Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ironi Hobi Impor di Tengah Cita-cita Swasembada Pangan


Topswara.com -- Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki SDA berlimpah. Di dukung pula dengan lahan dan tanah yang subur sehingga salah satu sektor yang berkembang pesat di Indonesia adalah sektor pertanian. Hingga saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris di dunia. Hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh dan dibudidayakan dengan baik di Indonesia.

Hal ini merupakan potensi besar yang harusnya mampu dimaksimalkan oleh pemerintah sebagai pengelola negara. Dengan pengelolaan yang benar, niscaya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri bahkan juga luar negeri. Sebagaimana yang selalu dicita-citakan sejak masa pemerintahan order baru. 

Sayangnya, cita-cita swasembada pangan yang selalu digaungkan, tidak sejalan dengan banyak kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Faktanya, pemerintah sering melakukan impor komoditi pangan dari luar negeri, padahal jumlah produksi dalam negeri sebenarnya mencukupi. Kebijakan impor ini sering dilakukan pada saat petani pribumi sedang panen raya. Akibatnya, banyak petani merugi karena harga komoditi hasil panen yang anjlok. 

Sangat miris dan ironis, di negeri yang katanya negara agraris namun banyak petaninya merugi. Taraf kehidupan mereka tergolong rendah dan kurang mendapat perhatian pemerintah. Padahal pertanian adalah salah satu pilar utama bagi ketahanan pangan negara.

Seperti yang terjadi belakangan ini, pemerintah melakukan kebijakan impor cabai padahal di dalam negeri stok cabai sedang berlimpah. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid menjelaskan harga cabai merah keriting anjlok sampai menyentuh Rp7.000 per kilogram (kg). Sementara itu cabai rawit merah berkisar Rp8.000 per kg di tingkat petani.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menjelaskan bahwa penurunan harga terjadi akibat pergeseran musim tanam yang memicu harga melambung tinggi pada Mei dan turun pada Agustus. “Penurunan karena sedang puncak panen. Pada Mei sempat terjadi kenaikan cukup signifikan terutama cabai rawit karena pergeseran masa tanam. Kami sudah prediksikan harga turun pada Agustus karena sentra produksi mulai panen,” Papar Eko Nurwan (Bisnis.com, 31/08/2021). 

Menanggapi hal ini, pemerintah menyarankan pengaturan kembali pola tanam agar anjloknya harga tidak kembali terulang. Namun disisi lain ternyata pemerintahan menambah penderitaan petani dengan kebijakan impor cabai. Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik), impor cabai sepanjang semester I, 2021 sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai 59,47 juta dolar AS.  Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai 34,38 juta dolar AS (KarawangPost.com, 28/08/2021).

Fakta impor ini jelas membuat rakyat merasa terkhianati. Di Tengah situasi pandemi Covid-19 yang kian mencekik, kebijakan-kebijakan pemerintah bukannya berpihak pada kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat khususnya petani semakin tercekik.

Parahnya, dibukanya kran impor ditengah panen raya bukan kali ini saja terjadi. Pada awal tahun 2021, pemerintah juga mencanangkan impor beras besar-besaran bertepatan dengan terjadinya panen raya.  Kementerian Pertanian menyebutkan Indonesia harusnya mampu berswasembada beras sejak tahun 2016. Kebijakan impor lainnya yang menuai kritik adalah izin impor jagung sekitar 172 ribu ton. 

Kementerian Pertanian pun sempat melayangkan protes karena importasi dilakukan menjelang panen raya jagung. Namun kebijakan tidak pernah berubah dan terus berulang tiap tahunnya. Hal seperti ini sudah layaknya tradisi. Pemerintah jelas tidak berpihak pada petani pribumi dan slogan menuju swasembada pangan hanya isapan jempol belaka.

Kondisi seperti ini sebenarnya tidak mengherankan. Di sistem demokrasi kapitalis seperti sekarang, tidak perlu ditanya lagi siapakah yang diuntungkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan rakyat. Tentu yang diuntungkan adalah segelintir pihak penguasa dan pemilik modal besar yang melakukan transaksi ekonomi hanya demi menambah kekayaan diri sendiri. 

Kesejahteraan rakyat tidak akan menjadi pertimbangan utama, malahan bisa jadi tidak dipertimbangkan sama sekali. Di dalam sistem kapitalis, penguasa bermesraan dengan para pengusaha sehingga kebanyakan kebijakan pemerintah akan dipengaruhi oleh para pengusaha tersebut. Kondisi seperti ini akan terus terjadi selama sistem demokrasi kapitalis tetap diterapkan. Pada akhirnya, rakyat makin menderita dan negara berada diambang kehancuran.  

Semua ini tidak akan terjadi jika sistem pengelolaan negara memakai sistem Islam. Dalam sistem Islam, penguasa benar-benar memperhatikan pengurusan urusan umat sebab kepemimpinannya didasarkan pada iman dan rasa takut kepada Allah SWT.

Segala kebijakan yang dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan umat. Konsep tata kelola pangan yang sempurna hanya bisa terwujud ketika penguasa mengamalkan sabda Rasulullah SAW: “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW kepada para penguasa saat mengurusi urusan rakyatnya sehingga proyeksi ketahanan pangan dan ekonomi dapat terwujud. Hal ini bisa terwujud  ketika sistem Islam diterapkan dalam tatanan negara. Islam akan menyebarkan cahaya kesejahteraannya ke seluruh dunia menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Dinda Kusuma
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar