Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rosi Riyantari Aktivis Muslimah Garut (1974-2014), Tak Pernah Lelah Berdakwah


Topswara.com -- Baru sebulan melahirkan anak kelima, Rosi Riyantari hendak kembali melanjutkan aktivitas dakwahnya di Garut Selatan namun adiknya segera mencegah. “Mbak, Mbak itu usia sudah 40 tahun jadi sudah beda, bagusnya dua bulan lagi lah boleh beraktivitas,” ujar Rima Patniana, adiknya yang berprofesi sebagai perawat. 

Pasalnya, jaraknya cukup jauh. Yang terjauh sekitar 25 kilometer yakni di Ponpes Miftahul Huda Kp Cibeulendung Desa Cintanagara Kec. Cigeudug. Memang, sekitar 15 kilometer pertama jalannya mulus, tapi sembilan kilometer berikutnya jalannya kecil, sebagian tanah, sebagian batu, menanjak, licin, dan banyak lubang. Tidak ada kendaraan umum yang ke sana, kecuali ojeg motor. 

Sudah hampir tujuh tahun ia bolak balik ke sana dengan mengendarai sepeda motor hingga usia kandungannya tujuh bulan. Berikutnya, ia diantar suaminya sebulan penuh. Tetapi hanya sampai Masjid Al Barakah lima kilometer lagi menuju Ponpes. Untung saja para Muslimah di Cibeulendung rela berjalan kaki menuruni bukit hingga pengajian pun bisa dilangsungkan di masjid yang berlokasi di Kp. Cicayur Lebak  Desa Cintanagara  Kec. Cigeudug.

Memang tidak ada angkutan umum menuju ke sana. Sehingga hanya dengan sepeda motor Rosi menuju ke sana. Ia merupakan salah satu dari beberapa aktivis Muslimah pejuang Islam kaffah di Garut yang dapat mengendarai motor. Ada yang masih bisa membagi waktu tetapi tidak bisa mengendarai motor sehingga tidak bisa ke sana. Naik ojeg juga tidak mungkin, lantaran tidak ada supir ojeg perempuan.

Jadi, bukannya tidak mau menjaga kesehatan. Namun nampaknya warga Perum Abdi Negara 1 No 10 Karangpawitan Garut Timur sudah tidak tahan  untuk segera kembali mengemban dakwah di daerah terpencil di Garut Selatan. Maklumlah, sudah dua bulan, ia tidak membuka pengajian umum bulanan, tidak mengisi pengajian mingguan, dan juga tidak bersilaturahim ke rumah-rumah Muslimah yang ada di sana. Ia juga membayangkan betapa kewalahannya dua aktivis Muslimah dari Garut Kota yang diperbantukan ke sana.

Solusinya? Dengan mendekap buah hati di dada, ia dibonceng suaminya ke Garut Selatan. Namun bayi yang baru berumur sebulan tersebut masuk angin. Maka di kesempatan berikutnya. Ia yang menyetir, suami yang mendekap buah hati mereka. Karena badan Rosi besarnya dua kali lipat suaminya sehingga anak laki-lakinya itu tidak masuk angin. “Tapi istri saya jadi masuk angin. Itu mungkin karena kondisinya kurang fit karena baru melahirkan,” ungkap Maman Abdullah.

Sakit tidak dirasa karena sambutan warga terhadap dakwah luar biasa. Masjid Al-Barakah Kp. Cicayur Lebak  Desa Cintanagara  Kec. Cigeudug, yang berkapasitas 200 orang tersebut selalu penuh diisi ibu-ibu dan remaja putri yang mengikuti pengajian bulanan (open house) yang diasuhnya.  

Kebanyakan warga yang mendatangi lokasi dengan berjalan kaki selama hampir satu jam. Latar belakang sebagian mereka adalah ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya menamatkan sekolah dasar. Dan dengan kehidupan yang banyak kekurangan tapi mempunyai semangat yang tinggi untuk menghadiri setiap kegiatan yang digelar komunitas Muslimah pejuang Islam kaffah. 

Bahkan sebagian yang telah dibina secara intensif adalah pekerja harian di perkebunan dengan upah per hari kurang dari harga sekilo beras. Subhanallah, ternyata hanya dengan kesadaran terhadap Islam, mereka rela mengorbankan waktu untuk bekerja dan rupiah yang mereka dapatkan untuk menghadiri acara insidental yang sering diadakan di Garut kota. “Sehingga inilah yang membuat saya merasa tidak pernah lelah, meskipun dalam satu pekan sampai 2-3 kali ke sana,” ungkap Maman menirukan ucapan Rosi.

Bayar iuran bulanan pun, Rosi selalu ingin lebih besar. Laporan iuran anggota dan binaan di Garut Selatan selalu beres, full seratus persen. “Karena sebenarnya, dananya ditalangin sama istri saya. Apakah mereka bayar atau tidak itu belakangan. Karena memang di Garsel, di sisi ekonomi banyak yang kurang. Jadi kalau infak juga tidak terlalu gede lah sehingga bisa ditalangin dulu,” beber lelaki yang menikahi Rosi pada 1997. 

Meskipun amanah dakwahnya di Garut Selatan, Rosi juga mengisi pembinaan sepekan sekali di dekat rumahnya. Serta diamanahi sebagai tim kontak tokoh Muslimah di Garut. “Kontak-kontak tokoh Muslimah di berbagai tempat di Garut. Mungkin karena dia relatif paling bisa naik motor di antara yang lain, dia jadi andalan juga,” ujar Maman yang alumnus Bahasa Arab, Unpad. 

Dakwah wanita yang pertama kali kenal ide sebuah kelompok Islam kaffah pada 1994 di Garut Selatan dimulai pasca Konferensi Khilafah Internasional (KKI) pada 2007 Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Sepulang mengikuti acara yang dihadiri sekitar seratus ribu peserta tersebut, Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Ustadz Dindin Sholahuddin dan beberapa bapak-bapak warga Garut Selatan lainnya ingin dibina secara intensif. Ternyata, istri dan keluarga perempuannya pun tertarik juga. 

Wanita alumnus Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unpad tersebut dan dua teman lainnya yang bisa mengendarai motor membina Muslimah Garut Selatan. “Istri saya mengisi pembinaan ke Miftahul Huda. Karena bukan hanya pimpinannya, istrinya, anak-anaknya, menantunya mengaji semua.  Istri saya itu mengisi istri pengasuh, anaknya dan juga menantunya disatuin. Sampai usia kandungan 8 bulan. Sejak usia kandungan 7 bulan saya cegah, ‘sudahlah jangan ke sana dulu, kan jalannya jelek’,” aku Maman. 

Perempuan kelahiran Pekalongan, 3 Mei 1974 memang sibuk berdakwah, tetapi perhatiannya terhadap keluarga tetap luar biasa. “Karakter dia sebagai aktivis Muslimah Islam kaffah dan orang Jawa jadi saya merasakan bahwa istri saya itu begitu pengabdian kepada suami. Cintanya secara penuh,” ungkap suplayer bata ke berbagai kota termasuk Bandung dan Jakarta.

Setiap ke luar kota, Maman mengaku dirinya tidak pernah berinisiatif membelikan oleh-oleh untuk ibu bapaknya. Tapi Rosi selalu berinisiatif membelikan kue, martabak, dll untuk kedua mertuanya itu. Kepada anak-anak begitu perhatian. Makannya dia siapkan. Pakaiannya selalu disetrika semua. Padahal Maman sudah bilang jangan disetrika semua. “Kalau saya biasa baju tidak mau disetrika kecuali kalau ke acara resmi,” kata Maman. 

Rosi  juga kerap mengantar dengan sepeda motor Zidny Amhar al-Maghfur (kelas 4 MI Alkhoiriyyah) berangkat sekolah, padahal bisa jalan kaki. Zarra Ainy al-Maghfur (Kelas 2 SMP HSG Khairul Ummah Tanjungsari Sumedang [75 Km dari rumah]), juga diantar pakai motor oleh ibunya padahal bisa naik bus umum. 

“Karena mereka memang selalu minta diantar, padahal saya sudah larang, maksudnya biar mereka mandiri, tetapi istri tidak tegaan,” ujarnya. Untung saja, Zaky Ramadhan al-Maghfur (kelas 2 SMA Boarding School Intenasional Jagat Arsy, BSD Tangerang Selatan) akhirnya mau naik bus meskipun tadinya minta diantar juga. 

Perhatiannya juga tercurah pada Zaidy Zuhud al-Maghfur ( 4 tahun) dan Zaim Mustaqim al-Maghfur (2 bulan). Meski sedang tidur, Rosi biasanya langsung bangun dan segera menyusui Zaim yang menangis karena lapar. Sehingga tidak sempat membangunkan Maman yang sedang terlelap. Tapi pada 10 Juni 2014 sekitar pukul 3.30 WIB, Maman terbangun lebih dulu. Merasa aneh, mengapa Rosi belum juga bangun.

Maman mengira mungkin karena kecapean dan memang flunya juga belum sembuh sepulang dari Garut Selatan tiga hari sebelumnya. Maka dengan lembut Maman membangunkan istrinya yang sejak Mei lalu kembali rutin ke Garut Selatan dua sampai tiga kali dalam sepekan. “Saya bangunkan ternyata tidak ada,” ungkap Maman menceritakan kepulangan istrinya ke rahmatullah. 

Rosi pun dimakamkan di dekat rumahnya, tepatnya di belakang rumah orang tua Maman sebelum zhuhur hari itu juga. Dengan diiringi isak tangis dan doa dari keluarga, tetangga dan juga jamaah pengajiannya. Inna Lillahi wa Inna Ilahi Raji’un. Yaa Allah, ampunilah semua dosanya, dan terimalah amal shalihnya, dan tempatkanlah ia di surga-Mu. Aamiin.[] 

Penulis: Joko Prasetyo

Dimuat di rubrik SOSOK Tabloid Media Umat Edisi 131 (awal Juli 2014)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar