Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Predator Seksual Menghantui, Benarkah Kebiri Jadi Solusi?



Maraknya predator seksual hari membuat kaum perempuan terutama orang tua makin resah, bagaimana tidak kebanyakan korban predator seksual adalah anak-anak. Oleh karenanya Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. PP itu tertuang dalam Nomor 70 Tahun 2020 yang ditetapkan Jokowi per 7 Desember 2020. Tujuan aturan diteken karena untuk menekan dan mengatasi kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, juga sebagai efek jera terhadap predator seksual anak. (viva.co.id 3/01/2021).

Apakah hukuman kebiri ini akan memberikan efek jera bagi predator seksual? para pelaku itu nantinya akan dikebiri kimia serta dipasangi alat pendeteksi elektronik berupa gelang. Selain itu identitas mereka akan diumumkan ke publik. Namun hal itu tidak berlaku untuk pelaku yang masih anak-anak (news.detik.com 3/01/2021).

Banyaknya predator seksual hari ini menunjukkan masyarakat yang rusak. Di sisi lain menggambarkan rendahnya keimanan kepada Allah SWT dan adanya hari pertanggungjawaban. Inilah ciri masyarakat sekuler yang meniadakan peran Pencipta dalam kehidupan sehari-hari.

Predator seksual akan terus menghantui negara-negara penganut sistem sekulerisme terutama negeri-negeri muslim. Kita lihat, bagaimana dengan mudahnya seseorang mampu mengkases video porno ditambah tontonan hari ini yang mendukung naluri seksual untuk muncul. Maka tidak heran, para predator akan mencari mangsanya untuk melampiaskan syahwatnya.

Solusi yang diberikan pemerintah terkesan serampangan, hanya menyalahkan pelaku tanpa menelisik lebih dalam. Para korban beranggapan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual disebabkan perilaku mereka yang mendewakan syahwat. Jika ditelisik perempuan yang mengumbar aurat dan ajakan berperilaku seks bebas menjadi fenomena yang terjadi setiap hari. Lalu, bagaimana predator seksual bisa disembuhkan jika akar permasalahan tidak disentuh?

Penanganan predator seksual harus dilakukan secara preventif dan kuratif. Semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah dalam negara Khilafah. 

Islam sebagai aturan hidup yang sempurna yang diturunkan Allah SWT telah memberikan seperangkat aturan yang lengkap dan menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan hidup manusia.  Islam memiliki mekanisme untuk mencegah dan memberantas predator. Islam melarang benda dan aktivitas yang memberi peluang terjadinya kekerasan seksual, seperti pornografi, baik dalam membuat, menyebarkan atau  menikmatinya.  Islam juga memiliki aturan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dan mengatur hubungan kekerabatan dalam keluarga. 

Penerapan  syariah Islam dilakukan dengan menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat wajib dipenuhi oleh negara dengan berbagai mekanisme dalam sistem ekonomi Islam.  Sanksi tegas yang memberikan efek jera,  yakni hukuman bagi pembuat serta penyebar konten pornografi pornoaksi, hingga adanya hukum jilid dan rajam bagi pezina. Demikian pula, para predator seksual akan mendapat sanksi berat berupa jilid jika dia belum menikah, dan rajam hingga mati jika dia sudah atau pernah menikah. Dan yang tidak kalah penting,  keimanan dan ketakwaan yang kuat, baik pada rakyat maupun petugas negara, menjadi benteng yang kokoh untuk senantiasa taat pada aturan Allah.

Walhasil, kejahatan ini tidak akan terjadi bila masyarakat memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah subhanahu wa ta’ala dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat. Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan terhadap siapapun. Mekanisme sistem sanksi dalam Khilafah Islam yang tegas pun akan menjadi penghalang kemaksiatan, karena keberpihakan hanya berlaku pada hukum Allah. Oleh karena itu, saatnya kaum muslim untuk tunduk kepada aturan Allah yang jelas akan memuliakan setiap individu masyarakat, sudah sepantasnya sistem sekuler kita campakan.

Alfia Purwanti, S.M.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar