Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demokrasi Menjunjung Tinggi Kebebasan Berpendapat, Mengapa Harus Anti Kritik?


Topswara.com -- Viral, baru-baru ini bertebaran mural yang mengkritik kinerja pemerintah. Kritik adalah bagian dari sikap peduli dari rakyat untuk negeri, bukan bagian dari kebencian. Jika aspirasi rakyat di bungkam, lantas dimana demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat? Mengkritisi kinerja pemerintah untuk menjadi lebih baik lagi seharusnya diberikan ruang agar para penguasa bermuhasabah.

Seperti yang dilansir oleh Kompas.com (18/8/2021) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta masyarakat tidak menyampaikan kritik secara sembarangan kepada Presiden Joko Widodo. Bagaimanapun, presiden merupakan orang tua bagi rakyat yang wajib dihormati.

Hal itu Moeldoko sampaikan merespons persoalan mural mirip Presiden Joko Widodo yang kemudian dihapus. Penghapusan mural tersebut menuai polemik. Karena apa pun presiden adalah orang tua kita, yang perlu, sekali lagi perlu, dan sangat perlu untuk kita hormati," kata Moeldoko di kantor staf presiden.

Mural bertema kritik sosial muncul di Jalan RE Martadinata Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kini, mural dengan tulisan "Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan" sudah dihapus oleh Petugas Satpol PP. 

Kepala Satpol PP dan Damkar Kota Banjarmasin, Ahmad Muzaiyin menyampaikan mural itu dihapus agar tidak menimbulkan penafsiran yang beragam di masyarakat. Semata-mata untuk mencegah kesalahan persepsi dan menimbulkan multitafsir,” kata Muzaiyin, (CNNIndonesia, 20/8/2021)

Inilah wajah sesungguhnya dari sistem demokrasi. Seharusnya pemerintah bisa bermuhasabah dengan adanya  kritikan-kritikan rakyat, bukan justru membungkamnya. Dengan segera menghapus mural yang berisikan keluhan rakyat terhadap pemerintah menunjukkan bahwa ada ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat. Tentunya publik dapat menilai dan membandingkan pada pemimpin saat ini dan sebelumnya. Pastinya netizen pun mempertanyakan, mengapa Indonesia tidak lebih demokratis, justru lebih mirip komunis?

Demokrasi menganut asas kebebasan berpendapat, maka mereka meluapkan dan mengkritisi bahwa tidak adanya keadilan dan kesejahteraan dalam negeri ini. Kemiskinan dan kesulitan hidup mendorong mereka membuat mural di tengah kondisi pandemi.  Meskipun yang disampaikan rakyat adalah kebenaran, namun jika mengancam kursi kekuasaan maka pelaku berpotensi dikriminalisasi. Demokrasi hanya sebagai alat kepentingan kelompok tertentu. Inilah wujud kebobrokan dan cacatnya demokrasi.

Dalam sistem Islam, mengkritik dan menasehati penguasa adalah wajib hukumnya. Rakyat akan diberikan ruang untuk mengkritik kinerja para penguasa. Sebab, kritik adalah bagian dari sikap kepedulian rakyat untuk negeri, bukan bagian dari kebencian. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Kisah Umar yang mau dikritik dan mengakui kesalahannya di hadapan umat. 

Tidak ada namanya persekusi bahkan perlakuan keji kepada rakyatnya yang menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa zalim. Selama isi kritik tidak melanggar hukum syara’, beliau menerima dan mengakui kesalahanya sebagai pemimpin. Oleh karena itu beliau mendengar apa kemauan rakyat untuk kehidupan mereka, semata-mata karena rasa peduli. Ada hubungan yang sangat erat antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Rakyatpun akan semakin mencintai pemimpinnya, begitu pula pemimpin mencintai rakyatnya.

Seperti dalil dalam Al-Qur'an yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran ;

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali ' Imran [3]: 104)

Apakah kita tidak merindukan pemimpin seperti itu?

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Ross A.R
(Aktivis dakwah Medan Johor)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar