjadikan Islam sebagai solusi agar tercipta kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat. 

Wallahu a'lam bishshawab


Oleh: Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar