Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Masalah Guru Honorer, Potret Buruknya Biaya Pendidikan


Topswara.com -- Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ia adalah orang yang senantiasa bersabar mendidik anak muridnya. Bayangkan saja satu guru harus menghadapi puluhan anak didik bahkan ratusan dengan kepribadian yang berbeda-beda. Karena jasanya banyak ratusan hingga jutaan orang terbebas dari buta literasi. Ada pepatah yang mengatakan, “Jika sekarang kita bisa membaca tulisan ini, maka orang yang berjasa itu adalah guru.”

Sesungguhnya kedudukan seorang guru sangatlah mulia. Ia adalah pendidik, dan pengajar yang senantiasa mengajarkan kebaikan. Allah SWT berfirman :
 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu oengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (TQS. Al-Mujadalah [58]:11)

Artinya kedudukan seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan sangatlah mulia. Apalagi seorang guru yang mengajarkan ilmu akhirat. Guru adalah garda terdepan yang senantiasa berjuang mendidik para generasi bangsa.

Namun, saat ini ada seorang guru yang mendapat perhatian. Yakni guru honorer atau guru tidak tetap yang belum berstatus minimal sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) dan digaji per jam pelajaran. Bahkan guru honorer ada yang digaji secara sukarela. Guru honorer dan guru PNS hanyalah berbeda karena status. 
Tapi selayaknya honor atau ASN tetaplah mereka adalah seorang guru yang sama-sama berjasa hanya saja karena status ini yang membedakan upah yang diberikan kepada masing-masing guru tersebut. 

Angin segar para honorer pun muncul tatkala mencuat pernyataan Nadiem Makarim selaku Mentri Pendidikan. Kesenjangan taraf hidup antara guru PNS dan honorer dalam sistem kapitalisme begitu terasa. Sementara tuntutan kerja dan jam kerja sama. Ketidakadilan demi ketidakadilan terus dipertontonkan rezim ini setiap tahunnya. Sikap dikriminatif mulai dari tunjangan gaji pokok hingga tunjangan hari raya yang nampak seperti langit dan bumi.

Walaupun mengajar bukan untuk mengejar materi tapi para guru juga memiliki keluarga yang harus mereka nafkahi. Dengan bayaran honorer di bawah UMR di era yang serba mahal, mampukah menutupi segala kebutuhan primer ?

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya. 

"Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru itu," ujar Irwan kepada wartawan, Minggu (19/9/2021).

Irwan menyayangkan pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya.

Dia pun mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terhadap dedikasi para guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade).

Kesejahteraan Tenaga Pengajar Dijamin dalam Sistem Islam

Jaminan kesejahteraan bagi para pendidik sudah jelas disampaikan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam hadis yang mulia, di antaranya dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: 
“Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang aku (Allah) musuhi (perangi) pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah (memberi gaji) atas namaKu lalu mengingkarinya, seseorang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya), dan seseorang yang memperkerjakan pekerja itu kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.”  (HR. Bukhari).

Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sistem pendidikan Islam pernah tercatat dalam sejarah kegemilangannya, sangat memuliakan posisi guru. Kesejahteraan guru sangat diperhatikan. Sangat masyhur bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji pengajar adalah 15 dinar/bulan atau sekitar Rp 36.350.250,- ( 1 dinar = 4,25 gram, jika 1 gram = Rp 570.200).

Pada masa pemerintahan Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru malah lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar. Artinya gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp 26.656.850,- sampai Rp 96.934.000,-.

Wajar jika para guru menjadi bersemangat dan fokus dalam mendidik generasi tanpa disibukkan mencari tambahan penghasilan di luar mengajar seperti para guru honorer saat ini. 

Yang paling penting, posisi guru dalam sistem Islam semuanya adalah sebagai aparatur negara (muwazif daulah). Tidak ada pembedaan status guru negeri dan honorer. Semua guru dimuliakan dalam sistem Islam karena perannya yang begitu strategis.

Bertolak belakang dengan kapitalisme yang menyerahkan pendidikan pada pasar bebas (korporasi), dalam Islam negara harus berperan penuh dalam urusan negara. Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. 

Dalam masalah kepegawaian termasuk guru, khalifah berkewajiban memberi upah yang layak sehingga bisa mengerjakan tugas yang diamanahkan kepadanya. “Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” 
(HR. Abu Daud).

Untuk merealisasikan terwujudnya kesejahteraan guru, maka Islam menyelesaikan permasalahannya yaitu pertama, pendidikan merupakan kebutuhan dasar warga menjadi tanggung jawab negara, baik sarana prasarana, pengelolaan, penggajian guru dan karyawan. Kalau swasta warga membantu negara dalam pendidikan. Maka sekadar membangun gedung saja, kemudian pengelolaan dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab negara. Warga diperbolehkan membantu membangun dan mengelolanya sendiri, maka harus menenuhi standar negara termasuk penggajiannya.

Kedua, semua guru digaji oleh negara atau memenuhi standar penggajian negara (jika pendidikan dikelola swasta).

Ketiga, guru dalam Islam dan negara khilafah memilik posisi yang penting dan mulia. Karena guru dengan ilmunya memiliki tugas untuk mengajar, mendidik, dan mencetak kader atau generasi yang harus memiliki kemampuan dan cerdas akademik, keterampilan life skill, dan lebih penting mencetak generasi berkepribadian Islam. Sehingga kondisi negara 10 tahun mendatang bisa diprediksi dengan kualitas output pendidikannya.

Keempat, telah terbukti secara empirik dan historis, bahwa sejarah telah mencatat tentang gaji guru dalam naungan khilafah yang menerapkan syari’at Islam secara total. Guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya.

Bagaimana dengan pembiayaannya? Ini pentingnya integrasi sistem pendidikan dengan sistem lain yang kompatibel. Sistem pendidikan Islam hanya kompatibel dengan sistem ekonomi Islam sebagai penyokong dana.

Gaji untuk guru diambil dari baitul maal. Oleh karena itu, khilafah memiliki klasifikasi harta-harta negara meliputi: pertama, anfal, ghanimah, fa’i, dan khumus; kedua, Al Kharaj; ketiga, Al Jizyah; keempat, macam-macam harta milik umum; kelima, pemilikan negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; keenam, Al Usyur; ketujuh, harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; kedelapan, khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; kesembilan, harta yang tidak ada pewarisnya; kesepuluh, harta orang yang murtad; kesebelas, zakat; keduabelas, pajak. (Sistem Keuangan Di Dalam Islam, Zallum).

‌Sedangkan penjaminan mekanisme ekonomi Islam yang dijalankan ada pada sistem pemerintahan yang dianut, yakni sistem pemerintahan Islam (khilafah). Itulah mengapa Islam tidak bisa diambil hanya sebagian hukum saja, tapi harus kaffah (menyeluruh). (Kompasiana.com, 23/06/2013).

Jadi, hanya dengan syariat Islam yang diterapkan oleh negara khilafah saja, orang berilmu (guru, ulama’) sejahtera, dan ilmu serta karyanya dihargai dengan mahal. Mari bersama-sama berjuang mewujudkannya.

Allahu a’lam bishawwab

Oleh: Siti Maryam
(Pemerhati Masalah Pendidikan)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar