Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembubaran Ormas Islam: Apakah Hanya Sekadar Anomali dalam Sistem Demokrasi?




Dibubarkannya kembali suatu ormas keagamaan yang berbasis Islam oleh pemerintah beberapa waktu lalu, menambah daftar kelam sekaligus tanya di benak kita, mengapa terkesan ada sikap keantian tersendiri dari pemerintah atas Ormas-Ormas keagamaan yang tampak konsisten dan militan di dalam menempuh jalan dakwah? Bukankah dengan ada dan banyaknya keberadaan Ormas keagamaan, akan membantu pemerintah dalam merawat ketakwaan setiap elemen warga negaranya kepada ajaran dan perintah Tuhannya. Sesuai dengan prinsip pengamalan sila pertama dari pancasila dan sesuai dengan tujuan para pendiri bangsa untuk menjadikan negeri menjadi negeri yang religius.  

Ya, pemerintah melalui kementerian Menkopolhukam telah resmi membubarkan ormas FPI pada Rabu 30/12/2020 lalu. FPI dinyatakan tidak memiliki legal standing alias dasar hukum baik sebagai ormas maupun organisasi biasa. Sehingga pemerintah resmi menghentikan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi masyarakat (ormas) maupun organisasi pada umumnya. Keputusan pembubaran FPI ini disetujui oleh enam pejabat tinggi di kementerian maupun lembaga negara. 

Tak hanya FPI, pada 2017 lalu Pemerintah juga menghentikan kegiatan resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kala itu, Pemerintah memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apa yang menjadi dasar kuat atas tudingan bahwa kedua ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945? bukankah seperti yang diketahui khalayak selama ini, aktivitas kedua ormas tersebut hanyalah konsisten mengamalkan dan menyampaikan ajaran maupun ide Islam ke tengah masyarakat,? Dan bukankah hal tersebut merupakan bagian dari prinsip kebebasan menyampaikan aspirasi atau pun berpendapat sebagaimana yang dijamin kebolehannya dalam prinsip dalam sistem demokrasi? 

 

Akar Masalah Pembubaran Ormas Islam Kerap Terjadi dalam Kehidupan Bernegara Sistem Demokrasi  

Menyaksikan kebijakan pemerintah atas Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam, telah memunculkan rasa keprihatinan tersendiri di sebagian besar umat Islam, salah satu penulis dalam artikel ini sendiri yang merupakan Pakar di Ilmu Hukum merasa perih, menyaksikan "style" penegakan hukum di Indonesia kini yang mengutamakan tindakan memukul dari pada merangkul terhadap Ormas-Ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan aktif mengkritisi pemerintah. Inilah sebuah elegi hukum yang tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. 

Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup "ilmu aturan" yang tidak beraturan bahkan "chaos" karena diracuni oleh arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. 

Namun sejatinya, keputusan pemerintah untuk membubarkan kelompok atau Ormas yang identik dengan perjuangan Islam sesuai dengan otoritasnya bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam sistem demokrasi. Sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan sekulerisme, hal tersebut bukanlah sekadar anomali namun adalah keniscayaan ketika negara melalui tangan kekuasaan pemerintah akan tampak agresif terhadap kelompok yang dianggap mengancam reputasi Indonesia karena aktif mengkoreksi penerapan demokrasi melalui pendekatan dengan pandangan ajaran Islam. Karena sudah menjadi prinsip utama dalam sistem sekuler demokrasi adalah memisahkan bahkan menjauhkan antara agama dengan urusan negara. 

Terlepas dari hal demikian, ironis memang melihat realitas atas hak berserikat dan berkumpul dalam bentuk Ormas di Indonesia ini. Hak konstitusional di negara demokrasi Pancasila ini seringkali harus terberangus oleh ketakutan rezim yang sedang berkuasa karena tuduhan ormas itu anti NKRI, anti Pancasila dan intoleran sebagaimana alasan untuk memukul kelompok, orang atau ormas yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah. 

Dengan tudingan seperti itu, seolah semua kebaikan dan peran kelompok atau serta Ormas dalam menghadapi musuh negeri ini terbuang, terlupakan dan dilupakan begitu saja. Tudingan yang sebenarnya secara hukum sulit untuk dibuktikan di pengadilan yang independen. Tudingan tanpa dasar hukum bahkan lebih bermuatan politik khususnya dalam pembuktian ini seringkali akan menggiring negara ini mengalami bifurkasi yakni secara paksa mengubah haluan negara hukum terjatuh di jurang negara kekuasaan (Machtstaat) yang mana pemerintah akan bertindak secara extractive institution dengan dalil contrarius actus. 

Pemerintah kerap melakukan tindakan eighenrichting (main hakim sendiri) dalam menangani kasus Ormas, dan lupa untuk menggunakan cara-cara yang beradab sesuai dengan prinsip negara hukum, yakni melalui due process of law bukan vandalisme (gaya hantam dulu urusan lain belakangan). Untuk membuktikan bahwa pemerintah sebagai tangan panjang negara benar-benar melindungi seluruh tumpah darah Indonesia seperti amanat alinea IV UUD NRI 1945. 

Di sisi lain pembubaran Ormas yang tampak secara bar-bar tersebut telah membuat pemerintah lupa dan menyalahi prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat bagi masyarakat, yang ilegal secara konstitusional dan setiap anggotanya memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin pasal 28e ayat (3) UUD 45. 

Inilah wujud keinkonsistenan sistem demokrasi, padahal berkumpulnya masyarakat dalam suatu keorganisasian apalagi dalam rangka menyebarkan dakwah dan kebaikan untuk kontribusi dalam membangun bangsa yang baik, seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusinya. Namun yang tampak adalah justru pemerintah sendiri yang tidak taat konstitusi dan melupakan pasal tersebut, demi tujuan memberangus kelompok yang dianggap bersebrangan cara pandang politik dengan kekuasaannya. 

Sementara kelompok pemberontak separatis seperti halnya OPM yang secara nyata ada di Papua, dan hingga sekarang masih tetap aktif namun tidak pernah dinyatakan sebagai kelompok anti pancasila atau pun kelompok intoleran dan radikalisme, yang seharusnya negara dapat langsung membubarkannya atas dasar war on radicalism sebagaimana yang sering digembar-gemborkan. Atau, mungkinkah keantian pemerintah terhadap ormas-ormas Islam yang mendakwahkan Islam itu, hanyalah wujud bahwasanya pemerintahan negeri ini memang sejatinya adalah pemerintahan anti Islam? 

Sebagaimana diketahui adanya kasus pembubaran Ormas yang baru saja dilakukan oleh pemerintah, yakni melalui SKB 3 Menteri dan 3 Lembaga Setingkat Menteri, yakni pelarangan dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran Ormas itu dulu (sesuai dgn UU 17 2013) harus dilakukan lebih dulu melalui due process of law dan berakhir dengan putusan pengadilan yang telah incraht (berkekuatan hukum tetap). Setelah pembubaran baru dilakukan pencabutan Badan Hukum atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT). 

Setelah UU Ormas 2017, sesuai dengan Pasal 80A, dicabut dulu baru dinyatakan bubar dengan mendasarkan pada prinsip tun contrarius actus. Pencabutan tidak melaui due process of law hingga Pengadilan tetapi cukup oleh Menteri yang berurusan dengan Hukum dan HAM. Prosedurnya mengikuti Pasal 62 UU Ormas 2017. 

Secara garis besar, pembubaran FPI tidak sah karena: 

1. Alasan pembubarannya terkesan mengada-ada dan tidak jelas locus serta tempus yang sesuai dengan tuduhan serta belum diuji di depan pengadilan secara patut.  

Alasan Pelarangan FPI sebagai berikut: 

(a) Untuk menjaga eksistensi ideologi  dan konsensus  dasar  bernegara  yaitu  Pancasila, Undang-undang Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka  Tunggal Ika.  

(b) Isi Anggaran Dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor  17 Tahun 2013 (Pancasila dan UUD 1945). 

(c) Pengurus dan/atau  anggota  FPI  maupun yang pernah bergabung  dengan FPI berdasarkan data sebanyak 35 (tiga  puluh lima) orang terlibat tindak pidana  terorisme dan TP lainnya. 

(d) Jika  menurut  penilaian  atau  dugaannya  sendiri terjadi  pelanggaran  ketentuan  hukum  maka  pengurus dan/atau  anggota  FPI  kerap  kali  melakukan  berbagai tindakan  razia  (sweeping) di tengah-tengah  masyarakat, yang sebenarnya hal  tersebut menjadi tugas dan wewenang Aparat Penegak Hukum; 

(e) Keputusan Menteri Dalam Negeri  Nomor 01-0000/010/D.III.4/VI/2014  tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat  Keterangan Terdaftar (SKT) Front  Pembela Islam (FPI) sebagai  Organisasi Kemasyarakatan berlaku sampai  tanggal 20 Juni 2019, dan sampai saat  ini FPI belum memenuhi persyaratan  untuk memperpanjang SKT tersebut,  oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 FPI  dianggap bubar; 

(f) Kegiatan  Organisasi  Kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan. 

2.  Menyalahi SOP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 tentang Penjatuhan Sanksi secara bertahap. Ada 3 tahap, yaitu (1) Surat Peringatan 1 berlaku 7 hari, (2) Surat Penghentian Kegiatan, (3) Pencabutan SKT, BH. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari FPIz belum ada Surat Peringatan sekalipun kepada FPI. Jadi jelas SKB ini bertentangan dengan UU Ormas yang Perppunya dibuat sendiri oleh Pemerintah. 

3. Tidak patuh pd Putusan MK No. 82 Th 2013,  terkait dengan Ormas yang tidak ber-SKT. Tetap harus dianggap legal, bukan illegal secara de yure karena SKTnya tidak diperpanjang---apalagi tanpa alasan yang jelas. jadi negara tidak boleh menetapkan sebagai ormas terlarang atau melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum. 


Dampak Pembubaran Ormas Islam Terhadap Tujuan Mulia sebagai Bangsa yang Religius 

Dalam pengamatan kami, fenomena pembubaran kelompok dakwah atau ormas Islam yang tengah berlangsung saat ini, merupakan bentuk sikap diskriminatif dan penuh intrik politis. Dan dari paparan pembahasan awal tadi juga dapat disimpulkan bahwa adanya politisasi hukum yang semakin terbuka dan sistematis bagi pemerintah dalam membungkam lawan-lawan politiknya. 

Mengapa demikian? Karena kalau melihat sepak terjang dua Ormas yang telah dibubarkan tersebut, keduanya merupakan Ormas yang mempunyai kekuatan politik tersendiri, khususnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sangat kental akan politik Islam yang diembannya. Maka atas dasar itulah pemerintah dalam sistem demokrasi ini menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam, dan semakin memperkuat anggapan bahwa rezim sekarang terkesan sebagai rezim anti Islam. Bukankah hal tersebut sangat kontradiktif dengan tujuan mulia yang ingin menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang religius, sesuai dengan yang diinginkan para pendiri bangsa terdahulu. 

Pembubaran Ormas yang tampak bar-bar dengan cacat prosedur, administratif dan terkesan diskriminatif ini adalah bentuk kriminalisasi dan monsterisasi terhadap kelompok Ormas yang mendakwahkan syariah Islam terutama terkait dengan ajaran Khilafah Islam.Yang berdampak akan semakin memunculkan sikap phobia khilafah di tengah masyarakat dan kaum muslimin. Biasnya narasi kelompok terlarang bagi Ormas yang telah dibubarkan bahkan disamakan dengan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) merupakan penghinaan terhadap kemuliaan dakwah Islam yang menyerukan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. 

Taraf berpikir umat pun akan semakin mundur dan terpuruk karena diamputasinya aktivitas dakwah politik di tengah masyarakat, namun sebaliknya pemerintah justru lebih merangkul dan memelihara ormas-ormas Islam moderat yang sesuai dengan arah politik dan keinginan penguasa. Maka yang tinggal adalah kelompok-kelompok atau ormas sekuler yang tunduk pada kendali dan bungkaman penguasa yang takut untuk menyuarakan kebenaran Islam secara kaffah. 

Adapun untuk individu-individu yang terhubung dengan Ormas yang dituding terlarang tersebut, akan mempengaruhi keseharian kehidupannya, bisa dikucilkan oleh masyarakat atau pun dipersekusi hak-haknya oleh instansi tempatnya bekerja akibat pelabelan serampangan yang disematkan pada mereka. 

Sungguh pemerintah telah menabuh genderang konflik yang dapat memunculkan perpecahan antar kelompok di tengah masyarakat. Yang dapat menjadikan masyarakat tidak produktif apalagi kritis atas kebijakan yang ada, karena hanya tersibukkan dengan isu-isu radikalisme yang tidak pernah ada wujudnya. Selain hanya akan membuat bodoh umat, dan memecah persatuan, hal tersebut bertujuan utama untuk menjegal kebangkitan Islam, dengan narasi dan tudingan-tudingan negatif yang penuh kebohongan. 

 

Atas dasar itu, semestinya dapat difahami keberadaan kelompok atau Ormas Islam yang aktif dalam dakwah amar makruf nahi mungkar ini adalah perkara yang mulia dan penting, bagi negeri yang bermayoritaskan muslim seperti halnya Indonesia. Ketiadaan kelompok yang lantang dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar akan mengakibatkan berbagai kerusakan karena kemaksiatan dibiarkan, sekaligus akan mengundang azab Allah SWT. 

 

Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan melalui lisannya: “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi munkar atau, jika tidak, Allah segera menimpakan azab dari sisi-Nya atas kalian dan ketika kalian berdoa, doa kalian tidak Dia kabulkan.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi). 

Bicara tentang dampak pembubaran ormas, kami akan mengambil kasus pencabutan badan hukum HTI yang berujung pada pembubaran organisasi formalnya. Terkait keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentang pencabutan sepihak Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya oleh pemerintah. Ada beberapa  pertanyaan yang mengganjal lainnya misalnya: 

1. Apakah Putusan Kasasi mencerminkan rezim represif? Menggunakan hukum untuk kepentingan politik elit?

2. Apakah ini mencerminkan rezim anti Islam? Karena yang dipersoalkan ajaran Islam yakni khilafah?

3. Apa yang harus dilakukan umat untuk mendukung perjuangan menegakkan syariat Islam? 

Sebagai seorang guru besar di bidang hukum, penulis prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Trial by the press terkesan lebih dipercaya dibandingkan dengan Tria by the rule of law sehingga yang muncul adalah Trial without sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. 

Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: berani menuduh harus berani membuktikan. jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggung-jawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. di mana tempat menguji dan mempertanggungjawab-kan tuduhan? tidak lain di pengadilan melalui due process of law. di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. cabut badan hukumnya dulu, urusan belakangan. itu eigenrichting namanya. itu akan menjadikan pemerintah sebagai extractive institution sebagai lambang negara kekuasaan bukan negara hukum. dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (rule of law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif. 

Kami yakin rezim sekarang tidak akan mau dijuluki sebagai rezim anti Islam bukan? Saya kira kalau itu dilakukan akan bunuh diri. Namun, perlu diingat bahwa ketika umat Islam yang menyatu dalam suatu perkumpulan Islam HTI tidak diizinkan mendakwahkan sebagian ajaran islam, misalnya dalam hal ini adalah tentang khilafah, lalu bolehkah kita menyebut rezim yang melarang itu sebagai rezim yang anti islam?  

Persoalan khilafah adalah persoalan utama pencabutan BH HTI ini. Pertanyaannya, benarkah khilafah itu hanya ajaran HTI? Menurut pendapat kami: bukan. Mengapa? Karena khilafah itu sistem pemerintahan Islam yang tertulis di kitab para ulama dan juga fikih. Keempat madzab yang dianut dalam Islam juga meyakini wajibnya  khilafah bagi umat Islam. Secara notmatif-teoretis, kami kira tidak ada masalah dalam hal ini. Persoalan muncul ketika kita bicara politik praktis karena adanya kecurigaan terhadap upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dan NKRI. Benarkah begitu? Apakah khilafah harus dihadapkan dengan ideologi Pancasila? Khilafah itu sistem pemerintahan Islam, bukan ideologi. Jadi menghadapkan khilafah dengan ideologi Pancasila itu tidak apple to apple. Bila mau seimbang seharusnya menghadapkan khilafah dengan demokrasi. 

Bila khilafah itu ajaran islam, maka adilkah bila pihak yang mendakwahkannya harus di-persekusi? Menurut kami tindakan itu bukan tindakan radikalisme. Mengapa? Karena dakwah itu tidak dilakukan dengan pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Itu yang prinsip. Jadi ketika HTI yang kebetulan mengusung dan mendakwahkan ajaran Islam itu secara damai, mestinya tidak diperlakukan buruk karena dinilai terpapar radikalisme yang berakhir dengan pencabutan BH HTI secara sepihak karena penilaian itu tidak melalui due process of law sebagaimana dulu diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang ORMAS.  

Akhirnya secara umum dapat dikatakan bahwa Jika Pemerintah menyatakan SAH atas pembubaran sebuah ormas padahal ditengarai mengandung cacat hukum, hal itu menunjukkan bahwa rezim tersebut adalah otoriter dan berprinsip negara tidak boleh kalah. Hal ini sangat berbahaya karena Pemerintah telah ugal-ugalan dalam penegakan hukum dengan melanggar hukum bahkan HAM. Negara otoriter itu cenderung memperalat hukum untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga menjauhkan tujuan bernegara hukum untuk mewujudkan social welfare. Dr sisi teoretik, ketidakpatuhan pada hukum berakibat dyingnya demokrasi yang berakhir pada penindasan terhadap HAM. Ingat bahwa ROL, DEM dan HAM itu mempunyai hubungan yg bersifat piramidal. 



Keberadaan Ormas dalam Persepektif Islam 

Berbicara tentang Ormas Islam, perlu difahami terdahulu apa yang disebut Ormas. Ormas adalah singkatan dari organisasi yang didirikan atau dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kepentingan untuk tujuan membangun negara agar menjadi lebih baik, untuk Ormas Islam sendiri tidak berbeda jauh dengan pengertian ormas sebelumnya hanya saja yang dibahas di sini, yaitu Ormas di lingkup agama Islam. 

Organisasi masyarakat dalam pandangan dan persepektif Islam, yaitu segolongan orang-orang yang beriman yang menjadi penolong agama Allah. Dan mereka disebut sebagai hizbullah (pengikut agama Allah). Hal tersebut dikemukakan dalam al-Qur'an surat al-Ma’idah ayat 56, dan surat al-Mujadala ayat 22, Allah shubhānahau wa ta’āla menyebutkan di dalamnya bahwa barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka mereka adalah hizbullah (pengikut agama Allah). Hizbullah sendiri yang berarti Partai Allah kumpulan pengikut agama Allah dan kata Hizbullah sendiri sebagai pujian atas tindakan mereka yang menjadikan diri sebagai penolong agama Allah. 

﴿وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ﴾ 

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (TQS al-Maidah [5] : 56). 

Keberadaan Ormas dalam perspektif Islam yaitu kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan keingingan dan tindakan yang dilandasi ideologi, akidah dan dakwahlah yang mendasarinya. Dakwah yang menginginkan Islam tegak di muka bumi, karena hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dimiliki atau dilakukan oleh umat Islam. Allah SWT berfirman: 

﴿وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾ 

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran [3] : 104). 

Dari makna ayat tersebut telah menjelaskan bahwa hendaklah ada segolongan jamaah dari orang-orang beriman yang aktif dalam beramar ma'ruf nahi mungkar yakni yang menyerukan kebaikan, yaitu Islam, serta memerintahkan yang baik dan melarang kemungkaran, dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan balasan untuk aktivitas mereka adalah kemenangan, yaitu surga. 

Atas dasar itu pula menguatkan bahwa membentuk kelompok atau jamaah guna melakukan aktivitas dakwah, merupakan kewajiban atau tuntutan tersendiri bagi setiap Muslim, maka seharusnya hal tersebut justru dilindungi oleh negara atau pemerintah Indonesia sebagai wujud perlindungan dan pemberian hak atas warga negaranya yang beragama Islam. Bukan malah dimusuhi dan dibubarkan. 

Namun tampaknya cara pandang dan pola pikir yang keliru kadung merasuki pemerintah dalam sistem sekuler demokrasi saat ini, mereka melihat dan menjadikan umat Islam yang memperjuangkan tegaknya Islam dianggap sebagai ancaman besar bagi mereka. Sehingga dengan itu pula mereka melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan permusuhan terhadap Ormas Islam, yang mereka bubarkan secara dzalim. Aspirasi umat Islam yang kritis dan berdasarkan syariah Islam dianggap sebagai racun yang harus dibendung dan dibungkam secara keji, dengan tudingan yang penuh kebencian seperti anti kebhinekaan, radikal hingga teroris. 

Itulah realitas wajah buruk para penguasa Muslim saat ini, mereka tampak dengan wujud rezim tirani yang tidak segan-segan melakukan kedzaliman, mereka begitu beringas dalam kriminalisasi dan melarang partai atau ormas yang aktivitasnya mendakwahkan Islam agar tegak di muka bumi. Dan celakanya mengunakan para ulama suu', akademisi sekuler dan tokoh-tokoh liberal mereka untuk merusak gagasan Islam yang didakwahkan umat. 

Namun kendati demikian, sederet fakta kedzaliman terhadap kelompok atau Ormas Islam saat ini bukanlah menjadi alasan untuk kita menyerah. Teruslah sampaikan Islam dengan cara yang ma'ruf kepada manusia dan di hadapan penguasa. Karena sesungguhnya dakwah tidaklah butuh persetujuan dari manusia, tapi legalitasnya sudah datang langsung dari Allah SWT. Terus istiqamah dalam barisan para penolong agama Allah walau pun pada fakta dan keadaannya memang tidaklah mudah. 

Namun ingatlah, bahwa Allah SWT juga tidak akan pernah menurunkan kemenangan dari langit bagi mereka yang tidak menolong agama-Nya, tidak menjalankan perintah-Nya dan tidak meneladani Nabi-Nya. Allah SWT tidak menurunkan malaikat dari langit untuk tegaknya Islam bagi mereka yang tidak memperjuangkannya, dan tidak dengan metodenya yang syar’i untuk mencapainya. 

Sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengubah keadaan suatu golongan, kecuali golongan itu sendiri yang mengubahnya. Allah tidak akan mengubah para penguasa dan rezim-rezimnya, selama kita tidak sungguh-sungguh mengubahnya. Tetap sabar tegar dan tanpa gentar, hingga pertolongan Allah itu menyambar. Fir'aun bersama kekuasaannya akhirnya Allah tenggelamkan di saat kedzalimannya telah berada di puncaknya. Maka untuk itu tetap yakin dan senantiasa istiqamah berada dalam barisan orang-orang yang beriman menjadi penolong agama Allah, hingga Islam tegak dalam naungan sistem khilafah. 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ 

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)


Dari uraian di atas, maka kami tarik kesimpulan sebagai berikut: 

Sejatinya, keputusan pemerintah untuk membubarkan kelompok atau Ormas yang identik dengan perjuangan Islam sesuai dengan otoritasnya bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam sistem demokrasi. Sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan sekulerisme, hal tersebut bukanlah sekadar anomali namun adalah keniscayaan ketika negara melalui tangan kekuasaan pemerintah akan tampak agresif terhadap kelompok yang dianggap mengancam reputasi Indonesia karena aktif mengkoreksi penerapan demokrasi melalui pendekatan dengan pandangan ajaran Islam. Karena sudah menjadi prinsip utama dalam sistem sekuler demokrasi adalah memisahkan bahkan menjauhkan antara agama dengan urusan negara. 

Pembubaran Ormas Islam yang tampak bar-bar dengan cacat prosedur, administratif dan terkesan diskriminatif. Biasnya narasi kelompok terlarang bagi ormas yang telah dibubarkan bahkan disamakan dengan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) merupakan penghinaan terhadap kemuliaan dakwah Islam yang menyerukan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Dampaknya membuat taraf berpikir umat akan semakin mundur dan terpuruk karena diamputasinya aktivitas dakwah politik di tengah masyarakat, namun sebaliknya pemerintah justru lebih merangkul dan memelihara ormas-ormas Islam moderat yang sesuai dengan arah politik dan keinginan penguasa. Maka yang tinggal adalah kelompok-kelompok atau ormas sekuler yang tunduk pada kendali dan bungkaman penguasa yang takut untuk menyuarakan kebenaran Islam secara kaffah. 

Organisasi Masyarakat dalam pandangan dan persepektif Islam, yaitu segolongan orang-orang yang beriman yang menjadi penolong agama Allah. Dan mereka disebut sebagai hizbullah (pengikut agama Allah).  Keberadaan Ormas dalam perspektif Islam yaitu kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan keingingan dan tindakan yang dilandasi ideologi, akidah dan dakwahlah yang mendasarinya. Karena keberadaan kelompok atau jamaah guna melakukan aktivitas dakwah, merupakan kewajiban atau tuntutan tersendiri bagi setiap Muslim, maka seharusnya hal tersebut justru dilindungi oleh negara atau pemerintah Indonesia sebagai wujud perlindungan dan pemberian hak atas warga negaranya yang beragama Islam. Bukan malah dimusuhi dan dibubarkan. Tabik...!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar