Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islam Mumpuni Ciptakan Negara Mandiri Pangan



Kita pasti tidak asing lagi dengan yang dinamakan tahu dan tempe. Makanan lezat yang murah meriah, ditambah lagi dengan nutrisi yang sangat tinggi. Maka tidak heran, jika tahu dan tempe menjadi makanan favorit masyarakat Indonesia. Namun beberapa hari terakhir ini, tahu dan tempe mulai sulit dijumpai. Hal ini  dikarenakan banyaknya kasus mogok produksi tahu dan tempe.

Melonjaknya harga bahan baku kedelai sebagai bahan utama pembuatan tahu dan tempe di Indonesia memukul para pelaku usaha kecil dan menengah di produksi pembuatan tahu dan tempe. Naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai. (merdeka.com). Harga kedelai yang awalnya Rp 7.000 per kilogram. Namun, kini sudah meningkat hingga Rp 9.200-9.500 per kilogram. Hal ini sangat aneh, mengingat bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang seharusnya sesuai dengan slogan “gemah ripah loh jinawi” malah mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Awal tahun 2008 lalu juga harus diawali dengan krisis kedelai yang diikuti dengan demonstrasi pedagang tahu-tempe. Kenaikan harga kedelai saat itu juga diikuti kenaikan harga bahan pangan lainnya, seperti tepung terigu dan minyak goreng. Rakyat kecil menjadi korban, sebut saja penjual  gorengan yang terimbas secara langsung. Penyebab krisis pangan di Indonesia adalah konsekuensi dari pilihan bangsa Indonesia sendiri yang selama ini terlalu menggantungkan penyediaan pangannya pada impor. Ini terbukti dari angka impor pangan Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Pemerintah kerap membuat keputusan impor ketika terjadi gejolak harga. Artinya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif pun, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain. Dan ini akan berpengaruh pada ketahanan pangan dan kemandirian negara.  Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil rezim. Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas.

Kondisi ini diperparah setelah UU Cipta Kerja disahkan DPR RI pada 5 Oktober. UU Cipta Kerja mempermudah impor karena tak mengindahkan lagi ketersediaan dalam negeri. Sehingga berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Indonesia Henry Saragih mengatakan pelonggaran impor pangan tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.” diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.” Frasa “mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dalam pasal 15 juga ikut dihapus. Sanksi bagi orang yang mengimpor saat kebutuhan dalam negeri tercukupi dalam pasal 101 juga ditiadakan (tirto.id).  Ini jelas berdampak pada petani dalam negeri. Tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri.
Mandiri Pangan dengan Islam
Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan di sisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi.  Berbeda dengan sistem kapitalis yang selalu memilih solusi instant dalam menyelesaikan masalah rakyat, seperti solusi impor dalam menghadapi kekurangan pasokan dibanding solusi meningkatkan produksi tanam. Sistem Islam memiliki konsep jelas dalam pengelolaan pangan yaitu dengan mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Karena Islam memandang pangan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara, sehingga negara akan melakukan berbagai upaya untuk merealisasikannya. Negara akan lebih mengutamakan pengoptimalan produksi tanam dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan.

Islam juga mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya, sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka. Pemaksimalan lahan bisa dilakukan dengan menghidupkankan tanah-tanah mati. Dalam islam, tanah mati tersebut bisa dihidupkan oleh siapa saja dan tanah tersebut menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul SAW bersabda, “siapa saja yang menghidupkan tanah mati,maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud). 

Sedangkan jika terdapat tanah-tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang dan akan diambil alih oleh negara. Kemudian tanah-tanah kosong itu akan di distribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya.

Selain itu, dalam ekonomi Syariah kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Tentunya dengan melihat terlebih dahulu kebutuhan pangan dalam negeri. Serta dengan siapa jual-beli itu dilakukan. Karena dalam Islam, perdagangan luar negeri  tidak hanya melihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi juga dilihat  dengan siapa perdagangan itu dilakukan. 

Islam melarang melakukan hubungan dagang dengan negara kafir harbi fi’lan, yaitu negara kufur yang permusuhannya secara nyata, seperti AS, Inggris, Rusia, Israel, China, dan negara imperialis lainnya yang melakukan penganiayaan terhadap kaum Muslimin serta penjarahan Sumber Daya Alam di negeri-negeri Muslim. Demikian sempurnanya Islam mengatur urusan manusia,  mulai dari pengaturan individu, masyarakat, bahkan negara. Bukti nyata bahwa Islam adalah Rahmatan lil ‘alamin.[]

Oleh: Fildareta F. Auliyah, S.Pd

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar