Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dr. Riyan Beberkan Dimensi Spiritual Momen Haji dan Idul Adha


Topswara.com-- Menjelang pelaksaan Idul Adha 1442 H Dr. Riyan, M.Ag. mengingatkan kembali kaum Muslim dengan membeberkan dimensi spiritual momen haji dan Idul Adha.

“Momen haji dan Idul Adha memiliki makna dimensi spiritual dan politik,” bebernya dalam acara Kajian Siyasi: Idul Adha: Momen Perubahan Besar (Great Change) Umat di YouTube Ngaji Shubuh, Senin (12/07/2021).

Riyan menjelaskan, dalil pertama wajibnya haji adalah di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97 yang artinya, "Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam". 

“Kedua, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 196 juga menjadi dasar diwajibkannya haji bagi umat Islam, yang artinya, 'Dan sempurnakanlah ibadah haji serta umrah karena Allah SWT',” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan hadis dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda; “Islam itu didirikan atas lima perkara. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah SWT dan Muhammad SAW adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya".

Ia mengatakan, kisah-kisah di dalam Al-Qur’an adalah pelajaran, petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang beriman.

“Nabi Ibrahim as dapat perintah Allah SWT untuk membawa istrinya Hajar dan anaknya Ismail yang baru dilahirkan ke suatu tempat yang sangat tandus. Secara naluri kebapakan tidak sampai hati untuk meninggalkan mereka di tempat yang tidak ada tanaman sama sekali, tidak ada hewan yang bisa diperah susunya, dan tidak seorang manusia pun yang bisa dimintakan pertolongannya,” tuturnya.

Riyan mengisahkan, menghadapi pengorbanan tersebut, Nabi Ibrahim berdoa dan menyerahkan urusannya kepada Allah SWT sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 126. "Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya." 

“Nabi Ibrahim berkeinginan lembah Makkah itu aman dan subur. Pada ayat itu kata aman didahulukan lalu disebutkan rezeki buah-buahan. Hal ini menunjukkan bahwa rasa aman adalah pondasi bagi kemakmuran suatu bangsa,” lugasnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan dua ibrah yang bisa diambil. Pertama, kekuatan visi melalui doa yang dipanjatkan atas dasar keimanan. Kedua, ketaatan kepada Allah SWT dengan segala konsekuensinya.

“Makkah Al-Mukarramah adalah kota berupa lembah kering dan dikelilingi pegunungan karang yang tandus dengan bangunan ka'bah sebagai pusatnya. Pada masa dahulu kota ini rawan banjir bila di musim hujan. Untuk mencapai cita-cita itu Ibrahim as bersedia berkorban meletakkan istri dan anaknya di lembah yang gersang itu, lalu menyerahkan urusannya kepada Allah SWT, tuturnya.

Riyan memaparkan empat tujuan Nabi Ibrahim as yang meletakkan keluarganya di tanah yang tandus, sebagimana dinukil dari surat Ibrahim ayat 37. “Pertama, agar kelak manusia melaksanakan shalat (ibadah) di Tanah Haram. Kedua, agar orang-orang menyenangi untuk mendatanginya. Ketiga, agar Allah SWT memberikan rezeki antara lain buah-buahan. Keempat, agar manusia mau bersyukur,” paparnya.

“Kisah Siti Hajar yang turun menuju Bukit Marwah, kemudian kembali ke Bukit Shafa untuk mencari makanan dan minuman sebanyak tujuh kali kini menjadi salah satu rukun haji yang dilaksanakan umat Islam yang disebut sa'i,” imbuhnya.

Lebih lanjut ia mengisahkan Nabi Ismail yang ditinggalkan sedang menangis sembari menghentak-hentakkan kakinya yang kemudian mengalirlah air dari dalam tanah tersebut. Siti Hajar kemudian berkata, ‘berkumpullah’, yang dalam bahasa Arab artinya zam-zam.

“Akhirnya Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat berkata kepadanya, ‘Janganlah kamu takut diterlantarkan, karena di sini adalah rumah Allah SWT yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya’ 

Dr. Riyan mengungkapkan, sejak saat itulah, tempat tersebut disinggahi para musafir yang kemudian membentuk satu kota dan peradaban, yang itu berarti eksistensi entitas politik baru.

“Lalu Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih Nabi Ismail as. Inilah ketaatan kepada Allah SWT dengan segala konsekuensinya. Ketaatan ini menghadapi tiga kali gangguan setan, yang kemudian melahirkan jumrah,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar