Topswara.com -- Ada satu fase dalam hidup yang tidak semua orang sampai ke sana. Fase ketika kita berhenti menjadikan manusia sebagai penentu tenang atau hancurnya hidup. Bukan karena membenci manusia, melainkan karena lelah menggantungkan hati pada sesuatu yang rapuh.
Dulu, banyak dari kita menaruh manusia di singgasana hati. Ucapannya menentukan suasana jiwa. Sikapnya menentukan bahagia atau luka. Hadir atau tidaknya menentukan rasa aman. Ketika ia berubah, dunia ikut berguncang. Ketika ia menjauh, hati ikut limbung. Padahal, di situlah akar kegelisahan bermula.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ketergantungan hati kepada makhluk adalah salah satu sebab utama kegundahan jiwa.
Hati yang menggantungkan kebahagiaannya pada manusia sejatinya sedang menyerahkan kendali hidup kepada sesuatu yang tidak pernah stabil.
Manusia berubah. Perasaan berubah. Janji berubah. Lalu mengapa hati kita dititipkan kepada yang tidak kekal?
Ketika Manusia Turun dari Singgasana Hati
Ketenangan tidak selalu datang karena keadaan membaik, tetapi karena ekspektasi diluruskan. Saat manusia yang dulu kita anggap penentu hidup perlahan turun derajatnya menjadi sesama penumpang.
Penumpang dalam perjalanan yang sama, yaitu sama-sama mencari ridha Allah. Ia tetap ada. Tetap dihormati. Tetap diperlakukan dengan adab. Namun tidak lagi berkuasa atas hati.
Ibnul Qayyim berkata, "barang siapa menggantungkan hatinya kepada selain Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada sesuatu itu.”
Ketika manusia ditempatkan sebagai sandaran utama, kekecewaan menjadi keniscayaan. Namun ketika hati kembali bertumpu kepada Allah, manusia tidak lagi memiliki kuasa untuk merobohkan batin.
Melepas Bukan Berarti Membenci
Melepaskan manusia dari hati sering disalahpahami sebagai sikap dingin atau pahit. Padahal, melepaskan adalah bentuk kedewasaan iman. Kita tetap berbuat baik. Tetap menjaga adab. Tetap berempati dalam batas kemanusiaan. Namun kita berhenti menggantungkan harapan.
Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam Al-Hikam menegaskan, “istirahatkan dirimu dari mengatur, karena apa yang telah diatur oleh selainmu, jangan kau sibukkan dirimu dengan mengaturnya.”
Hati yang tenang adalah hati yang tidak lagi sibuk mengatur manusia agar sesuai keinginan, melainkan sibuk menjaga dirinya sendiri agar tetap lurus di hadapan Allah.
Dari Ketergantungan Menuju Tawakkal
Ketika manusia turun dari pusat hati, posisi itu kembali ditempati oleh Allah. Di situlah tawakkal menjadi nyata, bukan sekadar jargon.
Allah berfirman, “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Cukup di sini bukan berarti hidup tanpa ujian, tetapi cukup hati. Cukup jiwa. Tidak lagi berguncang hanya karena sikap manusia.
Saat itulah kita memahami bahwa manusia boleh hadir atau pergi, sikapnya boleh berubah, perlakuannya boleh menyakitkan, namun hidup tetap berjalan karena sandaran kita bukan manusia.
Ketenangan seperti ini bukan konsep kosong. Ia hidup dalam jejak para ulama. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah melewati masa paling berat dalam hidupnya. Beliau dipenjara, dicambuk, dan disiksa karena mempertahankan kebenaran akidah.
Dalam kondisi itu, banyak murid dan orang-orang dekatnya tidak berani mendekat. Sebagian menjauh karena takut, sebagian memilih diam demi keselamatan diri.
Namun Imam Ahmad tetap tenang. Ketika seorang muridnya berkata dengan penuh rasa bersalah, “Wahai Imam, maafkan kami karena tidak mampu menolongmu.”
Imam Ahmad menjawab dengan kalimat yang mencerminkan kebebasan hati sejati, “Jika aku menggantungkan hatiku kepada manusia, tentu aku telah hancur sejak lama.”
Kalimat ini bukan sekadar jawaban, tetapi pelajaran iman. Imam Ahmad memahami bahwa manusia bisa hadir hari ini dan pergi esok hari. Bisa berjanji di pagi hari dan mengingkari di sore hari. Namun Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Dalam penjara yang gelap dan penuh derita, Imam Ahmad tidak kehilangan ketenangan karena hatinya tidak bertumpu pada siapa pun selain Allah.
Manusia dalam hidupnya bukan penentu keselamatan, bukan jaminan ketenangan, melainkan sesama penumpang dalam perjalanan menuju akhirat.
Kini, ketika manusia turun dari singgasana hati, hidup terasa lebih ringan. Kita tidak lagi meminta manusia menyempurnakan jiwa. Kita tidak lagi menagih mereka menjadi sumber bahagia.
Jika sejalan, kita berjalan bersama dengan adab. Jika berpisah, kita lepaskan tanpa dendam. Karena manusia bukan tujuan. Manusia hanyalah penumpang sementara.
Sedangkan tujuan kita satu, yaitu menggapai ridha Allah dan di titik inilah ketenangan sejati lahir, bukan pahit, bukan dingin melainkan tenang, terang, dan merdeka batin.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar