Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Krisis Pangan dan Konflik Berujung Petaka, Siapa Pelindung Sesungguhnya ?


Topswara.com-- Masalah krisis pangan yang belum bisa teratasi ini semakin menambah pilu. Ketika kita boleh memilih menu saat makan, berbeda dengan mereka yang hanya bisa memakan dengan seadanya. 

Suriah mengalami krisis pangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seorang pria dari Kota Zabadani mengatakan, keluarganya yang beranggotakan empat orang telah berhenti makan keju dan daging pada awal 2020. Kini dia hanya mengandalkan roti untuk makanan mereka. Namun, dengan kenaikan harga roti dan adanya batasan pemerintah, dia dan istrinya terpaksa hanya memakan secuil roti tiap harinya. "Kami memecah roti menjadi gigitan kecil dan mencelupkannya ke dalam teh agar tampak lebih besar," (Republika.co.id, 30/05/2021).

Suram sekali, ketika melihat penderitaan yang dialami saudara kita di suriah. Masalah pangan adalah kebutuhan mendasar yang seharusnya menjadi perhatian. Karena itu adalah kebutuhan yang harus diatasi.

Namun sampai sekarang masalah pangan masih dalam tahap krisis. Ditambah dengan masa pandemi yang mencekik inilah yang menambah daftar buruk pengatasan masalah pangan.

Bahkan bukan hanya Suriah, krisis pangan melanda berbagai belahan dunia. Ini terjadi akibat sistem kapitalisme yang eksploitatif, merusak alam/iklim  Kesenjangan makin nyata. Hampir semiliar penduduk dunia kurang pangan sementara segelintir negara kapitalis berkelebihan pangan Lebih buruk lagi kondisi umat Islam di wilayah konflik. 

Wajar terjadi perbedaan perlakukan meski adanya wilayah adidaya yang berkuasa. Akan tetapi semua fokus pada urusan sendiri seakan umat yang kelaparan dianggap hal biasa. Miris ketika kita masih saja mengharapkan kapitalis untuk menyelesaikan persoalan pangan. 

Apalagi dikala wilayah yang lain boleh makan gandum maupun nasi. Dibelahan  yang lain yaitu Suriah hanya mampu memakan sepotong roti untuk mengganjal perut mereka. Mana yang namanya perlindungan? 

Disinilah sudah saatnya umat Suriah dan belahan negeri lain membutuhkan junnah dan pemberlakuan sistem ekonomi Islam agar masalah pangan bisa segera teratasi. Karena solusi yang baik serta tuntas hanyalah ada dalam Islam.

Tercatat dalam sejarah Islam, salah satu hal yang menonjol dalam revolusi pertanian kala itu adalah dikenalnya banyak jenis tanaman baru dan peralatan pertanian. Pada buku Teknologi dalam Sejarah Islam (1976) karya Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill disebutkan beberapa jenis tanaman yang mulai dikenal masyarakat Arab, seperti padi, tebu, kapas, terong, bayam, semangka, dan berbagai sayuran serta buah-buahan lainnya. 

Pertanian merupakan warisan peradaban yang sudah ada sejak dahulu kala. Seiring waktu, ilmu, dan teknologi, pertanian terus berkembang kian moderen, sehingga ada produk pertanian organik dan sebagainya. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengingatkan untuk selalu mengejar ilmu dan menyerahkan pada ahlinya, seperti bunyi surat al-Anbiya yabg artinya, ”Tanyakanlah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (TQS Al-Anbiya [21]: 7). Ini pertanda bahwa seorang muslim harus bersikap terbuka pada ilmu pengetahuan demi mengembangkan suatu produk peradaban yang salah satunya adalah pertanian. 

Pangan Pada masa Nabi Muhammad membangun keberadaban Madinah, urusan keadilan pangan tidak lepas dari perhatiannya. Salah satunya kitab I’anatuth Thalibin, karya Sayyid al- Bakri. Menggambarkan bagaimana ketegasan Nabi terhadap potensi ketidakadilan pangan karena ulah penimbunan yang menyebabkan melangitnya harga dan mengakibatkan rumah tangga miskin tidak mampu membeli makanan. 

Nabi menyebut para penimbun (muhtakir) itu sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah. Perspektif mendasar Islam dalam pangan adalah kepentingan utama penegakan keadilan pangan (food justice). Pangan berkenaan dengan kehalalan dan keharaman pangan semata, akan tetapi mencakup pula berbagai macam urusan sosial, ekonomi, dan politik terkait dengan pangan. Dalam hal ini, kita bisa mengacu pada pandangan Imam Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nadhair, bahwa perlu mendasarkan pada kaidah al-dhararu yuzaal, yaitu segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan. 

Berkait pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang sekarang disebut dengan politik ekonomi. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. 

Politik ekonomi yang berkait dengan pemenuhan pangan adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka. Dalam kaidah fikih dikatakan “Tasharruf al-imam ‘ala al-raiyah manutun bi al-maslahah,” tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan. 

Melihat bahwa kebutuhan masing-masing individu dalam soal pangan menjadi sangat vital dan bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Dengan kata lain, bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat maupun negara. 

Aspek distribusi menjadi sangatlah penting agar terjamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah indahnya apabila hukum Islam menjadi tolak ukur. Sehingga kesejahteraan itu pun akan muda untuk didapatkan. Maka sudah seharusnya kita sadar dengan problem saat ini dan kembali pada penegakan kembali syariat yang harus diterapkan secara kaffah.

Wallahu a'lam bishshawab


Oleh: Asma Sulistiawati 
(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar