Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UU Marital Rape Membahayakan Keluarga Muslim


Topswara.com -- Pertengahan bulan Juni 2021 kemarin, tiba-tiba pembahasan marital rape muncul kembali. Tercantum dalam pasal 479 ayat 2 poin a Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Isinya mengatur tentang tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya atau marital rape. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyatakan sesungguhnya marital rape itu ada dalam kehidupan rumah tangga. Namun, masyarakat tidak memahami tentang konsep marital rape. Hal ini terjadi karena pengaruh kultur dan hukum perkawinan di Indonesia. Menurutnya, dalam perkawinan di Indonesia, umumnya suami dianggap sebagai pencari nafkah dan istri seseorang yang harus siap melayani suami, termasuk dalam hubungan seksual. 

Bahkan berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan,  jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri tahun 2019 sebanyak 192 kasus. Lalu pada 2020 sebanyak 100 kasus. Hal ini menunjukkan, memang ada kasus, namun bukankan datanya justru menurun? Artinya, apakah kondisi marital rape sedemikian darurat sehingga pengesahan RUU menjadi UU sangat mendesak? Bahkan terkesan dipaksakan, karena digulirkan saat rakyat sedang sibuk menghadapi serangan pandemi Covid -19 gelombang kedua. (cnnindonesia, 17/6/2021)

Marital Rape Buah Peradaban

Terminologi marital rape berasal dari bahasa Inggris, “marital” yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, dan “rape” berarti pemerkosaan sebagaimana yang dimaksud oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (hal. 373 & 465). Sedangkan menurut Wikipedia, marital rape/ pemerkosaan dalam rumah tangga ialah pemaksaan untuk melakukan kegiatan seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Meski umumnya hal ini lebih banyak memposisikan istri sebagai korban. 

Sementara dalam UU Islam, para ulama menggunakan istilah al-zina bi al-ikrah atau zina dengan cara paksaan. Artinya, mereka memasukkan kasus pemerkosaan sebagai bentuk perzinaan. Sedangkan jumhur ulama menyepakati, definisi zina ialah persetubuhan antara lelaki dan perempuan melalui kemaluan tanpa milik atau syubhah (kekeliruan) milik.( Zina menurut 1 Al-Namir Izat , Muhamad, Jara’im al-Ird Qanun al Uqubat al Misri, Dar al Arabia lil Mausu’at, 1984, hal. 249). 

Dari definisi di atas, maka perkosaan itu haram, sebaliknya hubungan suami istri itu halal. Sungguh hal yang bertolak belakang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa perkosaan suami istri tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam memang mengharuskan dari sisi istri, siap melayani suaminya kapan saja. Akan tetapi Islam juga mengharuskan dari sisi suami, memperlakukan istrinya dengan baik.  Diantaranya menunggu istrinya siap melayaninya.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian mengetuk pintu wanita (istri) pada malam hari hingga wanita itu (bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita yang ditinggal suaminya itu (bisa) mempercantik diri.” (Muttafaq ’alaih dari jalur Jâbir ra.)

Maka dapat dipastikan persoalan marital rape tidak berasal dari ajaran Islam. Akan tetapi, sejarah yang melatarbelakanginya adalah kondisi abad 17 di Eropa. Yakni hukum umum Inggris atau English common law yang memberi sanksi atas pemerkosaan terhadap perempuan. Namun, ada pengecualian jika terjadi dalam pernikahan karena status suami-istri memberi ruang pembelaan untuk pelaku. Lord Matthew Hale, hakim dan juri saat itu, mengatakan, “Suami tidak bisa dituduh bersalah atas pemerkosaan kepada istri sahnya, karena ada consent yang mutual dan kontrak, istri telah memberikan dirinya kepada suami yang tidak bisa ditarik kembali.” (Magdalene.co,5/4/2021). Lalu mengapa umat Islam dipaksa untuk mengadopsinya?

Ternyata ide marital rape dihembuskan oleh gerakan feminisme, Islam liberal serta komnas ham perempuan di Indonesia. Mereka menyandarkan nilai-nilai perbuatan manusia pada ideologi sekuler. Tentu saja akan bertentangan dengan syariat Islam. Ideologi sekuler membebaskan manusia mengatur dengan akalnya, sementara ideologi Islam mengikat perbuatan manusia dengan aturan Allah Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta.

Bahkan agenda kalangan sekuler ini berkait erat dengan agenda global PBB, yakni Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/ CEDAW.  Sebuah instrumen standar internasional yang diadopsi PBB pada tahun 1979,  Kemudian diberlakukan pada tanggal 3 Desember 1981. 

Selanjutnya pada tanggal 18 Maret 2005.  Setidaknya 180 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, menjadi negara peserta konvensi CEDAW.  Di sana ditetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. 

Konvensi inilah yang mendorong diberlakukannya UU nasional yang melarang diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki. Tentu saja hal ini semakin meneguhkan kalangan sekuler untuk terus memperjuangkannya (elsam.or.id,  2014/09 ) 

Sementara dalam sistem Islam, sejak berdirinya daulah Islam di Madinah selama 1300 tahun lamanya, hampir tidak ditemukan kasus tersebut. Lalu, mengapa saat ini muncul kembali kasus-kasus serupa? Bahkan hampir di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim? Sehingga seolah membutuhkan diterapkannya sebuah UU marital rape? 

Penyebabnya tentu karena sistem yang diterapkan di hampir seluruh dunia merujuk pada sistem sekuler, tidak terkecuali negeri Muslim. Akibatnya, tidak jauh berbeda kondisi kehidupan antara Muslim dan non Muslim.  Semua perbuatan dalam kehidupan mereka tidak berlandaskan aturan Islam. 

Dalam sistem sekuler, negara tidak berperan sepenuhnya  dalam urusan pemenuhan sandang, pangan, perumahan, pendidikan, keamanan dan kesehatan rakyatnya.  Negara hanya berfungsi sebagai regulator, sedangkan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta/ individu. Akibatnya seluruh rakyatnya harus berjibaku memenuhi semua kebutuhan hidupnya dengan keringatnya sendiri.

Bersamaan dengan itu, negara sekuler menerapkan sistem pergaulan bebas, sehingga banyak perzinaan, mengoyak kesucian pernikahan. Kondisi tidak berbeda pada sistem ekonominya, tunduk pada pemilik modal. Kaum buruh dinilai bagian dari faktor produksi.  Di sisi lain, perempuan dimudahkan mencari pekerjaan atas nama emansipasi. Sebaliknya,  laki-laki dipersulit dan banyak yang tuna karya. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial dimana-mana.  Masih ditambah lagi tawaran pinjaman riba yang mencekik serta  pungutan pajak yang menggila. 

Semua inilah yang mendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan seksual. Anehnya, yang disalahkan justru aturan Islam tentang relasi suami istri.  Mereka menuduh aturan Islam cenderung patriarki seperti aturan di abad 17, yakni laki-laki memiliki hak penuh atas tubuh istrinya.

Padahal relasi dalam ajaran Islam adalah relasi persahabatan. Sebagaimana hadis yang dituturkan Ibnu Abbas, ”Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka”

Walaupun dalam Islam suami adalah pemimpin keluarga, dan keridaan Allah terhadap istri bergantung pada keridaan suami. Namun bukanlah seperti para laki-laki di abad 17 atau di negeri kapitalis, yang memposisikan perempuan sekedar komoditas ekonomi.  

Islam mengatur hak dan kewajiban diantara keduanya. Jika istri melaksanakan kewajibannya taat dan selalu siap melayani suami, di sisi lain suami harus melaksanakan kewajibannya bersikap ma'ruf terhadap istrinya. Sebagaimana firman Allah,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah [2]: 228)

Oleh karena itu, jelaslah solusi kasus marital rape  bukan memaksakan  pengesahan UU pada umat Islam.  Sebab akar persoalannya bersifat sistemik. Jika ingin menghilangkan kasus marital rape, maka harus  mengubah seluruh aturan yang diterapkan, yakni sistem sekuler. 

UU Marital Rape Upaya Sekulerkan Keluarga Muslim

Biasanya UU sekuler sangat melindungi persoalan privasi. Namun ternyata tidak berlaku untuk UU marital rape. Kebijakan sekuler justru masuk ke ranah privasi dengan alasan melindungi hak perempuan.

Sehingga memunculkan pertanyaan, mengapa sedemikan berambisi masuk ke dalam ranah keluarga? Terutama di negeri yang mayoritas Muslim? Padahal jelas-jelas UU ini bertentangan dengan ajaran Islam tentang relasi suami istri. 

Bertebaran hadis Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana indahnya interaksi laki-laki dan perempuan dalam bingkai pernikahan. Apalagi masalah pemenuhan seksual. Islam hanya membolehkan satu pintu yakni hubungan dalam pernikahan. Aturan sedetail ini tidak ditemukan dalam sistem selain Islam. Sehingga jika semua dilaksanakan dengan baik, akan terwujud keuarga sakinah mawaddah wa rahmah. Keluarga yang akan mencetak generasi terbaik umat Islam.

Tentu hal ini tidak diharapkan oleh pengusung sistem sekuler. Apalagi dipahami bahwa karakter semua ideologi adalah harus disebarkan dan diemban oleh objek sasarannya. Maka suatu yang wajar jika para pengusung sekuler membidik  keluarga Muslim sebagai target.  

Kenyataan saat ini, ideologi sekuler sudah berhasil memerangi Islam dan kaum Muslim dengan menghancurkan kepemimpinan Islam di seluruh dunia, sebagai sistem pemerintahannya. Pun berhasil mengganti  sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis, juga sistem sosial, pendidikan, keamanan, kesehatan. Tinggallah pertahanan terakhir umat Islam yakni sistem dalam keluarga. 

Padahal tidak dapat dipungkiri, baik tidaknya generasi tergantung pada peran keluarganya. Tentu hal ini berlaku juga untuk generasi Muslim. Jika keluarga harmonis, peran suami istri terlaksana dengan sempurna sesuai aturan Islam, maka generasi yang berjuang untuk kebangkitan Islam akan lahir. Mereka akan berjuang mengembalikan sistem pemerintahan Islam. 

Inilah sesungguhnya alasan mereka, para feminis dan liberalis sekuler tak kenal lelah berjuang menggolkan UU marital rape. Berbagai cara sudah mereka tempuh, mulai persuasif lewat opini, namun tak berbuah hasil. Maka dengan payung UU-lah mereka berharap keluarga muslim tak lagi bersandar pada aturan Islam. Tujuan mereka agar keluarga-keluarga muslim menjadi individu-individu yang jauh dari keberkahan, menjadi keluarga pengemban sekularisme. Sehingga tiada lagi generasi khairu ummah, tiada lagi generasi yang berjuang untuk Islam dan sistem Islam/khilafah.

Oleh karena itu kita harus berupaya menolak UU ini, serta terus memahamkan umat Islam tentang seluruh ajaran Islam termasuk hak dan kewajiban suami istri.  Pun, mengajak umat untuk berjuang bersama mengembalikan sistem Islam.  Sebab hanya dalam sistem Islam/khilafah lah seluruh persoalan kehidupan termasuk kekerasan dalam rumah tangga dapat terselesaikan dengan sempurna.
Wallahu a’lam bishawwab

Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar