Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Proyek Jalan Tol Dikebut, Ujung-ujungnya Dijual, Siapa Diuntungkan?


Topswara.com -- Kota Yogyakarta memang memiliki daya tarik tersendiri, baik sebagai kota pelajar maupun kota pariwisata. Setelah dibangunnya Yogyakarta Internasional Airport (YIA) yang fenomenal di Kabupaten Kulonprogo. Kini, Yogja akan memiliki jalan tol seperti kota-kota besar lainnya. 

Proyek Jalan Tol Solo- Yogya- YIA Kulonprogo sudah mulai berjalan di seksi I Kartasura - Purwomartani yang dirancang sepanjang 42,3 kilometer. Seperti diketahui jalan bebas hambatan berbayar ini terdiri dari tiga seksi. Adapun untuk seksi dua Purwomartani - Gamping sepanjang 23,4 kilometer dan seksi tiga Gamping - Purworejo sepanjang 30,7 kilometer (kompas.com, 12/9/2021) 

Sementara itu, lahan masyarakat yang terdampak proyek ini tersebar di beberapa kabupaten. Meliputi Karanganyar, Boyolali, Klaten, Sleman dan Kulonprogo.

Kini proses pengerjaan proyek jalan tol ini sedang dikebut. Ditargetkan pada akhir tahun 2022 sudah selesai dan akan mulai dioperasikan secara terbatas pada tahun 2023, serta beroperasi penuh pada tahun 2024. Adanya infrastruktur jalan tol di Yogyakarta pasti akan menimbulkan perubahan yang signifikan bagi kota ini. Namun perubahan tersebut lebih berdampak positif atau negatifkah? 

Pembangunan Infrastruktur dalam Sistem Kapitalis

Pembangunan infrastruktur merupakan program andalan dari pemerintahan Presiden Jokowi. Keinginan untuk menyambungkan pulau - pulau di Indonesia dengan dibangunnya tol baik di darat maupun laut. Pemerintah beralasan bahwa pembangunan tol nantinya dapat mempercepat distribusi barang dan akan menujang pemerataan pembangunan di negeri ini. 

Adanya wacana pembangunan jalan tol yang melewati kota Yogyakarta ini sebenarnya sudah cukup lama. Pada saat itu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X sempat menolak adanya jalan tol di Yogyakarta. Sri Sultan beranggapan bahwa masyarakat Jogja belum begitu membutuhkan keberadaan jalan tol. Namun, lain dulu lain sekarang. Pada akhirnya Gubernur DIY memberikan izin atas pembangunan jalan tol Jogja - Solo sebagai akses menuju bandara baru di Jogja juga penunjang aspek-aspek lainnya. 

Benarkah pembangunan jalan tol yang ada saat ini diperuntukkan demi kepentingan rakyat? Terlebih di tengah pandemi yang masih melanda. 

Jika kita melihat realita hari ini, perusahan berplat merah atau BUMN justru sudah melelang beberapa ruas tol yang telah dibangun kepada investor asing. Padahal, rakyat baru sebentar menikmati adanya jalan tol dengan tarif murah. Kini pemerintah malah menjualnya kepada investor asing yang nantinya akan berdampak pada kenaikan tarif tol. Alih-alih jalan tol dibuat demi kepentingan rakyat, sebaliknya justru semakin membebani rakyat. 

Faktanya jalan tol juga dibuat bukan semata-mata menunjang mobilitas barang, perdagangan dan pariwisata. Ternyata bisa dijadikan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan guna menarik investor asing. 

Bahkan yang terbaru, ada tiga pengelola dana global siap  berinvestasi di beberapa ruas jalan tol di Indonesia. Ketiga investor itu adalah Caise De Depot et Placement du Quebec ( CDPQ), APG Asset Management, dan Abu Dhabi Investments Authority. Mereka ini membeli sejumlah ruas jalan tol milik BUMN (tribunnews.com, 24/7/21) 

Dengan banyaknya jalan tol yang dijual ke perusahaan asing. Maka, bukan tidak mungkin nantinya hal yang sama bisa terjadi pada jalan tol Jogja - Solo yang masih dalam tahap pembangunan. Terlebih program pemerintah untuk menjadikan Yogyakarta sebagai destinasi wisata dunia, akan semakin membuat para investor asing tertarik. 

Dalam pembangunan satu ruas jalan tol sudah pasti memakan biaya yang sangat besar. Apalagi kita tahu bahwa sebagian biaya yang digunakan berasal dari utang. Baru-baru ini perusahaan Waskita, salah satu BUMN yang membangun dan memiliki jalan tol telah menjual salah satu ruas jalan tol senilai 2,4 triliun. Padahal biaya pembuatan jalan tol yang telah dijual tersebut mencapai 10 triliun. Apakah itu untung atau rugi? Kalau untung buat siapa? Kalau rugi kenapa dijual? Kurang lebih begitu pertanyaan yang muncul di masyarakat. 

Terlepas dari untung atau rugi dari penjualan ruas jalan tol itu. Kita dapat melihat bagaimana sistem kapitalis bekerja. Pembangunan fasilitas yang harusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, masih saja dijadikan sebagai alat untuk meraup keuntungan. Rakyat hanya akan menanggung utang-utang yang disebabkan dari pembangunan yang ada. Sistem ini tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat, namun pada sekelompok pengusaha maupun oligarki. 

Masihkah kita akan bertahan dengan sistem yang batil ini? 

Membangun Infrastruktur dengan Sistem Islam

Sudah bukan rahasia lagi jika Islam pernah mewujudkan peradaban yang gemilang. Masa-masa keemasan Islam dengan pembangunan yang maju pada masanya. Bukan hanya pembangunan fisik berupa infrastruktur, tetapi juga manusianya. Kita bisa melihat bagaimana pembangunan di negeri-negeri Islam seperti Badgad, Alexandria yang terkenal dengan keindahan kotannya, Andalusia yang megah dengan berbagai pembangunannya di masa Daulah Islam dimana sistem Islam diterapkan. 

Begitu juga pada saat kekhilafahan Utsmaniyah, yang membangun akses jalan dan kereta ke Mekah-Madinah demi memudahkan umat Islam menunaikan ibadah haji. Pembangunan yang itu ditujukan untuk rakyatnya, terlebih sebagai penunjang aktivitas ibadah bukan demi bisnis semata. 

Pembangunan yang dilakukan oleh Daulah Islam justru menjadi magnet. Islam dijadikan role model untuk pembangunan oleh bangsa-bangsa lain. Begitupun masyarakatnya tidak ada yang sampai dirugikan dengan pembangunan yang dilakukan oleh Daulah Islam. Tidak seperti saat ini yang di setiap ada pembangunan pasti ada pihak yang dirugikan bahkan terzalimi. 

Dari sini kita dapat melihat bagaimana perbedaan pembangunan yang dilakukan dalam sistem Islam dan sistem kapitalis. Dalam sistem Islam negara tidak boleh menjual fasilitas umum rakyat apalagi kepada perusahaan asing. Justru negara harus menjaga semua kepemilikan umum dan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan rakyat, dan paling penting adalah sumber pendanaan untuk pembangunan bukan dari utang yang mengandung riba. Sehingga, dengan adanya pembangunan yang didasarkan pada aturan Islam akan membawa keberkahan bagi negara dan rakyatnya. 

Wallhu a'lam bishawab

Oleh: Rien Ariyanti, S.P.
(Aktivis Muslimah Kulonprogo) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar