Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Kedaulatan Pangan dalam Demokrasi



Topswara.com-- Indonesia dikenal dan dipandang sebagai negara agraris. Negara yang memiliki sumber daya alam dan hasil pangan yang melimpah. Namun hasil tersebut malah membuat rakyat sengsara. Bagaimana bisa? Negara yang memiliki sumber daya alam melebihi negara lain, bahkan tanah yang subur malah membuat rakyatnya sengsara? 

Terhitung mulai tahun 1984, pembangunan pertanian Indonesia masih mengandalkan impor demi memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung impor cabai dilakukan pemerintah pada tahun ini hingga membuat petani dalam negeri merasakan dampak buruknya. 

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta, Hempri Suyatna sangat menyayangkan adanya kebijakan impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemic. 

Kebijakan impor direspon oleh Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet. Ketika melihat ada petani cabai yang mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya dan kemarahan petani tersebut diduga karena harga cabai di pasaran turun. Disinilah pemerintah seharusnya hadir untuk melindung petani Indonesia. 

Impor cabai tahun 2021 pada semester I sebesar 27,851 ton. Impor naik 54 persen dengan realisasi impor pada semester I-2020 hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta. 

Pemerintah perlu melihat kembali kebijakan pangan yang menjadi landasan kerja era Kabinet Indonesia Maju. Seperti diketahui kebijakan pangan yang tertuang dalam nawacita kedaulatan pangan muaranya adalah peningkatan kesejahteraan para petani. 

Indonesia memiliki amanat undang-undang untuk mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2012. Kedaulatan pangan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, menyediakan pangan yang beraneka ragam, aman, bermutu dan bergizi. 

Selain itu, ternyata terbentuk badan baru per tanggal 29 Juli 2021 dengan nama Badan Pangan Nasional. Badan ini diresmikan melalui Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, fokus untuk penanganan pangan. 

Tugas Badan Pangan Nasional di antaranya koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan, pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan. 

Setidaknya ada 9 pangan yang menjadi lingkup pemantauan, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional, yakni: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. 

Dalam pembentukan badan ini sebenarnya terdapat ketidaksesuaian, seperti kita ketahui fungsi adanya badan tersebut hampir sama dengan beberapa kementerian. 

Berawal dari pengelolaan badan yang sudah carut marut hingga menimbulkan kebijakan yang tidak sesuai ditengah masyarakat, akhirnya rakyat yang menjadi korban akibat dari kepentingan penguasa. 

Jika Presiden Jokowi sedang melakukan perampingan lembaga, kenapa malah membuat beberapa badan nasional hingga menghasilkan kebijakan yang tumpang tindih salah satunya adalah impor? 

Pengelolaan Badan Nasional Dalam Demokrasi

Pembentukan Badan Pangan Nasional dianggap memberikan angin segar untuk petani, karena diharapkan mampu menjaga kestabilan harga pangan. 
Salah satunya adalah Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). 

Koordinator KRKP, Said Abdullah dalam laman tirto.id (bn) menyatakan bahwa berharap Badan Pangan Nasional memiliki kekuatan dan bebas dari intervensi pihak lain dalam membuat kebijakan terlebih keberadaannya langsung dibawah presiden. 

Bagi KRKP sendiri, terdapat perbedaan dasar UU penting karena pembentukan badan ini dikhawatirkan sebagai bagian dari filosofi investasi dan pasar dalam UU Cipta Kerja. Dengan demikian, badan ini dibuat untuk membuat produksi dalam negeri dan impor menjadi setara padahal filosofi UU pangan adalah untuk menciptakan kemandirian pangan.

Kedua, polemik data yang tidak dibereskan. Badan Pangan Nasional dapat mengembangkan sistem informasi pangan. Akan tetapi aturan tidak secara eksplisit dikatakan bahwa badan pangan ini menjadi pusat dari data tunggal dan dikelola melalui sistem informasi pangan.

Ketiga, KRKP melihat ada reduksi makna pangan. Perpres memang mengatur pangan dan gizi, tetapi klausul hanya dibatasi pada 9 pangan. 

Pembentukan sebuah badan nasional seharusnya memperhatikan fungsi dari keberadaan badan tersebut nantinya, tugas serta wewenang dari badan tersebut. Diawali dari ketidakjelasan bahkan tumpang tindih dengan keberadaan badan lainnya membuat pengelolaan atau pembentukan badan nasional seakan hal umrah terjadi. 

Begitu pula dengan orang-orang yang mengisi dalam badan tersebut, tidak sesuai dengan bidangnya masing-masing. Mayoritas bahkan memiliki hubungan dengan penguasa agar bisa lebih mudah untuk menduduki sebuah jabatan. 

Jika sudah salah dalam pengelolaan sebuah badan nasional, bagaimana bisa membuat kebijakan yang akan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat? Sedangkan para pemangku jabatannya saja tidak sesuai dengan bidangnya? 

Sistem yang menaungi semua badan didalamnya seharusnya menjadi hal yang harus diperhatikan. Pembuatan badan nasional untuk menghasilkan kebijakan dalam demokrasi sejatinya tidak memberikan dampak yang positif. Berbagai hal diantaranya pembagian jabatan ditengah para petingginya menjadikan alasan terkuat kenapa badan tersebut dibentuk. 

Rezim demokrasi membuktikan bahwa orang-orang didalamnya dibentuk hanya untuk kepentingan diri sendiri bukan orang lain. Rakyat menjadi korban akibat ketidakjelasan dari kebijakan yang ada. Tujuan dan fungsi awal sebuah badan dibentuk seakan kenicsayaan bagi rakyat, tidak ada kesesuaian antara tujuan awal dan setelah pelaksanaanya. 

Begitu pun dengan pembentukan Badan Pangan Nasional, mulanya dibentuk untuk mengendalikan harga serta bisa bekerja sama dengan kementan dan kemendag tapi realitanya tidak ada yang mendukung keinginan rakyat terutama bagi petani.

Kebijakan impor ditengah pandemik menjadi bukti pemerintah belum tentu mengadakan kebijakan untuk rakyat. Jika salah satu alasannya untuk mengendalikan harga dipasaran bukankah harusnya bisa lebih fokus memberdayakan petani dalam negeri. 

Terkait bagaimana penanaman, pengelolaan, serta aktifiras pasca panen. Tapi sejauh ini yang dilakukan pemerintah hanya terus menerus membuat kebijakan yang menurut petani aneh dan tidak masuk akal. 

Saat ini petani harus berperang sendiri dengan kebijakan yang ada. Belum lagi melawan arus perdagangan bebas yang marak di pasar Indonesia, membuat mereka tidak hanya memikikan bagaimana produksi tanaman mereka tapi juga bagaimana hasil tani mereka bisa laku dipasaran dan tidak banting harga. 

Kebijakan Islam Seharusnya Hadir Di Tengah Masyarakat

Adanya kebijakan yang tidak sesuai ditengah masyarakat, harusnya menjadi sinyal kesadaran, bahwa saat ini petani bukan prioritas utama untuk penguasa. Apalagi adanya pembentukan badan baru, patut dipertanyakan keberadaannya. 

Apakah negara selama ini mampu menjamin kebijakan yang ada tidak merugikan rakyat? Atau hanya sekedar menetapkan kebijakan saja ? 

Negara juga harus memastikan kebutuhan apa saja yang diperlukan oleh rakyat. Dalam hal ini Islam memberikan solusi serta gambaran bagaimana islam jika diterapkan dalam ruang lingkup negara. 

Islam menjamin setiap kebutuhan seluruh rakyat negara Islam, sekaligus memastikan bahwa kebutuhan setiap individu benar-benar telah terpenuhi dengan sempurna tanpa kurang.

Mulai dari kebutuhan primer, seperti sandang, papan, dan pangan hingga kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Tidak hanya itu, negara Islam juga menjamin kebutuhan rakyatnya akan Pendidikan, Kesehatan dan keamanan dengan sebaik-baiknya. Semuanya diurus dan disediakan oleh khalifah sebagai pemegang amanat.

Kewajiban rakyat untuk melakukan control (muhasabah) serta menyampaikan pengaduan (syakwa) kepada khalifah. Muhasabah ini dilakukan, jika kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh khalifah di atas tidak dilaksanakan. Sedangkan syakwa dilakukan jika sesuatu yang menimpa rakyat, akibat dari kezaliman yang mereka derita. 

Berlakunya kebijakan ekonomi yang ideal ditengah negara islam harus dipastikan dua hal, yakni: 

1. Produksi: untuk memastikan agar produksi domestik negara islam tinggi, dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Semua diatur sebagaimana hukum syara’

Pengaturannnya meliputi sumber didalamnya antara lain bidang pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Negara memastikan semua itu menghasillan barang dan jasa. 

Sehingga bisa menjamin produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat titik itulah mengapa negara menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian, atau membiarkan lahan pertanian tidak dikelola lebih dari 3 tahun.

Negara juga melarang praktik riba dalam perdagangan karena bisa merusak perekonomian. Negara juga memastikan, industri kepemilikan umum tidak boleh dikelola oleh swasta baik domestik maupun asing titik ini juga untuk menjamin kemakmuran rakyatnya.

2. Distribusi, sebagai bentuk pertimbangan untuk terjamin dan terpenuhinya kebutuhan secara merata.

Maka disinilah tinggal satu yang harus dipastikan oleh negara, yaitu terdistribusikan nya barang dan jasa tersebut dengan baik di tengah-tengah masyarakat, sehingga tiap kepala bisa dipastikan telah terpenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.

Begitulah cara negara Islam menyejahterakan rakyatnya, dengan mekanisme ekonomi termasuk sistem dan kebijakan ekonomi yang ideal.
Kinerja tersebut tidak terlepas dari landasan lahirnya pengaturan dalam sebuah negara. Islam dengan aqidah dalam landasan bernegara dan hukum akan menjamin dan bertanggung jawab penuh atas dorongan iman.[]

Oleh: Sonia Padilah Riski, S.P.
Aktivis Dakwah Muslimah

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar