Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

The Power of Thinking


Topswara.com -- Jika mendengar kata the power of thinking, tentu kita akan mengerti yang dimaksud adalah kekuatan dari berpikir. Berbicara soal berpikir, pastinya akan bergelanyut beberapa pertanyaan berikut. Untuk apa manusia berpikir? Bagaimana mana manusia berpikiran?

Ingatkah nasihat Buya Hamka yang cukup terkenal. Yaitu, "kalau hidup sekadar hidup, kalau kera di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja." Quotes Buya Hamka cukup menyadarkan kita tentang dua hal. Pertama, hal  yang membedakan antara manusia dengan hewan yang paling menonjol adalah aktivitas berpikir. Ya, bukan? 

Karena kalau membahas otak, manusia dan hewan sama-sama memiliki otak sebagai pusat sistem saraf dalam tubuhnya. Hanya saja, yang membedakan manusia dan hewan adalah akal. Manusia dianugerahi akal digunakan untuk berpikir. 

Kedua, soal ibadah. Segala bentuk aktivitas yang dilakukan manusia terikat dengan hukum syara. Maka, aktivitas manusia bisa bernilai ibadah, jika ia melakukan hal yang diperintahkan Allah SWT, seperti hal yang wajib dan sunah.  Begitu juga sebaliknya, akan bernilai maksiat, seumpama ia melanggar perintah Allah SWT. Yaitu, melakukan perbuatan yang diharamkan. 

Sebagaimana manusia makan, hewan juga makan. Sama-sama makan, tetapi manusia bisa mendapat pahala atau dosa ketika ia makan, tetapi hewan tidak. Karena aktivitas manusia terikat dengan syariat dan manusia setelah baligh terkena taklif hukum (terbebani hukum syara).

Melanjutkan pembahasan the power of thinking, apa sebenarnya maksudnya? Salah satu tujuan manusia berpikir adalah untuk mendapatkan kepuasan akal. Bisa jadi untuk mendapatkan kebenaran dan jawaban dari hal yang ia pikirkan. 

Bagaimana manusia berpikir? Tentunya dengan mengindra fakta dan dikaitkan dengan informasi yang terekam di dalam ingatannya. Sebagai seorang Muslim yang segala aktivitas berpikir dan berbuatnya terikat dengan syariat. Pastinya akan berpikir berlandaskan iman dan ketakwaan. Ia berpikir berlandaskan bagaimana Islam memandang. 

Nah, the power of thinking yang kita bahas tersebut bermakna sebagai berikut. Pertama, kekuatan berpikir yang didasari dengan keimanan yang mendalam akan mendorong manusia untuk senantiasa berbuat dan berlaku sesuai dengan perintah Allah SWT. Tidak hanya itu, tetapi the powet of thinking ini bisa menahan dan mencegah manusia untuk berbuat zalim, hina, dan nista yang dilarang oleh syariat. 

Luar biasa kan, kekuatan the power of thinking? Kedua, the power of thinking pun mampu membuat manusia mulia dan tentunya tidak disamakan dengan hewan. Ingatkah kita dengan surat Al-Araf ayat 179. 

"Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." (TQS. Al-Araf: 179)

Dalam ayat di atas dijelaskan, manusia yang tidak menggunakan hati, mata, telinganya untuk berpikir, mereka lebih sesat dari binatang ternak. Berpikir yang dimaksud adalah berpikir dalam rangka mengontrol dirinya agar senantiasa terdorong melakukan perintah Allah SWT dan menahan diri agar tidak melanggar syariat Islam.

Ketiga, the power of thinking, menjadikan manusia seorang pemimpin. Yaitu, mampu memimpin dirinya dan yang ada di sekelilingnya untuk senantiasa taat kepada Sang Penguasa Alam Allah SWT. 

Sebagaimana yang ada dalam surat Al-Baqarah ayat 30 di bawah ini.

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (TQS. Al-Baqarah: 30)

Dalam ayat di situ, manusia ditunjuk sebagai khalifah fil ard (khalifah di bumi) atau sebagai pemimpin di bumi. Oleh karenanya, tidak mungkin seorang pemimpin mampu memimpin jika ia tak memiliki kekuatan berpikir. 

Karena kekuatan berpikir inilah hakikinya yang mendorong dan mempengaruhi diri dan di sekitarnya untuk senantiasa berjalan dalam ketakwaan.

Akibat Tidak Punya The Power of Thinking

Meneliti kondisi manusia sekarang banyak yang tersesat karena pola pikirnya. Sebagaimana, gambaran generasi sekarang yang over thinking, yaitu berlebihan ketika memikirkan sesuatu, tetapi tidak proporsional dan tidak pada tempatnya. Sehingga, malah membuat stres dirinya sendiri.

Tentunya over thinking dan the power of thinking berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, the power of thinking ini adalah sebagai berikut. Pertama, kekuatan berpikir yang mampu menjaga pola pikirnya senantiasa berada dalam koridor Islam. 

Kedua, pola pikir yang enggak mudah loyo dan enggak mudah baperan. Karena perasaan yang ia miliki ia kendalikan di bawah pola pikirnya. Bukan sebaliknya, perasaan yang dominan mengontrol dirinya, sehingga orang-orang yang perasaan lebih dominan, biasanya baperan dan lebih menuruti hawa nafsunya daripada dorongan pemikirannya.

Penyakit yang sering hinggap pada generasi zaman sekarang adalah baperan. Perasaan yang mendominasi hidupnya. Melakukan segala hal berdasarkan mood atau tidak mood. Kalau tidak begitu, soal suka dan tidak suka. Akhirnya standar kebaikan bukan ditentukan oleh halal dan haram, tetapi dari perasaan dia, suka atau tidaknya.

Mengkaji Islam itu wajib, karena tidak suka, banyak yang belum mau diajak ikut kajian. Padahal kajian sambil rebahan di kasur, soalnya kajian masa pandemi, kajian via online. Berbeda dengan yang nonton drama Korea sampai berjam-jam. Walaupun nonton film itu hukumnya mubah, tapi karena suka, mereka lakukan berapa pun lamanya.

Nah, dari sini saja, perlunya kita muhasabah diri. Hidup ini untuk apa? Nanti setelah mati mau ke mana? Suasana pandemi Covid-19, kala kabar kematian datang tiap hari, tiap hitungan jam, bahkan sudah orang-orang terdekat kita terpapar Covid-19. Seharusnya menyadarkan kita, agar senantiasa berada dan berjalan dalam ketaatan. 

Ketaatan yang kokoh tak akan mungkin terbentuk dengan pola pikir lemah. Oleh karenanya, sebagai generasi muda kita harus memiliki the power of thinking, agar mampu menjadi hamba yang taat di kala sekitar maksiat. Selain itu, mampu menjadi generasi pemimpin di kala sekitar hanya menjadi generasi pembebek. Allahuakbar! [] Ika Mawarningtyas
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar