Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Marak Prostitusi G4y di Solo, Inikah Akibat Tidak Ada Hukuman bagi Pezina?


Topswara.com -- Prostitusi gay di solo digrebek Polda Jawa Tengah. Direktoral Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah menggerebek tempat pijat plus khusus laki-laki di rumah kos Jalan Pamugaran Utama no 31 Nusukan, Banjarsari, Solo pada Senin 26 September 2021 sore.

Dalam penggerebekan, petugas tim gabungan mengamankan enam orang terapis (tukang pijat) yang ternyata pasangan sesama jenis alias gay.

Informasi yang dihimpun, Senin 27 September 2021 menyebutkan, saat penggerebekan panti pijat yang dikelola oleh tersangka, polisi mendapati praktik pijat yang dilakukan terapis laki-laki berinisial H terhadap tamu laki-laki. Saat dimintai keterangan. H menyebutkan layanan pijat yang diberikan kepada pelanggan antara lain pijat tradisional dan melayani pijat plus.

Direskrimum Polda Jateng Kombes Pol Djuhandhani Raharjo Puro mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan, enam orang laki-laki yang diamankan merupakan pasangan sesama jenis. Diketahui, menjalin hubungan sesama jenis selama sekitar lima tahun. "Enam orang ini, diketahui sering berhubungan seksual di kamar itu," kata Djuhandhani, Senin (27/9/2021).

Atas perbuatannya, H dijerat Pasal 2 Undang Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 296 KUHP tentang memudahkan perbuatan cabul. "Ancaman hukuman 3 sampai 15 tahun pidana penjara," kata Djuhandani. (Okezone.com, 27/9/2021)

Prostitusi gay menandakan tinta merah perjalanan bangsa ini bersama demokrasinya dalam memecahkan persoalan bangsa. Khususnya sengkarut pasangan sesama jenis yang kian mengkhawatirkan.

Mulai dari pondok pesantren, komunitas seni budaya hingga prostitusi berkedok panti pijat ada di negeri ini. Diberi ruang dan terbukti belum ada hukuman yang solutif menghentikan kaum pelangi ini beraksi.

Pada kasus prostitusi gay berkedok panti pijat di Solo ini, hukuman yang diberlakukan adalah perdagangan manusia. Bukan pada aktivitas zina sesama jenis yang mereka lakukan selama lima tahun tanpa sukarela.

Padahal nyata mereka melakukan hubungan sesama jenis dan kegiatan didalam panti pijat tersebut selama lima tahun dengan sukarela. Sungguh aneh apabila pasal yang diterapkan adalah perdagangan manusia dan memudahkan perbuatan cabul.

Berawal dari kesalahan menakar aktivitas kaum gay, berlanjut pada hukuman pada pelaku zina sesama jenis ini tidak tepat. Ujungnya komunitas ini dipastikan kian menggurita dibawah alam demokrasi. Dari pondok pesantren gay, komunitas seni budaya hingga prostitusi.

Manusia benar-benar membutuhkan standar jelas tentang perbuatan zina dan aktivitas seks menyimpang. Sehingga manusia dapat memutuskan benar dan salah pada masalah zina.

Standar jelas dan baku ini tidak ada dalam sistem demokrasi yang nilai kebenaran diukur berdasar suara terbanyak dari manusia.

Standar baku untuk memberantas habis aksi kaum pembangkang Nabi Luth as adalah hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah.

Islam tidak hanya memberi sanksi yang tegas dan rinci akan perbuatan zina. Namun juga menutup pintu-pintu yang menghantarkan kepada perbuatan zina tersebut dengan syariat yang datang melalui wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Rincian hukuman zina mulai dari jilid pada pezina ghayru muhson, rajam pada pezina muhson, hingga dijatuhkan dari bangunan paling tinggi dikotanya pada gay dan seks menyimpang.

Menutup pintu-pintu zina dengan perintah menjaga pandangan, larangan khalwat dan ikhtilat.

Perintah menjaga pandangan dari aurat dan syahwat akan diterapkan oleh negara dengan batasan tontonan publik yang tidak mengundang syahwat dan menjaga aurat. Acara yang ditampilkan pun acara yang menjaga keimanan publik. Jadi negara memiliki peran penting dalam screening media.

Larangan khalwat dan ikhtilat nantinya akan di terapkan oleh negara dengan melarang pacaran, acara campur baur tanpa alasan syar'i dan sebagainya. Melihat fenomena yang ada, masihkah kita harus mempertahankan sistem yang ada?

Waallahu a'lam bishawab

Oleh: Heni Trinawati, S.Si.
(Pengamat sosial)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar