Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jiwanya Hanya Bisa Dibeli Surga, Ustaz Ma’shum bin Tasmun [1947-2015], Pakar Ilmu Hadis


Topswara.com -- "Idealisme kita tidak bisa dibeli. Bahkan oleh bos tempat kita bekerja. Atau oleh penguasa lalim yang zalim. Sebab, ia akan dipersembahkan dan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Sang Khalik. Jiwa Muslim hanya bisa dibeli surga. Dan hanya bisa beristirahat di surga nanti. Itulah sebenar-benar mujahid.”

Demikian jawaban Ustaz Maksum yang teringat jelas di benak Puspita Rini, salah satu putrinya, ketika ditanya mengapa lebih memilih berjuang bersama sebuah kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam kaffah.

Ma’shum bin Tasmun atau yang akrab disapa Ustaz Maksum dihadapankan pada dua pilihan sulit. Tetap di lembaga yang telah mendidik dan membesarkannya sejak kecil atau di kelompok Islam kaffah yang baru ditemuinya kurang dari empat tahun.

Pasalnya, setelah tamat Sekolah Rakyat Negeri, lelaki kelahiran Rowoyoso, Pekalongan 3 April 1947 ini, dididik di pesantren yang dinaungi lembaga tersebut. Lalu mendapat beasiswa kuliah Tafsir Hadis di Fakultas Syariah Universitas Ibnu Saud Riyadh, Saudi Arabia.

Setelah mendapat gelar Lc, tepatnya pada 1980, kini giliran dirinya berbakti, mengajar di pesantren tempatnya menimba ilmu dulu. Mengajar ushul fiqih, ilmu akhlak, ilmu tafsir, faraidh, dan lainnya. Ilmunya pun semakin tersebar luas karena diamanahi sebagai staf redaksi dan mengisi Rubrik Hadis di majalah yang diterbitkan lembaga yang sama.

Tentu saja, semakin mengukuhkan dirinya sebagai ustaz yang ahli hadis apalagi majalah tersebut bukan hanya beredar di dalam negeri tetapi juga sampai ke Malaysia dan Singapura. Mengisi pengajian ke berbagai masjid yang terafiliasi dengan lembaganya, menjadi rujukan umat. Ditambah lagi rumah dinas dan segala fasilitas. Ah kurang apa? Semua sudah sempurna.

Namun kedatangan Abdun Muthi, satu-satunya aktivis kelompok Islam kaffah yang ada di Bangil saat itu, telah menghentak relung kebenaran hatinya. Pada suatu petang di tahun 1992, pintu rumah dinasnya yang asri pun dibuka dan menyambut Abdun Muthi dengan hangat.

“Di sinilah saya dapat merasakan betapa Ustaz Maksum adalah pribadi yang ikhlas dan bersahaja, beliau begitu menghargai apa saja ide yang saya sampaikan. Beliau saya lihat begitu sabar diam mendengar uraian ide-ide Islam kaffah yang saya sampaikan. Menghormati siapa pun yang menyampaikan kebenaran,” kenang Abdun Muthi.

Menurut Abdun Muthi, hal itu kontras sekali dengan tokoh-tokoh lainnya di lembaga yang sama. “Berbeda dengan yang lain yang selalu meremehkan kedatangan saya sampai ada dari salah satu ustaz dari lembaga yang sama membanting teleponnya ketika saya hubungi dan ada yang mengusir,” ujar Abdun Muthi membandingkan.

Ustaz Maksum dengan tenang diam mendengarkan, tidak pernah memotong pembicaraan. Hanya senyum atau berbicara sepatah atau dua kata saja.

Di pertemuan yang ke sekian kalinya, Abdun Muthi pun membacakan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abdullah bin Umar: “Aku mendengar Rasulullah berkata: Barangsiapa melepaskan tangannya dari baiat niscaya Allah
akan menemuinya di hari kiamat tanpa punya alasan dan barangsiapa mati dan tak ada baiat di pundaknya maka mati bagai mati jahiliyah.” (HR Muslim)

Setelah dijelaskan bahwa baiat yang dimaksud adalah mengangkat kepala negara Islam (khalifah) yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (khilafah), Ustadmz Maksum pun langsung bertanya: “Di mana pimpinan kelompok yang memperjuangkan khilafah di Indonesia? Tolong saya diantarkan untuk bertemu langsung dengan beliau.”

Setelah diantar menemui pimpinannya kala itu di Bogor, Jawa Barat, Ustaz Maksum sepekan sekali mengikuti kajian rutin ke Malang. Karena kebiasaan barunya itu, dan juga kerap menyuarakan wajibnya menegakkan khilafah, maka muncullah reaksi beragam dari para pengurus lembaga tempatnya bernaung. Ada yang biasa saja tetapi kebanyakan yang tidak suka.

Teguran untuk berhenti mengaji di kelompok tersebut tidak diindahkannya. Ancaman dipecat dari pekerjaan dan dicabut semua fasilitas juga sudah disampaikan, namun Ustaz Maksum tetap bertahan.

Bahkan sampai disidang beberapa kali di hadapan dewan guru lembaga. Opsinya satu: keluar dari kelompok tersebut dan tetap di lembaga tempat bernaungnya selama ini. Tetapi hati yang telah tersinari tak bisa dibohongi, meski di Bangil saat itu yang menjadi anggota selain dirinya, ya hanya Abdun Muthi.

Sampailah pada sidang terakhir pada suatu hari di tahun 1996. Di sidang penentuan ini, opsi menjadi dua: tetap di lembaga dan meninggalkan kelompok Islam kaffah atau kalau tetap tak mau keluar dari kelompok tersebut harus meninggalkan lembaga. Dengan kesiapan menghadapi segala risikonya, Ustaz Maksum memilih tetap di kelompok tersebut. Mendengar jawabannya tersebut, pimpinan lembaga pingsan seketika.

Benar saja, sejak kejadian itu, Ustaz Maksum tidak diberi jadwal mengajar lagi dan dipersilakan mengosongkan rumah dinasnya. Terpaksalah dirinya boyong keluarga ke rumah mertua, tetapi ia tetap berlapang dada.

Setahun setelah itu, Ustaz Maksum didaulat menjadi pengasuh pondok pesantren yang didirikan Abdun Muthi dan rekannya di Rembang Pasuruan yang dananya didapat di lembaga berbeda.

Namun hanya berjalan dua tahun. “Karena pondok tersebut dibubarkan oleh pengurus lembaga berbeda tadi disebabkan ternyata saya yang dipasrahi mengelola diketahui sebagai anggota kelompok Islam kaffah dan mengajak beberapa aktivisnya mengajar di sana. Lembaga berbeda tadi takut dananya yang full dari Saudi dihentikan jika tetap ada saya dan Ustaz Maksum di pondok tersebut,” kenang Abdun Muthi.

Tetapi Ustaz Maksum tidak berkecil hati, sepekan sekali tetap ikut kajian ke Malang. Dari rumah mertuanya di Bangil berjalan kaki menuju angkutan umum, kemudian berganti bus, turun Arjosari ganti angkot lagi yang biasanya senantiasa berjubel.

Turun di pertigaan Kedawung dilanjut dengan naik becak atau kadang malah berjalan kaki lebih dari 3 km menuju Jalan Kalpataru, tepatnya gang mungil yang hanya bisa dilewati satu sepeda. Dengan agak tertatih-tatih karena perjalanan yang melelahkan ia kuatkan langkah kakinya agar bisa berjalan lebih cepat lagi menuju sebuah gubuk kontrakan pembinanya, Syahroni namanya.

Sempitnya rumah ukuran 3,5 x 12 meter, dan kumuhnya lingkungan sepertinya sama sekali tidak ia hirau dan rasakan. Ustaz mulia yang saat itu berusia 50 tahun kedatangannya disambut seorang muda 20 tahunan dengan penuh suka cita bercampur aduk dengan keharuan.

“Betapa kontras antara yang rawuh dengan yang dikunjungi. Sang muda sama sekali bukan apa-apa apalagi siapa-siapa hanya kebetulan lebih dulu mengaji tentang Islam kaffah, sedangkan yang satunya lagi pakar ilmu hadis dari perguruan tinggi ternama di Timur Tengah. Pengetahuan agama sang muda apalagi! Bukanlah tamatan dari mana-mana. Dia hanya kerap ikut-ikutan nyantri kalong di sela libur semester atau ikut sanlat sehari dua hari di masjid kampus,” ujar Syahroni.

Setelah keduanya berangkulan sebagai aktualisasi rasa kasih sayang, keduanya masuk ke ruang tamu yang hanya beralaskan karpet sederhana. Tidak lama berlalu setelah minum air seadanya, tepat pukul 20.00 acara serius mereka berdua dimulai.

Acara serius itu mereka sebut halqah li inhadlil ummah (halqah untuk membangkitkan umat), karena menurut si muda untuk membangkitkan umat memang harus dimulai dengan halqah. Apa nyambung ya? Tapi begitulah, yang jelas Ustaz Maksum itu percaya bahkan meyakininya. Padahal yang ngaji pada si muda saat itu hanya satu dua dan dari rumah ke rumah. Dan jika pun ada yang bersungguh-sungguh untuk bergabung dalam barisan "sumpah setia" halqah li inhadlil umah mungkin di Jawa Timur saat itu belum genap sejumlah jari tangan dan kaki.

Lantas mengapa kok Ustaz Mulia demikian keukeuh hendak ikut barisan yang ukurannya serba minimize ini. Saking mininya halqahnya tiada ditemani siapa pun juga, alias sendirian dengan Syahroni. Di sanalah justru jiwa besarnya terungkap. Setidaknya keikhlasan itu begitu terpancar pada dirinya. Sebelum ada tokoh umat menyambut seruan ini, ia menyambut duluan.

“Zuhud dan ikhlas sifat yang paling menonjol yang saya tangkap dari beliau,” ujar Syamsuddin, rekannya.

Betapa kagetnya, Syamsuddin ketika malam itu, Jumat 15 Mei 2015, menerima telepon keluarga Ustaz Maksum, bahwa ulama zhuhud tersebut telah berpulang ke rahmatullah pukul 03.00 WIB. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuuun. Allahummagfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wafu’anhu...

Salah satu karyanya adalah bagan kharithatus sanad atau haikalur ruwwat yang memudahkan para santrinya memahami ilmu hadis. Dilanjutkan dengan definisi-definisi seputar ilmu hadts sekitar 40 halaman folio “Semuanya beliau ketik sendiri dengan mesin ketik Arab manual,” ujar Syamsuddin.

Penulis: Joko Prasetyo

Sumber: Taat Syariat Hingga Akhir Hayat (10 Kisah Menggugah Pejuang Khilafah yang Istiqamah Hingga Berkalang Tanah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar