Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PPKM, Kebijakan Setengah-setengah Bikin Rakyat Merana


Topswara.com -- Hampir dua tahun sudah pandemi virus Corona membersamakan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun membuat kebijakan tersendiri untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini. Bahkan kebijakan ini sudah berkali-kali ganti istilah. 

Sebagai langkah awal penanganan Covid-19, pemerintah membuat kebijakan PSBB. PSBB dirasa tidak efektif, maka diberlakukan PPKM Jawa-Bali (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Sejak Februari 2021, istilah inipun diganti dengan PPKM Mikro. Namun ternyata kasus Covid-19 ini terus terjadi peningkatan. Akhirnya, Presiden Jokowi menetapkan PPKM Darurat mulai level 1 hingga level 4. Saat ini PPKM level 4 pun mengalami perpanjangan hingga 9 Agustus 2021. Sebagaimana dilansir dari compas.com, Senin (02/08/2021), pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM level 4 mulai 3 sampai 9 Agustus 2021.

Meskipun kebijakan dalam menangani pandemi ini telah mengalami beberapa pergantian istilah. Namun hingga saat ini belum juga menunjukkan keefektifan penanganan pandemi ini. Hal ini terbukti dengan adanya lonjakan kasus Covid-19. Seperti dilansir dari Tribunnews.com, Rabu (04/08/2021), pada hari Rabu (4/8/2021) kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 35.867 pasien. Jumlah tambahan kasus ini lebih banyak dibanding hari sebelumnya Selasa (3/8/2021), yakni berjumlah 33.900 kasus.

Terjadinya lonjakan kasus Covid-19 seakan sarat dengan faktor politis. Sebab dimasa pemberlakuan PPKM, sejumlah TKA pun melenggang bebas masuk Indonesia. Rakyat pun akhirnya merasa pesimis, jengah, tidak percaya atas kebijakan tersebut. Tidak dipungkiri bahwa pemerintah sebenarnya sudah melakukan usaha dalam menangani pandemi ini. Namun sayangnya, kebijakan yang diambil salah dari awalnya sehingga kesalahan ini terus berlanjut pada kebijakan selanjutnya. Mulai dari PSBB hingga PPKM level 4, semua adalah kebijakan yang setengah-setengah. Kebijakan yang telah gagal dan tidak mampu menjadi solusi atas wabah ini.

Jika kita telisik lebih dalam, penerapan PPKM ini justru menimbulkan permasalahan baru bagi masyarakat terutama rakyat kecil. Ketika aktivitas rakyat dibatasi bahkan dilarang untuk keluar rumah. Sementara pemerintah tidak menanggung kebutuhan ekonominya. Jelas ini akan berdampak pada ekonomi dan psikologi masyarakat. Rakyat kesulitan mencari nafkah akibat diberlakukannya PPKM. Tentunya akan mempengaruhi keruhnya pemikiran yang akan memicu terjadinya stres, sakit, bahkan kematian.

Pangkal kegagalan penanganan pandemi Covid-19, sebenarnya terletak pada sistem. Sistem yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalisme. Sistem yang berasal dari pemikiran manusia, jelas sarat dengan kesalahan dan keterbatasan. Sistem yang hanya mementingkan kepentingan pribadi para kapital. Sehingga penerapan dari sistem ini justru menjadikan tatanan kehidupan bernegara menjadi kacau.

PPKM Darurat yang dijalankan saat ini merupakan buah kebijakan yang berasal dari sistem kapitalis. Sudah pasti PPKM Darurat tidak akan mampu menjadi solusi dalam menangani pandemi Covid-19. Sebab kesalahannya berpangkal pada sistem yang rusak.

Kesalahan kebijakan dalam menangani gempuran pandemi, akhirnya pemerintah pun salah dalam menentukan skala prioritas penyelamatan. Bukan rakyat yang menjadi skala prioritas penyelamatan, akan tetapi justru perekonomian. Walhasil seluruh kebijakan yang katanya untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, nyatanya tidak sejalan dengan kebijakan pemulihan ekonomi.

Kegiatan masyarakat dibatasi, tetapi disisi lain promosi destinasi wisata digencarkan dengan alasan mendongkrak perekonomian. Prokes senantiasa digalakkan. Namun, TKA tidak dibatasi dan bebas masuk. Beginilah jika negara berasaskan kepentingan untung dan rugi. Wajar jika antar kebijakan yang diambil tidak sejalan disebabkan sarat dengan kepentingan individu. Kerusakan demi kerusakan pun akhirnya menyelimuti negeri ini.

Jika saja sejak awal pandemi, pemerintah tegas dalam mengambil kebijakan. Yakni kebijakan lockdown syar’i sebagaimana yang Islam ajarkan, tentu kondisinya tidak akan sampai separah hari ini. Lockdown syar’i adalah penguncian wilayah di tempat pertama munculnya wabah. Inilah kebijakan yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi wabah Tha’un di Syam. Umar melarang penduduk di luar Syam memasuki Syam, sementara penduduk Syam, dilarang keluar dari wilayahnya.

Selama berlangsungnya lockdown, pemerintah dalam sistem Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Rakyat pun tenang meski tidak keluar dari rumahnya. Pemerintah saat ini sebenarnya bisa jika mau menerapkan lockdown syar'i, sebab sejatinya Indonesia adalah negeri yang berlimpah sumber daya alam. Namun sayang, saat ini negara kita tidak memiliki kedaulatan penuh di negerinya sendiri. Sumber daya alam yang melimpah ruah  berada dalam dekapan swasta, baik lokal maupun asing. Negeri ini pun tersandera utang luar negeri. Negeri ini sedang sekarat, bagaimana bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Oleh sebab itu, jika negara ingin menyelesaikan seluruh permasalahan negeri ini termasuk masa pandemi virus Covid-19. Tidak lain harus kembali kepada kembali kepada sistem Islam yang agung. Sistem yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Sistem yang datang dari sang Kholiq untuk mengatur kehidupan di dunia. Sehingga kehidupan dunia mampu menjadi jalan kehidupan yang menentramkan dan membahagiakan baik di dunia dan akhirat kelak. Tidakkah kita merindukan tegaknya sistem yang agung ini? 

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Ninik Suhardani 
(Aktivis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar