Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Stok Oksigen Megap-Megap, Negara Tidak Tanggap?

Topswara.com -- Tingginya kasus Covid-19 di Indonesia, berdampak pula pada permintaan tabung oksigen yang tinggi bagi pasien Corona. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis pasokan oksigen. Padahal, oksigen sangat penting untuk penanganan pasien Covid-19.
Di RSUP Dr. Sardjito, yang merupakan RS rujukan Covid-19, sejak Sabtu (3/7) pagi hingga Ahad (4/7) pagi, terdapat 63 pasien yang meninggal dunia karena krisis oksigen. Humas RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Banu Hermawan menyatakan, “Memang betul, akhirnya secara perlahan memang stok oksigen sentral kami mengalami shut down sekitar pukul 20.00, sehingga waktu itu sudah back up dengan oksigen menggunakan tabung. Itu yang kita lakukan.” (VOA Indonesia, 4/7/2021).

Kejadian krisis oksigen, tidak hanya terjadi di RSUP Dr. Sardjito, tapi juga di RS lain. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibabat, Kota Cimahi juga mengalami kesulitan pasokan oksigen medis hingga terpaksa menerapkan penutupan sementara layanan IGD (detik.com, 1/7/2021). Sementara itu, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta juga ketar-ketir karena oksigen habis hanya dalam hitungan jam. (Tempo, 4/7/ 2021).

Menurut anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati menilai bahwa lonjakan kasus Corona yang berujung pada tingginya angka kematian, seharusnya mendorong pemerintah memangkas pasokan oksigen agar langsung di dapat masyarakat untuk penanganan pasien Corona. Tidak lagi melalui agen atau distributor kecil. Perlu kebijakan extraordinary dalam mengatasi situasi darurat seperti ini,” kata Kurniasih (detik.news, 8/7/2021).

Direktur Jenderal (Dirjen) WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan beberapa negara mulai menghadapi krisis suplai oksigen. “Banyak negara kini kesulitan mendapatkan konsentrator oksigen. Jumlah permintaan saat ini melebihi suplai yang ada,” kata Tedros seperti dikutip dari Reuters, Kamis (25/6/2020). Mirisnya lagi, pada saat di dalam negeri mengalami krisis oksigen, pada 28 Juni 2021, Indonesia justru kembali memberikan hibah 2.000 unit tabung oksigen ke India (CNN Indonesia, 28/6/2021). 

Indonesia sebelumnya telah mengirim 1.400 unit tabung oksigen pada 10 Mei 2021. Selang tiga minggu, ada pengiriman lagi dengan jumlah lebih banyak yakni 2.400 tabung (CNBC Indonesia, 28/6/2021).

Negara adalah pihak yang seharusnya bertindak cepat dalam menangani krisis oksigen. Karena pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur suplai oksigen bagi rumah sakit dan masyarakat yang isolasi mandiri. Apalagi krisis oksigen ini adalah perkara yang sudah diprediksi akan terjadi. Maka dengan adanya peringatan dari WHO ini, seharusnya pemerintah segera sigap memastikan ketersediaan oksigen di rumah sakit dan penjual yang melayani masyarakat. Namun pada faktanya, pemerintah tampak abai dengan peringatan ini, hingga terjadi krisis oksigen di mana-mana.

Kasus-kasus kekurangan oksigen di rumah sakit dan kurangnya pelayanan kesehatan hingga pasien Covid-19 harus isolasi mandiri, menunjukkan kelemahan perangkat negara dalam menyiapkan perangkat dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat untuk menghadapi pandemi. Demikian juga dengan menipisnya pasokan oksigen yang sudah bisa diprediksi dibutuhkan masyarakat di masa pandemi ini, menunjukkan ketidaksigapan pemerintah melayani masyarakat.

Inilah hasil dari penerapan sistem kapitalisme-sekularisme.

Harapan akan menurunnya kasus Covid-19 hanyalah sebuah angan-angan dalam sistem kapitalis, karena pada dasarnya sistem ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Negara tidak bekerja melayani rakyat, tapi bekerja melayani pihak-pihak yang membawanya pada jabatannya saat ini, baik itu partai politik maupun para pemodal.

Berbeda dengan Islam, sebagai negara yang sempurna dan paripurna Islam memandang nyawa seorang Muslim amatlah berharga. Hilangnya nyawa seorang Muslim lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455).

Maka, dalam kondisi wabah seperti saat ini, semua pihak harus melakukan ikhtiar maksimal untuk menjaga nyawa setiap warga negara. Memang, datangnya ajal adalah qadha (ketetapan) Allah, bahkan yang wafat saat wabah mendapatkan pahala syahid, tapi Allah SWT juga memerintahkan hambanya untuk ikhtiar dengan berobat. Rakyat ikhtiar dengan melaksanakan protokol kesehatan seperti 5M. Maka, penguasa pun harus berikhtiar maksimal agar wabah ini segera tertangani.

Sayangnya, penguasa dalam sistem kapitalis hari ini selalu berpikir ala Kapitalisme. Yaitu hanya fokus pada jumlah produksi dan abai pada distribusi. Seperti pada kasus oksigen untuk medis, jika memang stok aman karena produksi yang mencukupi, maka tugas negara tidak berhenti hanya pada memastikan stok. Negara harus memastikan stok itu telah terdistribusi pada pihak yang membutuhkan, baik itu rumah sakit maupun warga yang isolasi mandiri di rumah.

Negara harus memastikan bahwa oksigen itu siap digunakan saat dibutuhkan, bukan hanya stok aman, tapi ternyata masih di pabrik, sehingga butuh waktu untuk mengirimnya. Sementara saat menunggu kiriman oksigen, banyak nyawa rakyat yang akan melayang. Begitulah dilematis kehidupan ala sistem kapitalisme. Rakyat megap-megap diserang wabah dan harus berjuang tanpa adanya riayah penguasa. 

Tidak hanya rakyat biasa, para tenaga kesehatan pun menjadi korban. Ini semua terjadi karena kepemimpinan kapitalisme-sekularisme yang abai terhadap nyawa rakyatnya. Maka, ikhtiar untuk mengatasi wabah tak cukup dengan berobat, karena ternyata sistem yang mengatur aspek kesehatan tidak mewujudkan riayah pada rakyat. Maka kita butuh pula ikhtiar mengubah sistem menuju kepemimpinan yang melayani rakyat, itulah sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai daulah.
Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: B. Carmila
(Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar