Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dari Hedonis Jadi Islamis, Teuku Syahnandar [1971-2014] (Mantan Karyawan Standard Chartered Bank)


Topswara.com -- Tampang Teuku Syahnandar biasa saja layaknya lelaki biasa. Namun siapa sangka suaranya sangat merdu. Meski merdu, tapi benar-benar nyelekit menohok telak negeri mayoritas Muslim yang tidak menerapkan syariat
Islam

Ada pengadilan.../ tak ada keadilan...// Ada kekayaan.../ tak bisa merasakan.../ Ada penguasa.../ bukan pemelihara...//Melimpah sumber daya.../ rakyat tetap sengsaraa...//

Begitu penggalan nasyid Andai Saja Beriman yang dia lantunkan. Lengkapnya beserta sebelas lagu lain termasuk Para Bidadari yang menjadi trek lagu (OST) dalam film biografi Mutiara Kebangkitan dapat diunduh secara gratis di situs www.reverbnation.com/madinaproject

Ia dan grup nasyidnya, Madina Project, merilis lagu semata-mata karena kepentingan dakwah. Maklumlah meski pandangan dan sikap hidupnya berubah 180 derajat setelah berinteraksi dengan dakwah Islam, jiwa seni mantan vokalis rock Survive ketika mahasiswa tersebut tidak hilang. Kegemarannya dalam seni fotografi, dia manfaatkan juga untuk mengopinikan dakwah.

Dakwah dalam berbagai kesempatan dia lakukan melalui berbagai media. Bahkan sehari sebelum berpulang ke rahmatullah, dia sempat mendakwahi teman-temannya dalam grup pesan Black Berry Messenger (BBM), sampai tiga jam setengah.

Saat itu, dia sedang berlibur di rumah keluarga besar istri tercinta Fitri Hana di Kebumen, Jawa Tengah, usai melihat Ponpes Panatagama di Yogyakarta. Karena Teuku berencana memasukkan anak pertamanya Teuku Atallah Damario Syah (11 tahun) yang sekarang kelas 6 SD ke Ponpes tersebut.

“Anak saya tidak ada pilihan, harus di Panatagama, harus jadi pejuang dia,” ungkap Gusman, seorang aktivis kelompok Islam kafah di  Duren Sawit, Jakarta, menirukan ucapan Teuku bahwa anak yang disekolahkan di Panatagama memang disiapkan untuk menjadi rijalul daulah, siap tempur ketika khilafah itu tegak.

Pada Rabu, 31 Desember 2014, Teuku dan keluarganya harus kembali ke Jakarta, karena waktu libur sekolah sudah mau habis. Bukannya mengemas barang-barang, Teuku malah berdakwah melalui BBM kepada teman sekolahnya sejak di TK-SMA Labschool yang mengajaknya reuni ke Cirebon. Ia tidak mau ikut selama acara reuninya campur baur laki-laki dan perempuan.

Sejak pukul 06.00 hingga 09.00 dia BBM-an. Isinya dakwah. Istrinya menegurnya.

Selesai BBM-an sekitar jam 9.30 WIB, Teuku pun menghampiri Fitri, lalu berkata: “Mi, di mana pun kita berada kita harus dakwah. Karena kita tidak tahu Umi, umur kita sampai di mana, satu detik lagi, lima menit lagi, Abi kenapa kita tidak tahu, jadi Abi hanya berusaha untuk tetap berdakwah dalam keadaan apa pun.”

Fitri mendengarkan dengan seksama. Lalu Teuku meneruskan perkataannya: “Insya Allah, kalau kita berdakwah seperti ini, saya tidak tahu bagaimana Allah menilainya, tetapi mudah-mudahan dengan berdakwah seperti ini bisa menghapus dosa-dosa kita.”

Setelah itu Teuku memegang pundak Fitri, lalu mengeluh: “Aduh kepala saya sakit... vertigo saya kambuh, badan saya lemas, badan saya lemas...”

Setelah dibaringkan dan diobati ala kadarnya, sakit tak kunjung sembuh. Teuku pun shalat Zuhur dan Ashar dijama’ sambil duduk. Jam empat sore dia tetap memaksakan berangkat diantar mobil paman istrinya. Baru beberapa
kilometer, Teuku minta turun untuk muntah, kebetulan tepat di depan poliklinik. Diperiksa, dokter bilang ini vertigo dan harus dirawat paling dua hari.

Semalaman dia tidak bisa tidur karena kepalanya sakit. Tapi matanya tetap dipejamkan karena lebih pusing kalau dibuka. Dia pun mengigau terkait dakwah.

“Dia sebut kapitalislah apalah pokoknya dakwah, dakwah,” ujar Fitri.

Ia pun sempat berpesan pada istrinya: “Titip anak ya Umi, maafkan Abi.”

Esoknya, tensi darahnya tinggi sampai 200. Padahal dia tidak pernah punya tensi setinggi itu. Ia kemudian dirujuk ke RS besar di Purworejo. Ketika sampai di RS pukul 02.00, dokter bilang koma. Akhirnya Teuku berpulang Kamis 1 Januari 2015 pukul 21.30-an.

Berubah Total

Sebelum mengenal sebuah kelompok yang membinanya dengan Islam kafah, Teuku dan Hana adalah karyawan Standard Chartered Bank (SCB). Keduanya berkomitmen untuk tidak menunjukkan bahwa mereka suami istri. Pada pertengahan 2003, Teuku bertemu Gusman yang saat itu masih menjadi akunting di Astra dan sama-sama tinggal di Setiabudi, Kuningan, Jakarta.

Gusman mencoba menyampaikan dakwah ke Teuku. Tak disangka, langsung disambut baik. “Ketika saya ketemu dia, saya ngobrol tentang ekonomi, tentang politik nyambung. ‘Negara ini memang enggak bener ngurusnya’ kata dia waktu itu,” ujar Gusman.

Yang membuat Teuku tertarik ngaji ke kelompok Islam kafah yang Gusman lebih awal di sana, ketika membahas apa itu partai politik. Gusman pun meminjamkan buku Akar Nasionalisme di Dunia Islam (1997) karya dua aktivis Inggris, Shabir Ahmed dan Abid Karim. Itu yang membuat Teuku tergerak banget. “Wah ini betulan nih!” ujar Teuku dia mengomentari isi buku yang menjelaskan keharaman nasionalisme.

“Saya dapat buku tersebut dikasih pinjem Ustadz Tisna yang kelak jadi pembina mereka berdua, saya pinjamkan ke dia,” aku Gusman.

Teuku orang yang tinggi rasa penasarannya. “Saya ajak ngaji bareng, dia langsung mau. Jadi saya mengikuti pengajian umum di kelompok yang mengajarkan Islam kafah itu persis bareng sama dia,” ujarnya.

Karena keduanya setuju terus, kajian pun meningkat menjadi kajian yang lebih intensif lagi dengan mengupas kitab Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam), satu dari lima kitab yang harus dikaji sebelum menjadi anggota kelompok tersebut.

Baru beberapa bab pertama kajian kitab yang membahas keimanan dan wajibnya terikat hukum Islam, dia sadar dan paham ternyata pekerjaannya selama ini haram karena terkait dengan riba (bunga bank). Padahal saat itu, dia sedang moncer-moncernya mendapatkan nasabah untuk membuat kartu kredit.

“Karena sebelum kami ke SCB, saya kan pernah di Bank BCA dan Bank Ekonomi, jadi saya punya banyak list calon nasabah buat Abi,” aku Fitri Hana.

Alumni Insitutut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) Jakarta keluar kerja bertepatan dengan promosi dirinya menjadi Kepala Cabang SCB di Kelapa Gading pada 2004. “Karena ini haram, saya harus tinggalkan” ujar Gusman mengutip perkataan Teuku ketika mau keluar SCB.

Fitri pun didakwahi Teuku untuk segera keluar juga. Sempat debat sebentar terkait rezeki. Setelah diyakinkan setiap makhluk hidup sudah dijamin rezekinya oleh Allah, Fitri pun keluar kerja dan mengaji di komunitas yang sama.

“Dulu gaya hidup kami tinggi. Karena penghasilan kan lumayan. Setelah itu tidak ada pendapatan,” ujar Fitri yang mengaku sempat berkali-kali makan sehari hanya sekali nasi dan satu bakwan pasca keluar SCB lalu jatuh bangun dalam berbisnis.

Teuku sempat hampir down. Wajahnya murung. Ditegurlah dia oleh Gusman. “Saya ngalami juga hal yang lebih buruk dari antum, sebab dakwah kita ini perkara ideologis, bedanya kita dengan yang lain, apa pun yang terjadi kita tidak boleh lari dari gelanggang, dari medan dakwah. Kita harus tetap dakwah!” ujar Gusman yang juga keluar dari tempat kerjanya karena kerjanya menuntut dia bercampur baur dengan perempuan sampai mobilnya, motornya dijual semua, dan tidak ada uang lagi untuk membeli beras.

Sedangkan Teuku, meski jual mobil dan juga motor bebek, kan masih bisa membeli motor vespa tua. “Semangat dakwah dia langsung bangkit kembali. Karena mental dia mental pejuang, saya tahu banget,” pungkas Gusman.[]


Joko Prasetyo
(Jurnalis)

Sumber: Penebar Hidayah di Lereng Semeru (10 Kisah Menggugah Para Pejuang Khilafah), Joko Prasetyo, Tim Follback Dakwah, 2019
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar