Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Di Tengah Kemelut, Gegabah PTM Tetap Lanjut?


Topswara.com -- Pendidikan Indonesia tampaknya sedang mengalami kondisi yang serba salah. Di satu sisi  karena telah merasakan tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), serta banyaknya orang tua yang resah akibat PJJ berpotensi menjadikan anak menjadi kecanduan gawai. Sementara di sisi lain, gelombang Covid-19 dengan berbagai varian baru mulai bermunculan, sehingga memunculkan terjadi klaster-klaster sekolah. 

Akhirnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim, memutuskan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas tetap dijalankan meski mulai bermunculan klaster sekolah. Berdasarkan data yang dirilis Kemendikbudristek pada Kamis (23/9/2021), ada 1.302 klaster sekolah. Klaster terbanyak di Sekolah Dasar dengan 583 klaster, diikuti PAUD (251), SMP (244), SMA (109), SMK (70), dan SLB (13) (kemdikbud.go.id, 23/09/2021)

Data tersebut telah diklarifikasi oleh Kemendikbudristek sendiri karena data itu bukanlah data sejak PTM diberlakukan. Ternyata itu adalah data perhitungan dari Bulan Juli 2020 hingga saat ini. Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan akibat kesalahan perilisan data tersebut, sepatutnya Kemendikbud untuk mengevaluasi dan memikirkan langkah-langkah preventif dalam program PTM terbatas ini.

Pasalnya, kebijakan ini dinilai gegabah oleh sebagian pengamat pendidikan. Misalnya dalam Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kemunculan klaster sekolah ini merupakan imbas dari keengganan pemerintah mendengar masukan. Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengaku, P2G sudah kerap kali meminta pemerintah untuk menunda PTM (Tirto.id, 24/9/2021).

Tindakan gegabah ini disampaikan Imam dalam mengevaluasi keputusan Mendikbud untuk menjalankan PTM karena ndonesia dinilai belum mencapai standar positivity rate WHO bahwa kondisi daerah aman jika angka penularan sudah di bawah lima persen.  

Memang, PTM dinilai seolah cenderung lebih efektif daripada PJJ, karena PJJ selama ini masih dinilai jauh dari harapan. Hal ini dinyatakan oleh Budi S Asrori, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta, bahwa dampak PPDB yang dilaksanakan sejak 2018 hingga saat ini, ada penurunan capaian nilai siswa akibat pandemi. Ia juga mengakui, tidak semua materi pelajaran dapat diajarkan secara jarak jauh. Pihaknya menemukan maksimal hanya 70 persen materi yang dapat disampaikan (kemendikbud.go.id, 13/07/2021). 

Namun sayang, kebijakan PTM tidak seimbang dengan penyiapan infrasturktur untuk kebutuhan PTM di tengah pandemi. Contohnya, kebijakan mengizinkan PTM dengan syarat vaksinasi siswa dan guru sejumlah 70 persen, sejatinya kurang bisa menjamin semua unsur sekolah dapat terbebas dari penularan virus. Menurut pakar epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko menegaskan, posisi positivity rate di Indonesia masih di angka 8 persen yang melebihi standar positivy rate (bbc.com, 14/09/2021).  Artinya ada kemungkinan penularan yang berbahaya bagi siswa dan guru.

Sehingga, kebijakan PTM di tengah gelombang penularan virus Corona dinilai masih terlalu gegabah. Pemerintah mengambil kebijakan PTM ini karena desakan kondisi yang diciptakannya sendiri. Mengapa? Karena seandainya pemerintah mampu menciptakan mekanisme PJJ yang efektif tentu tidak akan ada desakan ketok palu PTM. 

Tak heran jika publik masih belum mempercayai pemerintah dalam memberikan fasilitas pendidikan yang efektif di tengah pandemi. Karena kebijakan-kebijakan ini lahir dari pemikiran dan sistem demokrasi ala kapitalisme yang lebih memperhitungkan aspek untung rugi tanpa banyak berpikir tentang keselamatan nyawa rakyat. Sehingga wajar, dalam sistem kapitalisme, kebijakan yang ada hanyalah akan menimbulkan maslah baru yang mustahil dapat menyelesaikan problematika rakyat.

Sebaliknya, dalam sistem Islam, seorang khalifah (pemimpin negara) harus mengedapankan prisnsip sebagai ra’in yakni pengurus dan pemelihara, dan junnah atau pelindung. Khalifah dalam sistem Islam akan menerapkan sistem ekonomi islam yang pasti akan menjamin keselamatan rakyat dan terpenuhinya fasilitas pokok rakyat, termasuk dalam bidang kesehatan dan pendidikan. 

Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulumnya akan berasaskan akidah Islamiyah. Tujuan dari pendidikan dalam Islam adalah agar terbentuk kepribadian Islam, penguasaan pemikiran Islam, menguasai ilmu terapan IPTEK, dan memiliki kemampuan tepat guna dan berdaya guna. Sehingga walau pandemi berlangsung, guru akan mudah mengimplementasikan kurikulum tanpa harus terkejar materi akademik semata. Dengan kondisi seperti ini, siswa dan guru akan mudah menerapkan kuriklulum dengan metode belajar PJJ ataupun PTM. 

Metode pembelajaran dalam Islam juga sahih. Penyampaian materi pembelajaran oleh guru dan penerimaan oleh siswa harus terjadi proses berpikir. Guru harus mampu menggambarkan fakta (ilmu yang disampaikan) kepada siswa, yakni proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasil memengaruhi perilaku (muslimahnews.com 8/10/2021). 

Dalam kondisi pandemi, prinsip ini sangat penting diperhatikan. Standar keberhasilan belajar bukanlah nilai, namun perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Hal ini akan menghasilkan dorongan amal super cerdas dalam menghadapi tantangan pandemi, misalnya penemuan berbagai teknologi anti wabah dan sebagainya.

Berbeda dengan metode pembelajaran dalam sistem pendidikan kapitalis sekuler, yang lebih didominasi transfer ilmu. Pendidikan lebih dipandang sebagai kekayaan intelektual semata, bukan alat pembentuk perilaku. Maka, capaian belajar lebih ditentukan nilai-nilai. Akibatnya, jenuh belajar saat pandemi bisa berdampak secara sosial. 

Sehingga, solusi tuntas sistem pendidikan dalam menghadapi wabah agar tetap menghasilkan pembelajaran efektif dan produk pendidikan yang solutif adalah hanya dengan diterapkannya sistem Islam di berbagai bidang. 

Wallahua a'lam bishawwab

Oleh: Ajeng Najwa, S.I.P
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar